Membeli perlengkapan upacara dalam bentuk jadi, sudah menjadi tren keseharian umat Hindu di Bali beberapa tahun belakangan ini. Tidak hanya banten-banten untuk upacara-upacara khusus. Bahkan canang tangkih dan canang sari yang menjadi keperluan sembahyang keseharian pun, kini bisa dibeli dengan mudah di pasar atau pinggir-pinggir jalan. Semuanya sudah dikemas rapi dalam tas-tas plastik berbagai ukuran. Praktis!
Dalam pandangan Ida Pedanda Gede Telaga dari Geriya Telaga Sanur, tren itu menunjukkan adanya pergeseran sosial dari kehidupan yang selalu gotong-royong menjadi cenderung individualis. “Kalau dulu, sesajen atau banten itu biasanya dibuat secara gotong-royong dengan tetangga atau kerabat sekitar. Kalau untuk upacara yang sangat kecil sekali, cukup diselesaikan secara gotong-royong dengan keluarga sendiri,” kenangnya.
Namun pergeseran itu menurutnya masih dalam tahap wajar dan harus dimaklumi. “Ini konsekuensi dari perubahan struktur ekonomi masyarakat Bali yang bergeser dari daerah agraris menjadi daerah pariwisata,” tegas Ida Pedanda Gede Telaga.
Menurut Pedanda, sebagian besar masyarakat Bali di masa lalu berprofesi sebagai petani yang bekerja hanya pada jam-jam tertentu saja di pagi dan sore hari. Sebagian lainnya memilih berdagang. Karenanya, banyak waktu yang tersisa untuk melaksanakan berbagai kegiatan adat dan keagamaan, termasuk membuat bebantenan.
Namum kini sebagian besar masyarakat sudah meninggalkan aktivitas pertanian dan beralih ke sektor pariwisata maupun sektor-sektor usaha lain. Sebagian besar masyarakat memilih menjadi pegawai swasta, pegawai negeri, atau pengusaha. “Jadi karena kesibukan mereka yang terikat waktu 8 jam untuk pekerjaan, ya gampang-gampangannya, beli saja semua banten-banten itu. Jadi pergeseran ekonomi itulah yang menyebabkan pergeseran sosial di masyarakat,” katanya.
“Kalau dulu, kalau kita mau bikin upacara, kita bisa minta tolong ke tetangga. Sekarang karena tetangga sibuk, atau sebaliknya kalau tetangga punya kerja, kita sibuk dengan pekerjaan kita, jadi sama-sama nggak bisa membantu. Jadinya semua sendir-sendiri,” tambahnya.
Nilainya Sama
Lantas bagaimana nilai canang sari dan bebantenan yang dibeli dalam bentuk jadi itu dalam pandangan Ida Pedanda Gede Telaga? “Tidak ada bedanya. Sama saja. Hanya saja, rasanya yang berbeda,” tegas dia.
Menurut Ida Pedanda Gede Telaga, masyarakat Hindu di Bali tentunya tidak sembarangan memilih tempat membeli banten yang sekarang sudah semakin menjamur. “Masyarakat sudah tahu, mana tukang banten yang profesional dan mana yang masih amatir. Ada orang-orang tertentu yang sudah biasa mengerjakan banten yang baik, dari tingkat nista, madya maupun utama. Jadi tidak ada beda dari sisi nilainya,” jelas Ida Pedanda Gede Telaga.
Namun diakui, ada rasa yang agak berbeda ketika banten dibuat sendiri dengan dibeli dalam bentuk jadi. Masyarakat kurang meresapi makna dari bebantenan tersebut. Apalagi dengan makin menjamurnya pedagang canang sari di tepian jalan. Penjualan canang yang cukup menguntungkan secara ekonomis, kata dia, sekarang banyak juga dilirik oleh masyarakat non Hindu di Bali yang belum tentu paham konsep dasar dari Hindu. Ia mencontohkan, menurut ajaran Hindu orang yang melaksanakan yadnya tidak boleh dalam keadaan “kotor” atau cuntaka.
“Tetapi kalau masyarakat non Hindu, kemungkinan besar tidak mengerti. Di samping mungkin canangnya kurang lengkap, bisa juga canang itu dibuat dalam kondisi dia menstruasi. Sebab dia tidak tahu istilah cuntaka atau kotor dan suci,” Pedanda mengingatkan.
“Tukang banten juga harus membersihkan diri secara ritual seperti mewinten. Nggak boleh sembarang orang. Ini yang membuat mereka berbeda,” tambahnya.
Diperciki Tirta Pembersihan
Membeli canang sari dari pasar, warung atau tepian jalan, bukan hal yang salah menurut Ida Pedanda Gede Telaga. Terhadap kemungkinan bahwa canang sari itu dibuat dengan cara yang kurang memenuhi nilai-nilai keagamaan, ternyata ada solusinya. “Agama Hindu kan agama tirta. Segala-galanya yang dibeli dari pasar, harus diperciki tirta pembersihan. Sebelum itu jangan disuguhkan untuk haturan,” ia menyarankan.
Namun yang terpenting dari semua itu menurutnya adalah keyakinan sendiri. “Kamu rela nggak pakai itu? Kalau rela, silahkan. Kalau nggak rela, ya bikin sendiri. Atau beli dari tempat-tepat tertentu yang sudah dipercaya,” saran Pedanda. (erv)
=========================================================================
ANAK MUDA KINI DIMANJA
ATAS berkembangnya tren membeli bebantenan jadi, Ida Pedanda Gede Telaga mengkhawatirkan satu hal, yakni anak muda Bali. “Ratu Peranda khawatir, anak muda sekarang, nanti dia sama sekali tidak bisa buat banten, walau sekecil apapun,” kata dia.
Tak hanya karena kesibukan orangtua bekerja, kecenderungan orangtua yang memanjakan anaknya juga menyebabkan tren ini semakin berkembang dan meluas. Dengan alasan tidak mau merepotkan anak atau menantu yang tidak bekerja misalnya, banyak orangtua yang justru mengajarkan cara-cara praktis dengan membeli banten jadi. “Yang saya khawatirkan, orangtua terlalu memanjakan anak, menantu, dan sebagainya. Jadi semua serba beli, itu yang Ratu Peranda khawatirkan.”
Ida Pedanda Gede Telaga menyarankan agar tiap orangtua di dalam rumah tangga rajin memberitahu cara-cara membuat banten kepada anak-anaknya. Setidaknya, agar mereka bisa membuat banten-banten kecil seperti banten otonan atau sekadar canang sari. “Mestinya di tiap-tiap rumah tangga, pendahulu-pendahulunya yang rajin memberitahu anak-anaknya, tidak akan hilang kebiasaan membuat banten ini. Misalnya untuk otonan anak, mestinya banten dibuat sendiri,” ia mengingatkan.
Meski memendam kekhawatiran, namun Ida Pedanda Gede Telaga tetap optimis tradisi membuat banten umat Hindu di Bali tidak akan pernah punah. Pasalnya, banyak anak muda yang semula tidak memahami cara membuat banten, namun kemudian setelah berumah tangga dia belajar dengan sendirinya. Tradisi membuat banten menurutnya akan tetap bertahan secara alamiah, karena sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari jiwa umat Hindu di Bali. (erv)