Minggu, 12 Februari 2012

ANTARA TRADISI DAN INDUSTRI (Edisi II/2012)

Masyarakat Bali, dalam melakoni kehidupannya sarat dengan warna ritual. Ritual-ritual itu merupakan warisan budaya para pendahulu  Bali. Ritual yang kemudian menjadi perayaan, dalam perspektif redaksi, mulanya merupakan salah satu cara peng-ekspresi-an diri dalam menghormati serta menjalani kehidupan yang penuh kebahagiaan. Hanya masyarakat yang berbahagia dan terhormat yang merayakan kehidupan.

Dalam perjalanannya, ritual yang merupakan peng-ekspresi-an diri tersebut mengalami perkembangan sesuai tingkat kecerdasan manusia Bali. Kecerdasan yang mampu melihat aspek-aspek alam yang berpengaruh baik secara positif maupun negatif terhadap kehidupan manusia. Adanya kesadaran bahwa manusia tidak bisa hidup terpisah dari alam, maka munculah simbol-simbol sebagai bentuk penghormatan terhadap aspek-aspek alam semesta. Ritual pun berkembang dan dipenuhi dengan simbol-simbol, yang merupakan hasil olah kecerdasan manusia Bali dalam mengekspresikan dirinya, memberikan penghormatan dan merayakan kehidupan dalam kebahagiaannya.

Salah satu simbol yang masih diwarisi masyarakat Bali adalah banten/bebantenan. Ritual yang dilakukan di Bali hampir tidak bisa lepas dari banten, bahkan sudah merupakan ornamen wajib. Kini banten telah menjadi kebutuhan dalam setiap proses ritual. Dalam skala tertentu, pembuatan sarana banten bahkan melibatkan anggota masyarakat, sehingga proses pembuatan banten juga merupakan ajang bersosialisasi. Masyarakat Bali yang banyak terjun di dunia professional, dituntut untuk tampil profesional. Ini  menguras banyak energi dan waktu. Sementara banten sebagai pelengkap ritual juga membutuhkan waktu dan energi. Adanya kebutuhan serta tuntutan dunia profesional telah menciptakan peluang bagi beberapa orang. Banten yang awalnya merupakan ekspresi kebahagiaan dan melibatkan warga masyarakat, kini telah berubah menjadi industri. Yang tadinya diukur dengan nilai, kini diukur dengan nominal. Di satu sisi, tradisi mebanten telah menciptakan lapangan pekerjaan bagi sebagian orang yang menggeluti dunia bebantenan, sementara di sisi lain ada nilai-nilai yang tergerus dari masyarakat Bali.

Bagaimana sebaiknya masyarakat Bali menyikapi fenomena ini?

Dalam rangka perayaan Hari Galungan dan Kuningan, tim Galang Kangin mencoba menelisik fenomena ini dengan mendengar pendapat dari berbagai nara sumber. Silang pendapat tentu bisa terjadi. Dan selayaknya menjadi pemikiran untuk menentukan ke arah mana budaya Bali akan berkembang. Dunia modern menuntut penyederhanaan, sementara budaya yang ada dan sudah mentradisi memiliki tuntutannya sendiri. Dan ini menjadi sajian utama tabloid Galang Kangin untuk edisi kali ini.

Selain memuat “industri banten” masih ada liputan mengenai koperasi karyawan Garuda Denpasar (Kosigarden). Serta profil I Gusti Ngurah Alit Indradhyana, SE selaku ketua. Sedangkan untuk rubrik Potret, kali ini menampilkan Wartha Dihati Sandy, SH selaku ketua PW GP Ansor, Bali. Apa kiat yang akan dilakukan dan bagaimana kiprahnya dalam memimpin sebuah organisasi, layak untuk disimak. Dan bagaimana prediksi pergerakan dunia bisnis di Tahun Naga Air? Paparan Ronal Hikari, seorang praktisi Feng Sui mungkin bisa dijadikan referensi. Sementara rubrik budaya kali ini mencoba mengurai tradisi menyimpan tali pusar ketika seorang anak sudah kepus pungsed (putus tali pusar). Yang menarik adalah, sepanjang pengetahuan redaksi, tradisi ini tidak hanya terjadi di masyarakat Bali, namun juga dilakukan oleh masyarakat modern yang berdasar pada pertimbangan-pertimbangan biologis.

Akhir kata, tak lupa tim redaksi mengucapkan Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan. Semoga alam semesta melimpahkan karunia kebahagiaan kepada semua makhluk.
Bagikan

SAJIAN TERBARU LAINNYA