Perkembangan industri pariwisata yang begitu pesat di Bali, bukan hanya membuat Bali menjadi sangat dikenal oleh dunia luar. Pariwisata telah membawa dampak positif bagi perekonomian Bali. Jika dulu hampir seluruh masyarakat menggantungkan hidupnya pada pertanian dalam arti luas, saat ini industri pariwisata telah menjadi alternative, bahkan pilihan favorit sebagian besar masyarakat Bali.
Sayang, di tengah pesatnya perkembangan pariwisata Bali, kebanyakan orang Bali hanya berada di posisi sebagai pekerja. Sementara mereka yang menguasai dan mengontrol perputaran roda pariwisata kebanyakan merupakan orang-orang non-Bali bahkan asing.
I Ketut Purna, yang akrab disapa John, merupakan satu dari sedikit orang Bali yang bisa memiliki tempat dalam industri pariwisata Bali. Direktur dari PT Restu Dewata Bali Tour ini bisa menjadi contoh keberhasilan putra bali dalam berjuang dalam industri pariwisata. Tentu bukan sesuatu yang mudah untuk mencapai apa yang telah diraihnya saat ini.
Kepada Galang Kangin, pria yang hanya lulusan SMA ini menuturkan perjalanannya hingga meraih posisi seperti sekarang. Sejatiya ia merupakan anak yang tumbuh jauh dari hingar-bingar dunia pariwisata. Lahir dan tumbuh di Desa Jatiluwih, Tabanan, Purna selalu bergelut dengan dunia pertanian. Bahkan setelah lulus dari bangku SMA pada 1985, Purna masih bekerja di sawah. Meski begitu, dalam benaknya ia ternyata telah menyimpan keinginan untuk datang merantau ke Denpasar.
“Dari 1985 sampai 1989 saya masih bekerja di sawah. Meski orangtua masih ada, tetapi saya bestatus anak angkat. Waktu itu telah ada keinginan untuk pergi ke Denpasar. Padi yang telah ada, niatnya dijual untuk membeli sepeda motor dan pergi bekerja ke Denpasar, tetapi ternyata ayah angkat saya tidak setuju. Saya juga tidak mendapat izin,” tutur suami Ni Ketut Ngasti ini.
Tak mendapat restu dari orang tua, ternyata tak membuat niat di benak Purna padam. Sebaliknya, keinginan untuk merantau ke Denpasar semakin besar. Akhirnya ia memberanikan diri dan nekat pergi memenuhi panggilan hatinya. Dari sinilah perjuangannya dimulai.
Pertama sampai di Denpasar, pria kelahiran 22 Desember 1965 ini bekerja sebagai kernet angkot. Ia bekerja dengan seorang sopir yang tinggal di kawasan Imam Bonjol. Selama bekerja sebagai kernet, ia terpaksa tinggal di dalam angkot. “Saat itu saya tak pernah membicarakan gaji atau upah, yang terpenting saya diberikan makan setiap hari, itu saja sudah cukup,” kenang Purna. Saat menjadi kernet angkot ini juga Purna diajari menyetir hingga akhirnya bisa mengendarai mobil sendiri.
Setelah bekerja sebagai kernet, ia lalu mendapat perkerjaan pada sebuah art shop dan digaji Rp 10 ribu per bulan. Saat bekerja di sinilah ia mulai belajar bahasa Inggris. Purna menceritakan kemampuan bahasa Inggrisnya tidak didapat melalui kursus, melainkan secara otodidak. Purna masih bisa mengingat dengan jelas ia bisa fasih berbahasa Inggris, karena belajar dari sebuah buku percakapan yang berjudul 555.
Dilihat memiliki kemampuan, Purna pun diajak bekerja sebagai sopir oleh Putu Mustika yang bekerja di salah satu hotel. Hanya saja, Purna tak langsung bisa bekerja sebagai sopir. Terlebih dulu ia harus bekerja di rumah Mustika sebagai pembantu.
“Saya ditawari bekerja sebagai sopir oleh Mustika, tapi sebelumnya harus kerja dulu di rumahnya. Saya bekerja di sana selama tiga bulan. Saat itu baru benar-benar saya rasakan bekerja sebagai pembantu. Yang paling berat rasanya saat harus mencuci pakaian dalam. Tapi itu semua harus dilakukan agar bisa mandapatkan pekerjaan yang lebih baik,” tuturnya.
Bekerja sebagai sopir membuat Purna memiliki kesempatan untuk bertemu dengan lebih banyak orang dan menjalin hubungan baik dengan beberapa kolega. Bahkan pada 1991 ia pergi ke Amerika bersama Michael, seorang warga Amerika yang cukup lama dikenalnya.
Awalnya ia berencana pergi ke Amerika selama setahun untuk bekerja. Hanya saja ia merasa kurang cocok dengan segala kondisi yang ada di sana, sampai ia memutuskan akan pulang kembali ke Bali. Tetapi sambil menunggu kepulangan, ia melihat sebuah iklan yang menayangkan dibukanya lowongan untuk bergabung sebagai crew cruise (kapal pesiar) yang membuatnya tertarik.
