Selasa, 20 September 2011

Mengurai Benang Kusut KUR

Sejak diluncurkan  November 2007, Kredit Usaha Rakyat (KUR) masih jua tak henti dirundung kekeliruan persepsi. Suara-suara miring bermunculan bahwa KUR tak lebih dari sebuah ‘pepesan kosong’, yang sarat muatan politis. Sebagian pelaku UKM (usaha kecil menengah) atau koperasi pun  mengeluhkan, KUR adalah akronim dari Kredit Urusan Ruwet. Nah!

KUR merupakan fasilitas pembiayaan yang dapat diakses oleh UMKM dan koperasi, di mana usaha itu layak namun belum bankable. Usaha itu mempunyai prospek bisnis yang baik dan memiliki kemampuan untuk mengembalikan. Pemerintah lantas menunjuk sejumlah bank sebagai penyalur KUR. Ada Bank BRI, Bank BNI, Bank Mandiri, Bank Bukopin, Bank BTN,  Bank Syariah Mandiri dan sejumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR). 

Selaku penjamin kredit ialah Perum Sarana Pengembangan Usaha dan PT (Persero) Asuransi Kredit Indonesia. Penyaluran kredit pola penjaminan ini difokuskan pada lima sektor usaha yaitu pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan, koperasi, perindustrian dan perdagangan, dengan bimbingan teknis dari departemen terkait. KUR dengan pola penjaminan ini adalah perwujudan dari tindak lanjut pemerintah untuk menggerakkan sektor ekonomi kerakyatan.

Sayangnya, selama ini banyak calon debitur yang belum sepenuhnya memahami program KUR. Terdapat kesenjangan informasi antarpelaku usaha dengan perbankan penyalur KUR, yang disinyalir bermula dari perbedaan persepsi antara calon debitur  dan perbankan. Pada akhirnya, sering tak terhindarkan terjadi silang pendapat. 
Kesalahpahaman informasi antara pelaku usaha dengan pihak perbankan, bisa disebabkan beragam faktor,  salah satunya perbedaan latar belakang pendidikan pelaku usaha. Hal lainnya ialah belum optimalnya sosialisasi KUR, juga bisa menjadi pemicu, sehingga masyarakat tak sepenuhnya memiliki pemahaman yang memadai tentang KUR.  Keadaan ini menyebabkan seolah ada pembatas antara pelaku UKM dan perbankan.

 “Soal sosialisasi KUR kepada masyarakat, memang tak dapat disangkal, masih menjadi masalah tersendiri. Pada daerah tertentu, bank tidak bisa meng-cover koperasi atau pelaku UKM, karena tidak bisa melayani KUR sampai end user. Solusinya, biasanya bank akan bekerja sama dengan BPR, untuk menyalurkan KUR hingga ke desa-desa,” jelas Eben Eser Nainggolan, SE., MP., Head of Bisnis Banking BNI wilayah Denpasar.

Masalah lain yang cukup njelimet sebenarnya, soal KUR yang terlanjur termitoskan sebagai program kredit tanpa agunan. Padahal sebenarnya yang tanpa agunan itu untuk peminjaman di bawah Rp 5 juta. Di atas Rp 5 juta, tetap dikenakan agunan.

Tak hanya masalah agunan, soal manajemen koperasi pun masih kerap dipertanyakan. Manajemen koperasi yang masih jauh dari standar bank, sudah tentu akan menjadi penghambat sebuah lembaga koperasi untuk mendapatkan KUR.   Koperasi tak kunjung mendapat kucuran dana, namun tak ‘ngeh’ penyebabnya, ujung-ujungnya menilai perbankan telah mempersulit. Bank dicap tidak berpihak kepada sektor ekonomi rakyat.

Kabid Bina Usaha Koperasi dari Dinas Koperasi & UKM Kota Denpasar, Drs. Tri Sudirman S. Msi., mengungkapkan perbankan sebagai lembaga keuangan profesional, memang sudah selayaknya memiliki sistem yang ketat, sehingga koperasi yang ingin mendapat dana KUR, mesti lebih dulu membenahi manajemen. Di sisi lain, ia mengharapkan bank bisa memberikan kebijakan bunga yang rendah kepada koperasi, karena dana yang didapat dari KUR, tentu akan dilepas lagi kepada anggota atau nasabah. Kalau bunganya tinggi, tentu koperasi akan kesulitan melepas dana itu.

“Sebenarnya, masalah mendasar yang selama ini banyak dialami koperasi adalah soal modal, lemahnya SDM dan pemasaran. Khusus untuk SDM, dinas koperasi sudah jauh-jauh memberikan pelatihan atau diklat kepada koperasi di Kota Denpasar. Tujuannya agar ada pembenahan manajemen, sehingga bisa menempatkan diri layaknya lembaga keuangan lainnya,” katanya.   

Sejumlah Penyempurnaan
    
Belakangan, program KUR kembali mengalami sejumlah penyempurnaan yang mengadaptasi aspirasi masyarakat. Pemerintah selalu memberikan kebijakan yang sifatnya mendorong KUR agar bisa benar-benar sampai ke masyarakat. Kebijakan yang sudah diterapkan, yaitu peningkatan plafon KUR Mikro dari Rp 5 juta menjadi Rp 20 juta. 

Selain itu, pemerintah memberikan skema KUR untuk Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dengan penjaminan pemerintah sebesar 80 persen. Plafon KUR untuk program linkage executing (penyaluran KUR tidak langsung) juga ditingkatkan dari semula Rp 1 miliar menjadi Rp 2 miliar. Kebijakan lainnya ialah  memberikan jangka waktu kredit atau pembiayaan investasi untuk perkebunan tanaman kerja langsung 13 tahun, tetapi tidak dapat diperpanjang.

Pemerintah juga minta secara khusus kepada 13 BPD sebagai bank pelaksana KUR di samping enam bank yang lainnya untuk memacu realisasi KUR sesuai target.  BPD itu adalah  Bank DKI, Bank Jabar-Banten, Bank Jateng, Bank Jatim, BPD Yogyakarta, Bank Nagari, Bank NTB, Bank Sulut, Bank Kalbar, Bank Kalsel, Bank Kalteng, Bank Maluku dan Bank Papua.

Nilai KUR yang telah disalurkan sejak tahun 2007 hingga 2010 mencapai Rp 34,417 triliun. Dana tersebut saat ini sudah dinikmati oleh 3,8 juta penerima KUR. Pada tahun 2011 ditargetkan KUR dapat tersalurkan minimal Rp 20 triliun.  Jika pelaksanaannya berlangsung baik dan terbukti kemanfaatannya bagi masyarakat, rencananya akan ditingkatkan lagi. Namun, tentu saja dengan pengawasan dan pemberlakuan aturan yang sesuai.








Bagikan

SAJIAN TERBARU LAINNYA