Menurut I Made Suasti Puja, Pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, membuat banten dengan tangan sendiri memang jauh lebih baik dibandingkan mengikuti tren serba beli yang berkembang belakangan ini. Namun bila hal itu dilakukan dengan mencuri-curi jam kerja, justru akan berbalik menjadi yadnya yang percuma.
Dijelaskan Suasti Puja, sastra dalam Kitab Suci Weda menyebutkan persembahan yadnya harus secara tulis ikhlas. “Bekerja juga merupakan bagian dari yadnya. Jadi mereka yang bekerja, agar karma-nya baik, jangan bolos. Kalau bolos, tidak disiplin, walaupun demi membuat banten, ya tidak ada artinya,” ujar Suasti Puja.
Tren serba beli banten upacara di kalangan umat Hindu di Bali, diakui Suasti Puja, merupakan konsekuensi dari semakin banyaknya ibu rumah tangga yang bekerja. Diakui, perempuan merupakan pihak yang memegang peranan paling penting dalam upacara keagamaan Hindu di Bali, terutama dalam penyediaan berbagai sarana upacara. “Tetapi sekarang karena tuntutan ekonomi, kebanyakan ibu-ibu rumah tangga juga berkarir, bekerja. Jadi sudah tidak ada waktu untuk membuat sendiri banten-banten seperti dulu,” kata dia.
Perempuan bekerja menurutnya merupakan salah satu bentuk pengabdian terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan bekerja, perempuan membantu menopang kehidupan keluarga di tengah tuntutan ekonomi yang semakin berat. “Tidak bisa kita hindari, bahkan untuk kelangsungan hidup rumah tangga kita perlu uang. Jadi perempuan yang bekerja juga merupakan bagian dari yadnya,” tambah dia.
Bentuk pekerjaan yang bergeser dari pertanian ke pekerjaan formal yang menuntut waktu 8 jam dengan absensi yang ketat, menurutnya wajar membuat para ibu rumah tangga tidak sempat lagi membuat banten sendiri. “Situasi yang membuat dia seperti itu. Dan itu sah-sah saja,”katanya.
“Tetapi kalau ibu itu betul-betul jadi ratu rumah tangga saja, diam di rumah, membesarkan anak-anaknya, kan dia punya waktu. Ya sebaiknya wujud baktinya dia membuat sendiri perlengkapan upacara,” tegasnya.
Yadnya Percuma
Ditegaskan Suasti Puja, nilai yadnya itu tidak terletak pada banten yang dibuat sendiri atau yang dibeli jadi dari pasar atau warung. Nilai yadnya juga tidak terletak pada proses panjang dan rumit pembuatan banten atau kepraktisannya. Nilai yadnya justru harus dilihat dari ikhlas atau tidaknya seseorang yang menghaturkannya. “Jadi kalau membeli banten dalam bentuk jadi, tidak mengurangi nilai yadnya itu. Nilai yadnya itu sepenuhnya ada dalam ketulusikhlasan,” tegas Suasti Puja.
Banyak kasus, kata dia, persiapan membuat banten hari raya yang terlalu dipaksakan menimbulkan konflik di dalam keluarga. Hal itu terutama dipicu faktor kelelahan, yang justru menimbulkan ketidakharmonisan dalam keluarga. Dalam kondisi yang dipaksakan seperti itu, menurutnya, yadnya menjadi percuma. “Karena niatnya beryadnya, malah ribut karena semua merasa kelelahan, jadi justru timbul ketidakharmonisan. Jadi percuma juga,” jelasnya.
Cakra Yadnya
Tren membeli banten jadi , justru menjadi perputaran cakra yadnya berjalan baik. Karena tren itu membuat banyak umat yang kini mengais rezeki dari berjualan banten. “Ini namanya perputaran yadnya atau cakra yadnya. Ada yang jual banten, ada yang berkarir, ada yang jadi pengusaha. Semuanya saling mendukung. Mereka yang bergaji, atau pengusaha, membeli banten kepada pedagang banten,” ujar Suasti Puja.
“Pengusaha toko misalnya, tidak harus menutup tokonya terlalu lama hanya untuk membuat banten. Karena kalau tokonya ditutup lama, konsumennya akan hilang,” tambahnya.