“Kebetulan waktu itu tempat pendaftarannya hanya beberapa blok dari apartemen tempat saya tinggal. Langsung saja saya mendaftar dan joint dengan cruise tersebut. Akhir 1991 saya resmi bergabung. Saya bekerja hanya setahun, dan pada 1992 langsung kembali ke Bali. Hasil bekerja selama satu tahun saya belikan tanah untuk rumah ini,” ujarnya.
Sepulang dari bekerja di kapal pesiar, berbekal pengalaman yang dimilikinya, Purna bekerja pada sebuah travel. Bekerja selama lima tahun dari 1993-1998, membuatnya mencapai posisi sebagai manager. Hanya saja krisis yang terjadi membuat travel tempatnya bekerja gulung tikar.
Tahun 1999 ia memutuskan untuk keluar dan kembali menjadi sopir. Baru tahun 2000 ia memutuskan membentuk perusahaan sendiri yang diberi nama PT Restu Dewata Bali Tour. Di sinilah ia mulai merintis semuanya. Di awal, ia hanya bekerja sendiri dan mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Hal ini ia lakukan selama tiga tahun sampai tahun 2003.
“Saat memulai, saya bekerja seperti tukang jahit. Semua saya kerjakan sendiri. Mulai membuka email, sopir sampai direkturnya juga saya sendiri. Saya jadi punya banyak kartu nama. Saya bekerja dengan satu computer saja yang ada di kamar yang sempit. Tetapi waktu itu hubungan dengan beberapa hotel sudah bagus. Jadi saya sangat terbantu oleh relasi ini,” tuturnya.
Setelah travel agent-nya berkembang, ia pun muai mengembangkan sayap bisnisnya. Spa menjadi pilihannya. Pada 2007, ia mulai merintis Bali Orchid Spa yang berlokasi di Bypass Ngurah Rai. Persaingan yang begitu ketat baik pada usaha travel agent maupun spa, tak menjadi kekhawatiran bagi Purna. Menurutnya, kualitas yang baik menjadi salah satu jaminan bagi seorang pengusaha untuk bertahan.
“Yang terpenting kita selalu berusaha memberikan pelayanan terbaik, dan menjaga kualitas layanan yang diberikan. Dengan pelayanan yang baik dan tamu tak pernah complain, maka kita akan bisa melanjutkan bekerja. Wisatawan semakin cerdas. Mereka tentu tak hanya mau dengan harga murah, tetapi kemudian digiring seperti kerbau untuk berbelanja dan melakukan ini dan itu. Mereka datang ke Bali untuk menikmati alam Bali dan bukan untuk yang lain,” jelas ayah empat anak ini.
JANGAN PERNAH MENYERAH
FOCUS menjadi kunci bagi keberhasilan Purna hingga menjadi seperti saat ini. Menurutnya, seseorang tak boleh menyerah dengan keadaan. Agar bisa berhasil, seseorang menurutnya tak boleh malu dengan apapun yang dilakukan selama yang dilakukannya itu benar dan tak sampai merugikan orang lain.
“Pertama, seseorang harus focus pada apa yang diinginkan dan dikerjakan. 15% dari apa yang dilakukan diletakkan pada doa atau spiritual way. Sisanya kita harus work hard and work smart. It’s not easy, but fun,” ungkapnya.
Bagi anak muda Bali, Purna memberikan saran agar di samping bekerja di Bali, akan lebih baik jika diimbangi mencari pengalaman di luar. Dengan hal ini mindset yang ada selama ini akan berubah. Pengalaman akan membuat seseorang memiliki pola pikir yang berbeda. Pola pikir positif menurut Purna perlu dikembangkan, maka setiap orang akan mampu menghadapi setiap tantangan dengan baik.
Tak hanya pola pikir, pola kerja juga dinilai perlu untuk diperbaiki. Bekerja di dunia pariwisata yang tak pernah libur, menuntut seseorang untuk mampu memanage segala aktivitasnya mulai dari pekerjaan, urusan agama maupun adat. Jika ini tak dilakukan, orang Bali dikhawatirkan hanya akan menjadi penonton gemerlapnya pariwisata di rumah sendiri.
“Setiap hari kita akan menghadapi sesuatu yang berbeda. Bisa jadi ini sebuah tantangan atau bahkan masalah yang harus diselesaikan. Karena itu setiap hari kita dituntut untuk berpikir cerdas dan bekerja keras. Tak ubahnya berjudi, kita harus berani mengambil langkah, menentukan strategi dan menanggung segala risiko yang akan terjadi di depan.
Berkat segala usaha dan kerja kerasnya, banyak hal telah diraih Purna. Saat ini saja ia memiliki 14 kendaraan yang mendukung operasional travelnya. Di PT Restu Dewata Bali Tour, ia dibantu 22 orang pekerja dan di spa yang dimilikinya, ia mempekerjakan lebih dari 50 orang.