Ritual agama Hindu di Bali sangat identik dengan bebanten. Dalam perjalanan dan perkembangan Hindu sampai di Bali, oleh “manusia” Bali, sesuatu yang awalnya sederhana mulai mendapat sentuhan kreativitas seni. Maka terwujudlah berbagai pernik sarana upacara yang dijadikan simbol mewakili rasa terima kasih kepada Sang Pencipta. Daksina linggih misalnya, terdiri dari kelapa sebagai simbol bumi yang bulat dan unsur isi perut bumi. Oleh karena kekhasannya kala itu, maka disebutlah sebagai agama Hindu Bali.
Pekak Putu langsung teringat pada masa kecilnya ketika pernah bertanya pada kakeknya, mengapa di Bali sedemikian seringnya kita melakukan upacara? Kakek kala itu menjawab dengan sangat bijak, “Kamu paham kenapa disebut Bali? Bebali berarti bebanten; Baan enten (= karena sadar dari tidur). Jadi, banten artinya tersadar. Dengan kata lain, orang Bali melakukan upacara karena adanya kesadaran/eling, yaitu untuk kembali sadar. Semua yang kita lakukan harus dengan kesadaran, tidak karena mabuk, pamer dan sejenisnya. Dan kesadaran, pasti landasannya keikhlasan, bukan keterpaksaan.
Bicara keikhlasan, Pekak Putu mulai menimbang-nimbang artinya. Apakah yang dimaksud dengan keikhlasan? Keikhlasan untuk mempersiapkan upacara sendirikah, atau keikhlasan untuk melakukan upacara dengan biaya besar dan semua bebantennya dapat dibeli?
Dengan kondisi seperti sekarang ini, ketika dunia kerja menuntut banyak waktu, seringkali urusan upacara dan bebanten menjadi terasa sangat merepotkan. Terutama ketika rangkaian rerahinan seperti sekarang ini; Tumpek Uduh, Sugian Jawa-Bali, Galungan, Kuningan. Bagi keluarga dengan status ibu bekerja, tentu akan sangat menyita waktu mempersiapkan semua pernik bebanten untuk upacara ini. Jadi kalau bicara kepraktisan, memang lebih mudah membeli. Tapi apakah itu yang dimaksud oleh kata bebanten?
Mengenai bebanten, lontar Yadnya Prakerti menyebutkan bahwa kita mempersiapkan banten sesuai dengan desa, kala, dan patra. Yang dimaksud dengan desa adalah menggunakan bahan-bahan banten yang berasal dari lingkungan tempat tinggal kita. Kala adalah waktu yang tersedia untuk menyiapkan banten, dan patra adalah dana yang tersedia untuk membeli bahan-bahan.
Pekak Putu kembali merenung. Bila sastra agama sudah menyebutkan seperti ini, seharusnya tidak ada lagi kata merepotkan untuk mempersiapkan bebanten untuk upacara keagamaan. Bukankah semuanya bisa disesuaikan dengan kondisi masing-masing personal? Ketika seluruh pernik bebantenan bisa dibeli di pasar, bahkan pejati lengkap dengan ayam betutunya juga bisa dipesan, apakah ini yang disebut keikhlasan dari arti mendalam bebanten?
Pada saat begini, Pekak Putu jadi merindukan kedatangan Bli Nyoman Coblong yang sering muncul tiba-tiba. Biasanya Bli Nyoman Coblong selalu punya ide kreatif untuk hal-hal seperti ini? Sayangnya Bli Nyoman Coblong ternyata sedang asyik menemani istrinya ke Pasar Badung untuk membeli bahan-bahan keperluan banten Galungan. Rupanya istri Bli Nyoman memilih keikhlasan untuk membuat sendiri bebanten Galungan. Karena, menurut Bli Nyoman, bebanten, walaupun sederhana bila dibuat dengan ketulusan hati, akan lebih metaksu. Pekak Putu tersenyum senang mendengar cerita Bli Nyoman, walaupun hanya lewat BBM.
Mungkin yang penting untuk diingat adalah sesajen atau banten yang sederhana tetapi tidak menyimpang dari sastra-sastra agama akan tetap sarat makna bila dibuat dan dipersembahkan dengan keikhlasan. Sehingga dengan demikian semua umat dapat melaksanakan upacara yadnya sesuai dengan kemampuan keuangannya masing-masing. Mau buat sendiri atau membeli….ya terserah Anda…yang penting ikhlas…hehehe