Tumpek Uduh
Saatnya Bersahabat dengan Alam
Saatnya Bersahabat dengan Alam
Bali, begitu memikat dengan beragam budaya dan alam nan elok menawan. Di setiap bentang alam Bali, tetumbuhan terlihat menghijau. Anugerah Sang Hyang Widhi ini, tak membuat masyarakat Bali lupa diri. Ada hari tertentu, di mana umat Hindu merayakan ritual yang khusus untuk menghormati tumbuh-tumbuhan. Namanya Tumpek Uduh atau Tumpek Pengatag. Sering pula disebut dengan Tumpek Wariga atau Tumpek Bubuh.

Tumpek Uduh seharusnya menjadi momentum, betapa pentingnya tanaman bagi kehidupan manusia. Semestinya, perayaan tidak hanya sekadar ritual belaka, melainkan dengan tindakan riil. Seperti dengan melakukan penanaman pohon demi kelestarian lingkungan. Keberadaan memang pepohonan sangat bermanfaat. Buahnya bisa menghidupi manusia, selain itu juga menghasilkan oksigen sekaligus menyerap polusi, sehingga kehidupan menjadi seimbang.
Sesungguhnya, Tumpek Uduh, bukanlah momen khusus untuk menyembah tumbuh-tumbuhan. Justru yang disembah adalah Sang Hyang Widhi Wasa, dengan harapan agar melalui tumbuh-tumbuhan manusia senantiasa diberikan karunia dan berkah di sepanjang hayat.
Dilihat secara estetika, pepohonan yang hidup segar, tentu menjadi pemandangan menarik ketimbang lingkungan yang kering dan gersang. Akar pohon juga menjadi pengikat tanah, sehingga tidak terjadi erosi. Manfaat lain yang tidak kalah berarti, pohon mampu menyimpan air sehingga bumi tidak mengalami kekeringan, sekaligus dapat menyerap air agar tidak terjadi banjir di saat hujan lebat mengguyur.
Beragam fungsi pohon, memang sudah selayaknya menyadarkan manusia, betapa kehidupan ini sangat bergantung pada pepohonan, sehingga sudah selayaknya manusia bersahabat dengan alam. Tumpek Uduh, merupakan ajang refleksi yang tepat untuk bersyukur kepada Sang Hyang Widhi. Untuk memohon agar Beliau menjaga tumbuh-tumbuhan sehingga terhindarkan dari serangan hama dan penyakit.
Menghargai Ciptaan
PANDE KOMANG MERTHA, seorang pemangku sekaligus tukang banten dari Banjar Pande, Desa Nongan, Kecamatan Rendang, Karangasem mengungkapkan, upakara yang disiapkan dalam ritual Tumpek Uduh, berupa soroan tumpang pitu. Meliputi peras, penyeneng, pengambyan, tipat dampulan, sayut, jajan, sirah nasi, buah-buahan dan tumpeng guru. Pada pohon yang dipilih, diberi set-set, gantung-gantungan dan tulung tanggeh, disertai doa pengharapan semoga pohon-pohon itu akan menghasilkan buah yang berlimpah atau senantiasa dipenuhi bunga-bunga yang semerbak bermekaran. Pelaksanaan waktu untuk bersembahyang, bisa pagi, siang atau sore hari, yang dilangsungkan di pekarangan, sawah atau kebun.

Ajaran pada ritual Tumpek Uduh ini, jelas Mangku Pande, amat bernilai sehingga manusia dapat menghargai ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa, khususnya pada tumbuh-tumbuhan. Jika manusia benar-benar menghargai tumbuhan, pasti alam Bali akan kembali menghijau.
“Alangkah indahnya jika Bali bisa kembali seperti zaman dulu, di mana-mana pohon tumbuh subur, meski tidak pakai pupuk. Kalau sekarang, susah sekali menghirup udara yang bebas polusi. Semoga dengan peringatan Tumpek Uduh, manusia bisa dekat kembali dengan tumbuhan,” kata Mangku Pande.