Mengembangkan sebuah usaha yang didukung dengan keserbatersediaan fasilitas, mungkin bukan hal yang luar biasa. Tetapi untuk mampu bertahan di tengah berbagai keterbatasan, namun tumbuh menjadi sesuatu yang sangat luar biasa, layak menadi cermin bagi yang lain. Dalam kondisi seperti kasus yang kedua itu, diperlukan keteguhan dan semangat untuk mengabdi guna bertahan dan mengembangkan sebuah organisasi, seperti koperasi dengan segala keterbatasan yang dimilikinya.
Semangat mengabdi ini ditunjukkan I Wayan Laksana, S.Pd. Pria yang telah dua periode menjadi ketua Koperasi Seniman Wayang Kulit Sukawati ini, menunjukkan bahwa di tengah segala keterbatasan, koperasi ini mampu bertahan dan memberikan dampak yang positif bagi anggotanya.
Mencari Koperasi Seniman Wayang Kulit ini tak terlalu sulit. Hanya saja, jangan dibayangkan jika kita akan menemui sebuah kantor dengan berbagai fasilitasnya. Bahkan jika tak melihat dari papan nama yang terpasang di depannya, kita akan mengira bahwa tempat tersebut hanyalah art shop yang menjual kerajinan wayang kulit.
Laksana mengakui, mengembangkan koperasi seniman wayang kulit ini bukanlah perkara mudah. Di awal pendiriannya, pemerintah memang memberikan bantuan modal yang besarnya bahkan di atas 100 juta rupiah. Akan tetapi, bukan berarti koperasi ini dapat beroperasi dengan mulus dan tanpa hambatan.
“Meski diberikan modal, kami tak memiliki kemampuan untuk mengelola keuangan. Koperasi seniman ini hanya dibolehkan menerima anggota yang merupakan seniman wayang, sementara sebagaimana diketahui, para seniman tak memiliki kemampuan untuk mengelola keuangan. Mereka tak terlalu suka terikat dan sebisa mungkin memisahkan urusan berkesenian dengan hal-hal yang bersifat material,” ujarnya.
Benar saja. Setelah badan hukum didapat oleh koperasi ini, ternyata koperasi tak bisa langsung melaksanakan operasionalnya. Meski badan hukum telah terbit pada pertengahan 2005, baru tahun 2007 koperasi ini memulai operasionalnya.
Keterbatasan tempat operasional, serta sumber daya, membuat koperasi ini hanya melayani unit usaha pinjaman dana semata. Tak berkembangnya unit usaha lain bukan dikarenakan tak ada keinginan dari para pengurus maupun anggota untuk mengembangkan koperasi. Hal ini lebih disebabkan oleh keterbatasan, terutama sumber daya manusia untuk mengelola dan menjalankan unit-unit usaha lainnya.
“Sebenarnya kami ingin mengembangkan unit lain seperti simpanan. Hanya saja kami takut jika dipaksakan, hasilnya justru tak akan baik. Membentuk unit usaha baru tentu perlu tenaga tambahan. Tenaga inilah yang belum ada, sehingga kami tak bisa menjalankan unit usaha baru,” jelas ayah tiga anak ini.
Keterbatasan sumber daya manusia ini terlihat jelas dari operasional yang hanya dilaksanakan oleh dua orang, termasuk Wayan Laksana. “Sebenarnya saya dulu bukanlah anggota, tetapi saat koperasi ini dibentuk, saya diminta untuk membantu mengelola. Pun demikian dengan bagian yang membantu operasional di sini, semua kami lakukan dengan sukarela.”
Meski bukan sesuatu yang mudah, Laksana terus berusaha melakukan yang terbaik di tengah berbagai keterbatasan yang harus dihadapi koperasi ini. Apa yang dilakukannya saat ini sebagai wujud pengabdian dan kepedualiannya terhadap kesenian dan keberadaan seniman wayang kulit di Sukawati.
“Kami tetap berusaha melakukan segala sesuatunya dengan sebaik mungkin. Bukan demi sesuatu yang sifatnya materi semata. Ini kami lakukan sebagai wujud pengabdian kepada leluhur dan pasemetonan dalang dan seniman wayang kulit di Babakan,” ujar suami Ni Ketut Karmi ini. Semangat ngayah inilah yang tetap membuat Laksana tetap bertahan. Menurutnya, dengan tetap mengabdi di koperasi seniman ini, ia bisa membantu para seniman, sebagai wujud nyata baktinya pada leluhur.
Dalam mengelola koperasi, diakui kemajuan tak hanya ditentukan oleh pengurusnya saja. Laksana menilai sebuah organisasi terutama koperasi, baru bisa maju jika didukung oleh seluruh anggotanya dan juga masyarakat yang ada di sekitarnya. “Sepandai apapun pengurusnya, jika anggota dan masyarakatnya tak pernah peduli, tentu koperasi tak akan bisa maju. Karena koperasi ini milik bersama, maka baru bisa berjalan baik jika ada rasa saling memiliki, bukan hanya dari pengurus tapi juga anggota dan masyarakatnya,” jelasnya.
Tak Hanya Modal
Meski berjalan dalam berbagai keterbatasan, akan tetapi keberadaan koperasi ini diakui membawa yang berarti bagi para anggotanya. Wayan Kurdana, salah seorang anggota koperasi, menyatakan, modal memang menjadi salah satu kendala yang dihadapi oleh hampir seluruh seniman, termasuk seniman wayang.
Ada kalanya kami akan mendapatkan order, tetapi untuk membuat order ini, kami tentu memerlukan modal. Kami perlu membeli bahan baku, para pekerja juga harus dibayar, meski terkadang ada “DP”, tapi seringkali ini tak mencukupi, karena itu para seniman memang perlu mendapatkan bantuan modal agar bisa bertahan.
Laksana menuturkan, para seniman yang menjadi anggota dari koperasi ini, mendapatkan keringanan saat melakukan peminjaman. Untuk pinjaman di bawah Rp 1 juta, mereka tak perlu menggunakan agunan. Bahkan bunga pinjamannya pun relatif rendah hanya 1,5%. Sementara bagi non anggota, bunga pinjaman mencapai 2%
Hanya saja Laksana menilai bahwa para seniman ini tak cukup, jika hanya dibantu dari sisi permodalan. Jauh lebih penting dari itu para perajin wayang juga perlu dibantu pemasaran produknya. Karena meskipun mereka memiliki modal untuk berproduksi, jika tak didukung dengan akses pasar yang memadai, hasilnya jelas tak cukup maksimal.
Meski di satu sisi ia gembira, pemerintah memberikan perhatian akan ketersediaan modal bagi para seniman, namun di sisi lain ia menyayangkan pemerintah justru kurang memfasilitasi akses pasar pada para seniman ini. “Kami diminta membentuk organisasi, tetapi lucunya setiap ada pameran, justru orang lain yang ditunjuk. Ini kan aneh. Jika memang pemerintah akan membantu, sebaiknya bukan hanya modal, tetapi juga akses pasar, sehingga produk kami bisa dikenal secara luas dan dengan demikian kesenian wayang kulut juga akan lestari,” tutur pria yang juga menjadi ketua KSU Banjar Babakan ini.