Hari Raya Galungan -Kuningan
Kala Dharma Berangus Adharma
Kala Dharma Berangus Adharma
Wirian masan Galungan
Pan Burayut mapulilih
Epot megadang di pawon
Nyuang iyeh ngendiang api
Manumpeng lantas metanding
Kacang komak sudang taluh
Kecicang lan pelandingan
Sambel junggul lan kecai
Sampun puput
Pelas nyane gegenderan
Hari Raya Galungan dan Kuningan, senantiasa menghadirkan romansa yang tak henti berlagu di jiwa. Tentang sebuah peperangan. Bahwa, dalam rangkaian peringatan Galungan, sejak Redite Pahing Dungulan, bumi didatangi kala-tiganing Galungan, yakni Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat. Ketiganya adalah simbol dari keletehan atau angkara. Tambur peperangan pun tak terelakkan, antara umat manusia melawan kala keletehan, hingga berujung pada kemenangan dharma atas adharma. Dharma dan adharma, sesungguhnya dua kenyataan yang berbeda (rwa bhineda) yang selalu ada di dunia ini. Tak dapat diingkari, antara dharma dan adharma hendaknya seimbang, sehingga kehidupan di dunia tidak timpang.
Tentang sebuah persembahan, bahwa Hari Raya Galungan dan Kuningan, hakikatnya merupakan oton bumi atau pawedalan jagat. Sebuah hari di mana umat Hindu di Pulau Dewata menghaturkan sembah bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, atas karunia alam yang begitu indah dan memesona. Dengan gugusan gunung, bentang laut membiru dan pepohonan menghijau di sepanjang bentang mata memandang.
Tentang sebuah lantunan kisah. Bahwa, di hari Saniscara Kliwon Wuku Kuningan, Ida Sang Hyang Widhi, dewa beserta pitara, akan turun ke dunia. Demi melimpahkan karunia kepada segenap umat manusia. Bumi pun berselubung kedamaian.
Rahajeng Nyanggra Galunan lan Kuningan ....
Dumugi Sang Hyang Widhi Wasa Ngicen Kerahayuan
Om Shanti Shanti Shanti Om ....
Galungan – Kuningan
Kemenangan di Ujung Peperangan
Hari Raya Galungan – Kuningan tiba. Umat Hindu di Bali menyambut dengan segenap suka cita. Usai melewati perayaan Sugihan Jawa, Sugihan Bali, Penyajaan, Penampahan, akhirnya sampailah di hari yang dinanti. Sebuah hari, di mana kemenangan dharma menerangi sanubari setiap umat.
Perayaan Hari Raya Galungan sudah dipersiapkan semenjak Tumpek Bubuh. Saat itu, umat Hindu akan memohon ke hadapan Sang Hyang Sangkara, agar beliau memberikan anugerah berupa hasil pertanian yang berlimpah. Jika pepohonan banyak menghasilkan buah, diharapkan bisa menjadi sesajian saat Galungan.
Ritual selanjutnya adalah Wrespati Sungsang, yang sering disebut Sugihan Jawa. Merupakan hari penyucian bhuwana agung. Umat akan menghaturkan pesucian mererebu di merajan, rumah, pekarangan dan menyucikan berbagai alat yang hendak digunakan saat Galungan. Diteruskan dengan Sugihan Bali, saatnya umat untuk melaksanakan penyucian bhuwana alit, hingga kemudian tiba pada Redite Paing Dungulan, yang disebut Penyekeban. Hari Penyekeban, tidak lain hari turunnya Sang Kala Tiga Wisesa.
Usai Penyekeban, sampai pada Soma Pon Dungulan disebut Penyajaan. Pada saat Penyajaan, lazim disebut hari untuk menguji keteguhan sebagai bukti kesungguhan melakukan peningkatan kesucian diri. Setelah itu, ada Anggara Wage Dungulan, tidak lain Penampahan. Umat akan melakukan bhuta yadnya atau lebuh di halaman rumah, sehingga tidak diganggu Sang Kala Tiga Wisesa.
Keesokan harinya, umat pun bergembira menyambut Buda Kliwon Dungulan, atau yang lebih dikenal dengan Hari Raya Galungan. Dengan segenap hati, umat Hindu bangun pagi-pagi dan melakukan pemujaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasi-Nya. Tak jarang, saat Galungan dimanfaatkan muda-mudi untuk melakukan wisata spiritual, dengan mengunjungi berbagai pura secara rombongan. Ketika Galungan berlalu, sampailah umat Hindu pada Wrespati Umanis Dungulan atau Manis Galungan, dimana sering digunakan sebagai ajang kunjung-mengunjungi kepada handai taulan.
Sementara, ketika sampai pada Saniscara Kliwon Kuningan, Hari Raya Kuningan, umat akan menghaturkan sesajian pagi-pagi, karena pada tengah harinya, para dewa akan kembali lagi ke surga. Sebagai rangkaian paling akhir adalah Buda Kliwon Pahang yang dikenal dengan Pegatwakan, yang ditandai dengan mencabut penjor.
