Biaya upacara umat Hindu di Bali ternyata bukan hal sepele. Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, Prof. Dr. I Made Sukarsa melalui penelitian yang dilakukannya pada tahun 2005, menemukan biaya upacara rutin manusia Bali mencapai Rp 1,8 triliun setahun. Jumlah itu hanya untuk upacara-upacara rutin seperti purnama, tilem, kajeng kliwon, Galungan, Kuningan, dan lainnya yang rata-rata sebanyak 108 hari dalam setahun.
“Itu belum termasuk untuk upacara-upacara khusus seperti melaspas, otonan, mepandes, ngaben, potong gigi, atau yang lainnya,” jelas Sukarsa yang kini juga menjabat Rektor Universitas Warmadewa, Denpasar.
Penelitian yang mengambil sampel 405 responden kepala keluarga di 9 kabupaten/kota di Bali itu, juga menemukan fakta bahwa setiap rumah tangga beragama Hindu di Bali mengeluarkan pendapatannya untuk keperluan upacara rutin sebanyak Rp 2.650.000 per tahun, atau sekitar 10,54 persen dari total pendapatannya.
Dari 405 kepala keluarga yang disurvei, luas pura merajan yang dimiliki rata-rata 36,65m2 dengan jumlah banten saiban dan canang sari yang dibuat sebanyak 34 per keluarga. Setiap canang sari diasumsikan memerlukan masing-masing 8,5 gram bunga segar dan 15 gram janur. Total asumsi kebutuhan bahan baku canang sari itu, kemudian dikalikan dengan total jumlah rumah tangga yang beragama Hindu yang pada tahun 2005 tercatat 656.734 KK. “Dari hitung-hitungan itu, maka dalam setahun masyarakat Hindu di Bali memerlukan 20.498 ton bunga segar, dan 36.173,91 ton janur,” jelas Sukarsa.
Secara ekonomis, menurut Sukarsa, ada sebuah potensi ekonomi yang sangat besar di balik kegiatan upacara Hindu di Bali. “Kalau dikembangkan, ini bisa menjadi sebuah kekuatan ekonomi yang dapat menguntungkan masyarakat lokal sebagai pelaku ekonomi yang berbasis keluarga,” tegasnya.
Potensi ekonomi itu, menurutnya, semakin meningkat dengan semakin meluasnya tren di kalangan masyarakat Hindu Bali untuk membeli banten jadi.
“Para antropolog bisa menyebut fenomena ini sebagai komodifikasi budaya. Artinya, nilai-nilai budaya dan perangkat-perangkat budaya ini sudah dikomersialkan, diperjualbelikan,” tambah Sukarsa.
Berkembangnya tren serba beli banten jadi itu, menurutnya terjadi karena banyak faktor. Salah satunya karena faktor waktu. Masyarakat saat ini, terutama yang tinggal di perkotaan, cenderung semakin sibuk berkarir. Hal itu membuat mereka tidak lagi punya waktu untuk membuat sendiri sarana upacaranya. “Memang konsep sebenarnya dari canang itu adalah ikhlas dan ngayah. Tapi karena waktu nggak ada, ya beli saja. Toh uangnya ikhlas. Jadi ya tidak apa-apa,”katanya.
Selain masalah waktu, masalah pengetahuan yang minim juga membuat tren ini semakin meluas di kalangan umat Hindu di Bali. Kalau sekadar membuat canang sari, katanya, kemungkinan besar semua orang bisa. Namun bila diwajibkan membuat banten-banten yang lebih rumit, tidak semua orang paham caranya. “Sekarang cenderung orang tua yang baru pensiun, baru belajar membuat banten untuk mengisi waktu,” ujarnya, sembari menambahkan daya beli masyarakat yang cenderung meningkat juga membuat tren jual beli banten makin marak.
Sebagai salah bentuk potensi ekonomi yang baru berkembang, Sukarsa mengakui prospek bisnis penjualan banten sangat besar. Dikatakan, pihaknya pernah melakukan observasi terhadap sejumlah pedagang canang di Denpasar. Hasilnya, omset penjualan para pedagang canang itu bisa mencapai Rp 2-3 juta per hari. Margin keuntungannya diperkirakan mencapai 30%. “Sekarang banyak masyarakat yang menggantungkan hidup dari berjualan canang. Ini menunjukkan memang hasilnya menjanjikan. Mereka umumnya bisa menyekolahkan anak-anaknya dari usaha itu,” tambahnya.
Meskipun diakui sebagian besar bahan-bahan upacara didatangkan dari luar Bali, seperti janur, pisang, bahkan sanggah crukcuk, namun dengan berkembangnya penjualan canang dan banten di Bali, merupakan sebuah hal yang positif sebagai pengimbang. Pasalnya, para pedagang canang dan banten itu mendapatkan value added dari bahan-bahan baku dari luar Bali itu. “Yang penting kita dapat value added-nya. Asal jangan sampai canangnya didatangkan dari luar Bali,” tambah Sukarsa.
Bali menurutnya tidak perlu “ngoyo” untuk berupaya memenuhi semua kebutuhan bahan baku upacara seperti pisang, janur, kelapa, dan lainnya. Selain tidak cukup menguntungkan secara ekonomis karena harga tanah di Bali yang terlalu mahal, semua daerah juga dipastikan tidak akan mungkin mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. “Tipe perekonomian itu memang begitu. Antar satu daerah dengan daerah lain saling melengkapi, menyesuaikan potensi masing-masing,” tegasnya.
Sayang, kata Sukarsa, saat ini potensi ekonomi dari bisnis banten itu juga sudah mulai dilirik umat lain. Tidak sedikit umat non Hindu yang kini mulai mengais rezeki dari membuat canang sari. “Memang tidak masalah, asalkan mereka memang membuat dengan kaidah-kaidah yang benar. Namun semua tergantung pada keuletan kita sendiri, mampu nggak kita bersaing? Karena pada dasarnya bargaining kita sebagai umat Hindu di Bali jauh lebih kuat untuk menjalankan bisnis ini,” Sukarsa mengingatkan. (erv)