Beli Yang Benar
Meski demkian, ia juga berharap umat lebih jeli dalam membeli banten maupun sarana upacara lainnya. Pasalnya, prospek keuntungan yang lumayan tinggi membuat pedagang banten semakin menjamur, terutama pedagang canang sari. Ironisnya, sebagian di antaranya tidak memperhatikan kaidah-kaidah dalam ajaran Agama Hindu. “Karena itu, beli banten yang benar. Beli di tempat yang benar,” sarannya.
Sebagai contoh sederhana, canang sari setidaknya harus memilik satu unsur utama yakni porosan atau rangkaian kapur, sirih, dan daun kayu. Menurutnya, tiga unsur dalam porosan itu melambangkan Tri Murti yakni Brahma, Wisnu dan Siwa. “Jadi kalau beli canang sari, pastikan di dalamnya ada porosan. Kalau tidak berisi porosan, itu artinya bukan canang sari, tetapi cuma rangkaian bunga,” ia mengingatkan. (erv)
Ayu Pastika
YANG PENTING HATINYA
Masalah jual beli banten buat Ayu Pastika bukanlah hal penting. Bagi istri Gubernur Bali Made Mangku Pastika ini, sarana-sarana upacara itu hanyalah media dan bukan hal utama. “Yang penting di dalam hatinya,” ujar ibu tiga anak itu.
Sebagai istri dari orang nomor satu di Bali, hari-hari Ayu Pastika tentunya cukup padat dengan aktivitas seputar pemerintahan. Mulai sekadar mendampingi suami dalam berbagai kegiatan formal, hingga kegiatan-kegiatan non formal seperti memantau program-program pemerintah ke daerah-daerah.
Berbagai jabatan juga disandangnya, mulai dari Ketua Dharma Wanita Provinsi Bali, Ketua Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial (BK3S) Provinsi Bali, hingga Ketua Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Bali.Semua jabatan-jabatan itu menuntut porsi waktu yang tidak sedikit dalam kesehariannya.
Sebagai Ketua BK3S Bali misalnya, ia wajib berkeliling ke daerah-daerah untuk memastikan program program peningkatan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan berjalan baik. BK3S Bali merupakan lembaga yang saat ini banyak menghimpun dana dari kalangan swasta untuk disalurkan kepada masyarakat miskin dalam berbagai program, seperti program bedah rumah, program pemberian kursi roda bagi penyandang cacat, program untuk siswa-siswa miskin, hingga program layanan kesehatan ke desa-desa miskin.
Sebagai ketua YKI Bali, Ayu Pastika dituntut untuk seringkali turun ke ibu-ibu rumah tangga maupun siswa sekolah dalam menyosialisasikan bahaya kanker. Belum lagi ia harus mendampingi para istri-istri pejabat dalam peningkatan kapasitas mereka di berbagai bidang keterampilan.
“Sibuk itu biasa. Ini konsekuensi,” katanya.
Di sela kesibukannya, Ayu Pastika mengaku terkadang masih sempat membuat banten sederhana. Namun diakui, tidak banyak waktu untuk itu, sehingga hal itu hanya dilakukan sesekali. “Sepanjang kita mampu, kita laksanakan dengan baik,” ujarnya.
Namun bagi dia, membeli banten jadi bukanlah masalah. Asalkan semua disesuaikan dengan kemampuan masing-masing personal. “ Sebetulnya praktis. Agama kita kan menyesuaikan. Banten juga tidak harus. Bagaimana kalau yang tidak mampu, haruskah mereka ngutang untuk beli banten, kan enggak,” ujarnya.
Ia mencontohkan, saat sang suami harus berdinas di Papua sewaktu masih menjadi anggota polisi, keluarganya bahkan seringkali harus berdoa tanpa sarana apapun. “Saat kami dinas di Papua, di sana nggak ada bunga, masak kita nggak berdoa? Jadi sarana prasarana itu menyesuaikan, yang terpenting di dalam hatinya. Fleksibel sebenarnya agama kita ini,” tambah Ayu. (erv)