Sejarah Galungan
Pada zaman kerajaan Kesari Warmadewa, di Bali mengalami perkembangan agama yang terdiri atas berbagai sekte, hingga berlanjut saat Kerajaan Udayana. Setidaknya ada 16 sekte yang berkembang, dengan membawa karakter atau ciri tersendiri, antara lain :
1. Aliran Pasupatinya: memuliakan Matahari sebagai manifestasi Hyang Widhi. Tata pelaksanaan persembahyangannya disebut Surya Sewana.
2. Aliran Ganaspatinya : memuliakan Dewa Ganesha sebagai manifestasi Hyang Widhi, yang ditandai pada setiap tempat angker atau dianggap suci, ditempatkan arca Ganesha.
3. Beberapa sekte lain dengan aliran tertentu, seperti Budha Mahayana, Budha Bhairawa, Budha Hinayana, Tantriisma Putih dan Tantriisma Hitam. Dari sekta Tantriisma Hitam, di antaranya terdapat bukti bekas ajaran aliran Bhairawa yang hingga kini masih bertahan di tengah masyarakat.
Ajaran Bhairawa yang sangat menonjol pada zamannya antara lain berupa disanjungnya acara pesta dengan makan sepuasnya, minum tuak dan arak, serta memakan daging dan darah mentah. Bahkan aliran ini pun membenarkan dilakukan hubungan seksual secara bebas, tanpa harus terikat tali pernikahan. Tidak hanya itu, dalam aliran Bhairawa juga dikembangkan ilmu-ilmu pedestian dan pengiwa seperti teluh, terangjana, leak dan lain-lain. Di samping itu dikembangkan juga ilmu pengobatan atau ushada, ilmu pengelantih sabuk-sabuk dan pekakas balian yang disebut aliran penengen. Ciri-ciri aliran Bhairawa tersebut, tercatat paling dilarang oleh pengembang aliran Brahma Wisnu Budha.
Kendati demikian, aliran Bhairawa yang dianut oleh Raja Maya Denawa yang pernah menggemparkan Bali tersebut, beberapa di antaranya sampai saat ini masih dirasakan keberadaannya di Pulau Dewata. Aliran yang masih dirasakan sebagai peninggalan Bhairawa itu, adalah masih disantapnya daging dan darah mentah yang terdapat dalam penganan khusus yang disebut lawar oleh sebagian masyarakat di Bali. Selain itu, mengamalkan ajaran pengiwa, misalnya aneluh, angleak dan arangjana, sekaligus ajaran penengen, antara lain kekebalan. Ajaran ini amat berpengaruh pada zaman Raja Jaya Kesunu atau Raja Jaya Pangus. Perselisihan pun tak terelakkan antara Raja Mayadenawa yang beraliran Bairawa dan bermarkas di Batur, dengan Raja Jaya Pangus yang mengusung aliran Siwa Brahma Waisnama serta bermarkas di Besakih.
Peperangan yang hebat ini, berakhir dengan terbunuhnya Raja Maya Denawa di Petulu. Tepatnya di tepi Kali Petanu. Tewasnya Raja Maya Denawa, sesungguhnya simbol kekalahan adharma, sehingga diperingati untuk merayakan kemenangan dharma, yakni Hari Raya Galungan.
Makna & Filosofi
SESUNGGUHNYA, inti merayakan Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang dan gamblang, sebagai wujud dharma dalam diri umat manusia. Di sisi lain, segala kekacauan pikiran itu, tidak lain perwujudan dari adharma. Jadi, makna dan filosofis Galungan, ialah memberikan kekuatan spiritual agar manusia bisa membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana yang dharma.
Lebih jauh tentang makna Galungan, dijelaskan dalam lontar Sunarigama berikut ini:
Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep
Artinya:
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.
Tradisi Unik Saat Galungan – Kuningan
Tradisi, ibarat darah yang menghidupkan Bali. Sejak berpuluh tahun silam, Pulau Bali tidak hanya dijejaki karena eksotika panorama alamnya. Beragam tradisi, adat, dan kebiasaan penduduk, menjadikan Bali sebagai tanah dewata, yang tak henti menebar selaksa pesona. Adat dan tradisi ini, selaras dengan filsafat : Desa, Kala, Patra, bermakna waktu, tempat dan keadaan. Lantas, apa saja adat dan tradisi yang berlangsung saat Hari Raya Galungan – Kuningan?
Tradisi Masuryak
Masyarakat Desa Bongan Gede, Tabanan, lazim menggelar sebuah tradisi yang terbilang unik, yang disebut Tradisi Masuryak, yang diadakan setiap enam bulan sekali, tepatnya pada Hari Raya Kuningan. Tujuan penggelaran tradisi, sebagai simbol persembahan kepada para leluhur, sehingga mendapatkan tempat yang layak di alamnya. Persembahan itu berupa sesajian dan uang, serta sudah berlangsung secara turun-temurun. Sesajian ialah persembahan secara niskala (tidak nyata) dan uang merupakan persembahan secara sekala (nyata).
