Bali Perlukan Pemimpin Berbasis Spiritual
Wacana suksesi Gubernur Bali periode 2013-2018 sudah ramai dibicarakan di masyarakat. Berawal dari pernyataan Gubernur Made Mangku Pastika saat diwawancarai wartawan di Gedung Pers Bali K Nadha, awal Juni lalu. Dia yang kini masih menjabat sebagai kepala daerah hingga tahun 2013 menghendaki agar Bali ke depan dipimpin orang muda berusia antara 40-52 tahun. Sedangkan dia sendiri, saat Pemilihan Gubernur Bali 2013 mendatang sudah menginjak usia 62 tahun, yang menurutnya umur yang sudah tua untuk menjadi seorang gubernur. Alasannya, Bali sebagai pulau yang penuh dinamika, memerlukan pemimpin muda yang energik dan berwawasan luas.
Setelah Gubernur melontarkan wacana itu, muncul berbagai pendapat dari banyak tokoh Bali, baik dari kalangan agawaman, akademisi, adat, budayawan, elit partai maupun dari generasi muda, yang hampir semuanya boleh dikatakan menyetujui lontaran ide tersebut. Semua pendapat menambahi dengan berbagai versi penekanan tentang karakter-karakter yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin di Bali. Menurut penulis, siapapun pemimpin Bali mendatang, baik dari kalangan muda maupun generasi tua, yang terpenting adalah orang yang akan menakhodai Bali adalah orang yang mampu mengimplementasikan konsep kepemimpinan yang berbasis spiritual. Kepemimpinan yang berbasis spiritual pada intinya memadukan antara konsep kepemimpinan modern dari dunia Barat dengan konsep kepemimpinan tradisional dari dunia Timur.
Secara teoritis, kepemimpinan adalah proses mendorong dan membantu orang lain untuk bekerja secara antusias ke arah tujuan. Kepemimpinan juga berarti aktivitas mempengaruhi orang lain untuk berusaha mencapai tujuan kelompok secara sukarela. Dengan kata lain, kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang lain untuk mengerjakan apa yang diinginkan untuk dikerjakan oleh orang lain tersebut. Konsep demikian kelihatanya sederhana, tetapi pada kenyataannya sering kali sangat kompleks, karena di dalam kepemimpinan hadir suatu proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan antarkelompok yang kadang-kadang memiliki heterogenitas yang tinggi.
Dari uraian tersebut ada empat implikasi penting, yaitu 1) Kepemimpinan selalu melibatkan orang lain sebagai pengikutnya; 2) Kepemimpinan melibatkan sebuah pembagian kekuatan yang tidak seimbang antara pemimpin dan anggota kelompok, yang berarti seorang pemimpin harus mempunyai kekuatan lebih dari kelompok yang dipimpin; 3) Kepemimpinan adalah kemampuan menggunakan bentuk-bentuk kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku-perilaku pengikut dalam berbagai cara; dan 4) Aspek gabungan dari ketiganya yang mengakui bahwa kepemimpinan adalah sebuah nilai (value).
Sementara dalam sejarah Bali, pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang mampu memadukan antara kekuatan jiwa kepemimpinan yang dimiliki dengan kemampuan spiritual yang melekat dalam jiwa pemimpin itu. Harus diakui, Bali adalah sebuah daerah yang secara konsep adalah daerah yang sebenarnya homogen dari sisi agama dengan mayoritas penduduknya beragama Hindu. Namun di tengah homogenitas itu, terkandung pula secara implisit dan eksplisit sekat-sekat di antara masyarakatnya sendiri, terlebih lagi dengan begitu banyaknya orang luar Bali yang mencari penghidupan di Bali serta adanya gempuran budaya asing akibat pesatnya industri pariwisata dan kemajuan teknologi informasi, mau tak mau mempengaruhi pula pola pikir, perilaku dan sikap masyarakat Bali. Dahulu orang Bali sangat manut dengan pemimpinnya, karena kekuasaan raja sangat besar. Namun sekarang, hal itu sulit ditemui.
Di sisi yang sama, jika kita membaca sejarah kepemimpinan yang sukses dalam membangun Bali sejak ribuan tahun lalu, semua dari mereka berjuang dengan konsep pembangunan yang jelas, yaitu yang berbasiskan spiritual. Pemimpinnya mampu menggerakkan atau memotivasi jiwa dan semangat semua masyarakat untuk secara bersama-sama membangun daerah tanpa pamrih dan tanpa merasa berutang kepada sang pemimpin, serta segala keputusannya menjunjung keharmonisan semua aspek dan berlandaskan norma-norma agama.
Untuk itulah maka pemimpin Bali di masa mendatang adalah tipe pemimpin seperti itu, yang mempunyai jiwa kepemimpinan kuat dan mampu mengimplementasikan teori-teori kepemimpinan dalam praktek, serta ditambah lagi mempunyai perilaku spiritual yang tinggi. Sebab dewasa ini pembangunan yang telah terjadi di Bali, banyak yang melabrak sendi-sendi agama, budaya dan adat masyarakat Bali. Banyak contoh untuk menjelaskan hal itu, terutama dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, banyak pembangunan yang bukannya mensejahterakan masyarakat Bali, tapi malah menghancurkan Bali.
Pemimpin yang berbasiskan atau berperilaku spiritual, bukanlah semata-mata dinilai dari kepandaian seorang pemimpin dalam membangkitkan kekuatan emosi masyarakat dengan memanfaatkan tempat-tempat suci ataupun kehidupan desa pakraman yang sudah berjalan baik sebagai arena pertarungan politik untuk memenangkan kepentingan pribadi atau golongannya, melainkan kemampuan mengimplementasikan konsep pembangunan yang menyentuh semangat dan jiwa terdalam masyarakat yang dipimpinnya. Seperti misalnya, kebijakan yang didasari kejujuran dan transparansi (keterbukaan) dilaksanakan dengan memberikan peran seluas-luasnya kepada seluruh masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) membangun daerahnya secara aktif.
Pemimpin yang berbasis spiritual mempunyai sifat vertikal dan berkelanjutan dan tidak mengenal persaingan dengan orang lain serta juga tidak mengharapkan kalah-menang. Dia adalah juga seesorang yang berani mengatakan bahwa yang salah adalah salah dan yang benar adalah benar tanpa mengharap nikmat sesaat. Pemimpin yang berbasis spiritual bukanlah pemimpin yang mempunyai keberanian yang didasari oleh faktor intelektual dan emosi semata, namun yang didasari juga oleh faktor kejiwaan (spiritualitas).
Bisakah Bali dipimpin oleh seorang pemimpin dengan kriteria seperti itu? Tentu semuanya diserahkan kepada masyarakat Bali sendiri saat akan memilih pemimpinnya nanti.
Oleh:
Prof. Dr. IB Raka Suardana, SE.,MM.
Penulis adalah Profesor (Guru Besar) Manajemen pada Program Pascasarjana dan Fakultas Ekonomi & Bisnis (FEB) Undiknas University. Kini menjabat sebagai Dekan FEB Undiknas University dan Sekretaris Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Bali.

