MEPANDES,
MENUJU MANUSIA SEJATI
Manusia selalu menginginkan agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Berbagai cara dilakukan, mulai dari pendidikan hingga seperti yang dilakukan masyarakat Hindu melalui berbagai upacara terutama manusa yadnya. Salah satu upacara manusa yadnya yang dilakukan yakni mepandes atau yang dikenal juga dengan istilah metatah (potong gigi).
Dalam tahap kehidupan manusia, upacara mepandes memiliki makna yang sangat dalam. Pada upacara mepandes ini, gigi dikikir dan diratakan. Gigi yang dikikir yakni empat gigi seri dan dua gigi taring atas. Idealnya upacara potong gigi ini dilaksanakan sebelum seorang anak menikah, karena itu upacara ini juga sering disamakan sebagai proses memasuki usia dewasa.
Dalam tahap kehidupan manusia, upacara mepandes memiliki makna yang sangat dalam. Pada upacara mepandes ini, gigi dikikir dan diratakan. Gigi yang dikikir yakni empat gigi seri dan dua gigi taring atas. Idealnya upacara potong gigi ini dilaksanakan sebelum seorang anak menikah, karena itu upacara ini juga sering disamakan sebagai proses memasuki usia dewasa.
Pemotongan enam gigi ini melambangkan simbol pengendalian terhadap Sad Ripu (enam musuh dalam diri manusia), meliputi kama (hawa nafsu), loba (rakus), krodha (marah), mada (mabuk), moha (bingung), dan matsarya (iri hati). Sad Ripu yang tidak terkendali akan membahayakan kehidupan manusia. Karenanya kewajiban setiap orangtua untuk menasehati anak-anaknya serta memohon kepada Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari pengaruh Sad Ripu.
Sumber sastra mengenai upacara potong gigi adalah lontar Kala Pati, Kala Tattwa, Semaradhana, dan sang Hyang Yama. Dalam lontar Kala Pati disebutkan bahwa potong gigi sebagai tanda perubahan status seseorang menjadi manusia sejati, yakni manusia yang berbudi dan suci sehingga kelak di kemudian hari bila meniggal dunia sang roh dapat bertemu dengan para leluhur di sorga Loka.
Sementara dalam lontar Semaradhana disebutkan bahwa Bethara Gana sebagai putra Dewa Siwa yang lain dapat mengalahkan raksasa Nilarudraka yang menyerang sorgaloka dengan menggunakan potongan taringnya. Selain itu disebutkan bahwa Bethara Gana lahir dari Dewi Uma setelah Dewa Siwa dibangunkan dari tapa semadhinya oleh Dewa Semara (Asmara) namun kemudian Dewa Siwa menghukum Dewa Semara dengan membakarnya hingga menjadi abu.
Istri Dewa Semara yakni Dewi Ratih kemudian memohon agar dirinya turut dibakar. Abu dari Dewa Semara dan Dewi Ratih kemudian menyebar dan masuk ke dalam tubuh tiap manusia. Abu Dewa Semara pada laki-laki, dan Abu Dewi Ratih pada perempuan.
Dalam lontar Sang Hyang Yama disebutkan bahwa upacara potong gigi boleh dilaksanakan bila anak sudah menginjak dewasa, ditandai dengan menstruasi untuk wanita dan suara yang membesar untuk pria. Biasanya hal ini muncul di usia 14 tahun. Pada usia inilah anak biasanya mulai memiliki ketertarikan dengan lawan jenis.
“MEGETEP BOK” HINGGA “METAPAK”
MEREKA yang akan mepandes haruslah dilukat dengan padudusan madya, setelah itu mereka memuja Hyang Raditya untuk memohon keselamatan dalam melaksanakan upacara.
Upacara dilanjutkan dengan megetep bok (potong rambut) dan merajah yang bertujuan menyucikan diri serta menandai adanya peningkatan status sebagai manusia yaitu meninggalkan masa anak-anak ke masa remaja.
Upacara kemudian dilanjutkan dengan naik ke bale tempat mepandes dengan terlebih dahulu menginjak caru sebagai lambang keharmonisan, mengetukkan linggis tiga kali (Ang, Ung, Mang) sebagai simbol mohon kekuatan kepada Hyang Widhi dan ketiak kiri menjepit caket sebagai simbol kebulatan tekad untuk mewaspadai Sad Ripu.
Berikutnya, merupakan yang paling pokok, yakni saat gigi yang bersangkutan dikikir oleh sangging. Selama mepandes, air kumur dibuang di sebuah nyuh gading (kelapa kunging) agar tidak menimbulkan keletehan. Dilanjutkan dengan mebiakala sebagai sarana penyucian serta menghilangkan mala untuk menyongsong kehidupan masa remaja.
Setelah itu mapedamel. Mapedamel berasal dari kata “dama” yang artinya bijaksana.Tujuan agar tercipta manusia yang bijaksana, mempunyai pandangan luas, dan dapat menentukan sikap yang baik, karena dapat memahami apa yang disebut dharma dan apa yang disebut adharma.
Saat mapedamel orang yang mesangih mengenakan kain putih, kampuh kuning, dan selempang samara ratih sebagai simbol restu dari Dewa Semara dan Dewi Ratih (berdasarkan lontar Semaradhana tersebut). Tak lupa dipakai benang pawitra berwarna tridatu (merah, putih, hitam) sebagai simbol pengikatan diri terhadap norma-norma agama.
Mereka yang metatah kemudian diberikan kesempatan mencicipi sad rasa yaitu enam rasa berupa rasa pahit hingga asam sebagai simbol agar tabah menghadapi peristiwa kehidupan yang terkadang tidak menyenangkan.
Tiap rasa memiliki maknanya sendiri. Rasa pedas sebagai simbol agar tidak menjadi marah bila mengalamai atau mendengar hal yang menjengkelkan, rasa sepat sebagai simbol agar taat ada peraturan atau norma-norma yang berlaku, rasa asin sebagai simbol kebijaksanaan, selalu meningkatkan kualitas pengetahuan karena pembelajaran diri, dan rasa manis sebagai simbol kehidupan yang bahagia lahir bathin sesuai cita-cita akan diperoleh bilamana mampu menhadapi pahit getirnya kehidupan, berpandangan luas, disiplin, serta senantiasa waspada dengan adanya Sad Ripu dalam diri manusia.
Upacara dilanjutkan dengan natab banten. Tujuannya memohon anugerah Sang Hyang Widhi agar apa yang menjadi tujuan melaksanakan upacara dapat tercapai. Rangkaian metatah ditutup dengan upacara metapak yang menandakan kewajiban orangtua terhadap anaknya dimulai sejak berada dalam kandungan ibu sampai menjadi dewasa secara spiritual sudah selesai.
Makna lainnya, sebagai ucapan terima kasih si anak kepada orangtuanya karena telah memelihara dengan baik serta memohon maaf atas kesalahan-kesalahan anak terhadap orang tua juga mohon doa restu agar selamat dalam menempuh kehidupan di masa datang.