Warga yakin, dengan mengikhlaskan uang untuk disebar saat Kuningan di saat para leluhur sedang turun ke bumi, maka selanjutnya warga akan mendapatkan timbal balik limpahan rezeki karena sudah membekali leluhur. Tradisi dimulai dengan melempar uang di depan rumah warga, setelah ngelebar banten Kuningan. Uang yang digunakan, tidak ditentukan nominalnya, sehingga boleh ribuan, atau bahkan ratusan ribu rupiah.
Begitu uang dilemparkan ke udara, masyarakat akan berebut agar bisa mendapatkan. Biasanya yang paling bersemangat memperebutkan uang adalah anak-anak. Tidak jarang, dalam proses perebutan uang, disertai aksi saling dorong atau saling injak, sehingga kegaduhan pun tak terelakkan.
Tambelang Waluh
Lain halnya dengan tradisi yang terdapat di Desa Bungaya, Bebandem, Karangasem, Menjelang Hari Raya Galungan, warga mengadakan Tradisi Tambelang Waluh, dengan tujuan untuk menolak wabah penyakit. Tradisi ini sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang. Warga tidak berani mengabaikannya, karena khawatir bencana berupa musibah penyakit akan datang dan mengancam keselamatan mereka.
Tradisi diawali dengan berkumpulnya puluhan pemuda dan anak-anak desa, di senja hari. Mereka berjalan mengelilingi kawasan desa. Begitu sampai di perempatan jalan, para pemuda dan anak, saling berteriak dengan nada tantangan. Disusul, terjadi aksi saling menyerang. Namun, mereka sama sekali dilarang menggunakan tangan untuk memukul. Hanya boleh menendang saja.
Walau terlihat tendang-menendang, seolah-olah berkelahi betulan, namun begitu acara usai, tidak jarang para pemuda saling tertawa bersama. Tidak ada dendam atau aroma permusuhan, dan masing-masing pun berangsur pulang dengan damai.
Tradisi Mekotek
Bertepatan dengan Hari Raya Kuningan, penduduk Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Badung, menyelenggarakan sebuah tradisi bernama Mekotek. Penyebutan nama Mekotek, berasal dari bunyi kayu yang diadu satu sama lain, dalam ritual berperang tanpa senjata tajam ini. Biasanya, tradisi diikuti lebih dari seribu warga berusia antara 11 – 60 tahun, yang berasal dari 12 banjar. Warga yang ikut dalam Mekotek, wajib membawa kayu yang panjangnya mencapai sekitar 3 meter, yang bentuknya menyerupai tombak. Prosesi acara dilakukan dengan mengarak tombak berkeliling desa pakraman, sembari bersorak sorai di setiap jalan, mengekspresikan suasana kemenangan.
Mekotek memang merupakan simbol perayaan kemenangan yang didapatkan Kerajaan Mengwi atas Kerajaan Blambangan, pada masa dahulu kala. Selain sebagai ungkapan kemenangan, Mekotek juga dipercaya sebagai ritual tolak bala. Pada saat penjajahan Belanda, tradisi Mekotek sempat dilarang. Mendadak, penduduk Desa Munggu terjangkiti penyakit, hingga bergantian meninggal setiap hari. Akhirnya Belanda mencabut larangan itu. Alhasil, tradisi ini dapat digelar kembali dan lestari sampai sekarang.
Prof. DR. Jean Couteau:
Jangan Mimpi Tradisi Bali Utuh
JEAN Couteau menuturkan, belakangan terjadi penyurutan memori kultural di masyarakat. Seni atau tradisi yang masih eksis atau bertahan, biasanya karena ada dukungan dari pemerintah, yang dimaksudkan untuk tujuan pariwisata.
“Bagus sebenarnya ada Pesta Kesenian Bali (PKB), karena ada memori pedesaan yang dibawa ke kota. Tetapi, umumnya penikmat seni di PKB adalah kaum urban dengan kisaran usia 30 tahunan. Bukan anak-anak muda,” ujarnya.
Langkah tepat agar anak-anak muda tetap mengenal dan mengakrabi tradisi Bali, menurut Jean Couteau, bisa dilakukan dengan mengajarkan di sekolah-sekolah. Setelah mengenal, tak mustahil anak-anak muda ini akan menjadi ujung tombak pelestarian tradisi Bali, agar tidak hilang seiring laju zaman.
“Sebenarnya, yang amat disayangkan adalah sikap pemerintah yang kurang tindakan. Jangan mimpi tradisi Bali bisa utuh, jika tidak ada perhatian khusus terhadap seni dan budaya. Padahal, sebenarnya ada tradisi dengan nilai adiluhung, tapi minim upaya penyelamatan. Ini sungguh patut disayangkan,” kata pengamat seni dan budaya Bali asal Perancis ini.


