Selasa, 20 September 2011

PELUANG USAHA

Pantang Nyerah
Raih Ratusan Juta Rupiah

Perjuangan I Made Rai Parwata dalam membangun bisnis pengolahan, tidak dilalui dengan proses mudah. Penuh dengan liku-liku. Tekad yang kuat, pantang menyerah serta ketegaran yang luar biasapun mengantarnya menjadi pebisnis tangguh.  Bagaimana kisah hidupnya, sampai ia mampu membalikkan roda nasib yang semula terbilang kurang beruntung, tapi akhirnya berbalik menjadi seseorang yang diperhitungkan di jagat bisnis?

Sejak masih kanak-kanak, pria yang biasa dipanggil Rinna ini sudah gemar membuat wayang dan ukiran kayu menggunakan bahan yang ditemuinya di sekeliling rumahnya.  Ternyata, berawal dari kegemaran masa kecil ini, mendorong Rinna untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Teknologi Ukir, yang masuk siang hari. Merasa banyak waktu luang di pagi hari, ia pun memutuskan bekerja dengan mengambil pasuh ukiran dari pemilik art shop di sekitar tempat tinggalnya. Pasuh yang biasa dikerjakan Rinna adalah ukiran untuk sanggah dan papan nama. Hasil mengerjakan pasuh ini dipakainya untuk membiayai sekolah.

Begitu lulus, Rinna berinisiatif melanjutkan sekolah ke Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR). Sama seperti yang dilakukan sebelumnya, ia pun sekolah sambil bekerja. Setamat SMSR, Rinna memutuskan untuk bekerja total sebagai tukang pembuat ukiran di sebuah perusahaan, dengan harapan dapat mengumpulkan modal untuk membuka usaha.

Tahun 1998, dengan uang Rp 1,5 juta di tangan, Rinna memulai usaha yang dinamakan UD. Rinna Dewata Sari. Uang itu dibelikan mesin pembuat lubang ukiran dan bor. Di masa-masa awal,  usahanya belum banyak dikenal. Pesananpun tak banyak. Rinna pun mengambil order dari perusahaan-perusahaan yang sudah mapan. Tanpa canggung dan malu, Rinna rela keluar masuk perusahaan untuk menawarkan order ukiran. Hasil kerja keras Rinna membuatnya mampu mengumpulkan tabungan hingga Rp 5 juta. Uang  itu digunakannya untuk membeli kayu.


Bahan kayu yang masih berupa gelondongan itu, dipecah menjadi beberapa bagian. Lantas kayu diserut, dirancang dan diukir secara hati-hati, hingga terbentuk beberapa hasil karya. Setelah proses pengukiran, dilanjutkan dengan pengamplasan dan dicat sehingga hasilnya lebih maksimal dan siap ditawarkan kepada konsumen.

Dari Pintu Bali

Hasil karya Rinna amat variatif. Terdiri atas berbagai macam bale bali,  pintu berukir, sanggah, kincut, caka, kerawangan, hiasan kolong, mayeng, tere, ringring, patung garuda dan lain-lain. Dari mulut ke mulut, lama-lama usaha Rinna pun makin dikenal sehingga jumlah karyawan terus bertambah hingga sekarang mencapai 50 orang.

“Selain pesanan datang dari seluruh penjuru Bali, saya sesekali menangani order dari luar negeri. Belum lama ini saya menyelesaikan pesanan pintu dari Jepang. Sebelumnya saya mengirim pintu gerbang ke Korea, Taiwan, Amerika dan Mesir,” tutur pria asli Munggu ini.

Untungnya, Rinna gampang mendapatkan pasokan bahan baku untuk menunjang kelangsungan hidup bisnisnya. Bahan baku itu berupa kamper, nangka, jati dan cempaka, yang mayoritas didatangkan dari Kalimantan. Kayu cempaka biasanya dipergunakan untuk membuat bangungan atau wadah yang suci, misalnya untuk pelinggih atau plangkiran.

Setiap bulan, Rinna berbelanja bahan baku hingga Rp 29 juta. Perinciannya, jati menghabiskan Rp 20 juta, cempaka, nangka dan kamper masing-masing menghabiskan Rp 2 juta. Sedang bahan-bahan pendukung paku, vernis, kuas dan cat, menghabiskan sekitar Rp 3 juta.

Suami Ni Wayan Rasmini ini menuturkan, biasanya kalau ada konsumen yang memesan sesuatu, sekalian membawa contoh desain. Kalau tidak membawa contoh, bisa melihat-lihat pajangan barang di workshop yang jumlahnya mencapai sekitar 40 item dan menentukan mana produk yang dipilih.

“Selama ini, barang yang paling banyak dipesan adalah pintu bali dan bale bali. Untuk mengerjakannya butuh waktu sekitar satu bulan, karena desainnya rumit. Harus diukir dengan hati-hati dan dilanjutkan dengan pengecatan sehingga terlihat menarik,” jelas ayah dua anak ini.

Harga pintu, lanjut Rinna, tergantung dari bahan dan hasil finishing. Untuk pintu yang terbuat dari nangka yang sudah dicat, harganya Rp 7,5 juta. Sedangkan kalau bahannya dari kayu jati dan sudah dicat, maka harga akan mencapai Rp 10 juta. Bale bali ditawarkan dengan harga Rp 35 juta – Rp 60 juta. Hiasan tempel di dinding Rp 225 ribu – Rp 320 ribu. Sanggah dijual dengan harga Rp 2,5 juta – Rp 7 juta. Patung garuda dipatok harga Rp 750 ribu – Rp 1,5 juta.

Mengenai gaji karyawan, Rinna menerapkan sistem harian dan borongan. Karyawan harian mendapatkan Rp 40 ribu per hari. Sedangkan karyawan borongan, lain lagi aturannya. Jika mengerjakan pintu, maka akan mendapatkan Rp 2,5 juta. Kalau membuat sanggah akan mendapatkan Rp 500 ribu. Rinna bersyukur, dengan omset sekitar Rp 100 juta per bulan ini, setidaknya ia mampu membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain.

Bagi Rinna, meski usaha yang dikerjakannya mempunyai banyak pesaing, ia tidak galau sedikitpun. Apalagi ia percaya dengan kualitas yang maksimal, maka pelanggan tidak akan lari ke pesaingnya. Tidak heran, jika sedang ada konsumen yang datang ke tokonya, ia tidak segan-segan ikut terjun untuk menemui. Selain agar mengetahui apa kemauan konsumen, Rinna memang bermaksud memberikan pelayanan sebaik mungkin.

Jika sebelumya Rinna berpromosi sekadarnya saja,  kini ia menerapkan strategi baru dengan getol mengikuti pameran. Hasilnya ternyata lumayan bagus. Beberapa pengunjung yang mampir ke stand, banyak yang tertarik dengan produk yang dipajangnya. Dari sekadar melihat-lihat, sering kali berakhir dengan transaksi jual-beli. Yang paling menggembirakan, ada beberapa pengunjung asing yang begitu antusias melihat produk yang ditawarkan Rinna dan berjanji akan segera memesan untuk dikirim ke negaranya.

“Nantinya saya ingin membuka show room di masing-masing kabupaten di Bali. Jadi kalau ada yang berminat dengan produk saya, tidak usah jauh-jauh datang ke Munggu,” tegas Rinna.
Bagikan

SAJIAN TERBARU LAINNYA