Tenun ikat selama ini telah dikenal dunia sebagai salah satu produk tekstil Indonesia. Berbagai jenis tenun ikat dapat ditemukan di Indonesia. Salah satunya endek yang menjadi tenun ikat khas Bali.
Endek termasuk dalam jenis kain yang dibuat dengan tekhnik tenun ikat pakan. Seperti pembuatan kain ikat lainnya, pembuatan endek tidaklah mudah. Untuk menghasilkan sebidang kain yang indah itu, diperlukan waktu, keterampilan, dan tehnik yang tinggi.
Berbeda dengan membuat motif pada kain batik. Motif diberikan pada kain yang telah jadi. Sementara pembuatan motif pada endek, dilakukan dengan menyusun helai per helai benang. Tehnik pembuatan kain endek sangatlah unik. Endek diciptakan dari helaian benang yang telah berisi motif. Benang pakan yang telah diberikan motif ini selanjutnya ditenun sehingga tercipta sebuah kain lengkap dengan motifnya.
Proses pembuatan kain endek sangatlah panjang. Dimulai dengan menyiapkan benang lusi. Benang lusi yang telah ada pertama-tama harus dikelos, benang lusi dimasukkan ke dalam alat yang disebut sebagai kelosan. Proses ini dikenal sebagai pengelosan. Proses selanjutnya yakni penghanian (menghani), yakni proses menggulung benang ke dalam tambur atau boom lusi dengan hitungan tertentu. Setelah jadi lusi dimasukkan ke dalam gun dan sisir tenun yang telah disetel untuk persiapan dimasuki benang pakan.
Proses selanjutnya dilakukan untuk menyiapkan benang pakan yang dimulai dengan melakukan pengelosan. Proses selanjutnya yakni membentangkan benang pakan pada frame yang terbuat dari besi atau kayu atau yang dikenal juga dengan sebutan pidangan. Selanjutnya benang diberi motif dengan berbagai teknik seperti ikat, menggambar langsung di atas benang, mencelup dan sebagainya sehingga terjadi motif di atas benang pakan.
Usai pemberian motif dilanjutkan dengan proses pemalpalan. Proses ini dilakukan dengan mengurai benang dari bentuk pidangan yang bersatu, diurai sehingga menjadi benang yang terpisah tetapi telah berisi motif jadi. Setelah dipalpal, benang tinggal dimasukkan ke dalam palet (pemaletan). Benang pakan telah siap untuk ditenun. Palet selanjutnya dimasukkan ke dalam teropong atau sekoci tenun.
Teropong selanjutnya dimasukkan ke dalam lusi. Dengan mekanisme tertentu teropong atau sekoci ini akan meluncur ke kiri dan ke kanan, sehingga membentuk anyaman dan menjadi sebuah kain lengkap dengan motif sesuai dengan yang diberikan pada benang pakannya.
Begitu panjanganya proses yang harus dilalui dalam pembuatan kain endek menjadikan endek sebagai sebuah kain yang tercipta dari perpaduan antara keterampilan, tehnik tinggi dan sense of art yang tinggi pembuatnya. Endek dengan kualitas bagus bukan hanya akan menjadi sekadar kain melainkan juga sebuah karya seni yang tercipta dari tehnik yang tinggi.
Cita Rasa Tinggi
Memang, endek telah ada dan dikenal masyarakat sejak dulu. Bukan berarti menggunakan endek akan membuat si pemakai menjadi terkesan tua atau kuno. Terlebih endek tidak memiliki batasan fungsi. Ia bisa digunakan sesuai dengan kreativitas dan kebutuhan pemiliknya. Tentu saja pilihan bahan, motif dan warna harus tetap diperhatikan.
Pemakaian endek bisa menjadi gambaran selera si pemakai. Orang yang menjadikan endek dengan kualitas dan motif bagus sebagai busananya, menggambarkan bahwa orang tersebut memiliki selera dan cita rasa seni yang tinggi. Tak hanya itu. Penggunaan endek akan menjadi simbol penghormatan, penghargaan serta rasa bangga akan produk sendiri warisan para leluhur.
Anda akan dinilai sebagai orang dengan selera pasaran dan biasa-biasa saja, jika menggunakan sebuah barang yang pasaran dengan kualitas yang ala kadarnya. Tetapi Anda akan dinilai berselara tinggi jika menggunakan sesuatu yang bercitarasa tinggi, unik dan memiliki nilai seni. Tentu nilainya akan menjadi semakin tinggi jika mampu menceritakan tentang apa yang Anda gunakan, sehingga pakaian Anda tak hanya menjadi sekadar pakain, tetapi juga menjadi gambaran atas diri dan niali Anda.(ayu)
MEMUDARNYA GENGSI PENENUN
ENDEK yang dikenal masyarakat Bali sejak lama, makin lama kian terpinggirkan. Berbagai hal memang menjadi penyebab terjadi hal ini. Endek sendiri sifatnya sebagai kerajinan, bukan industri, sehingga tak mungkin diproduksi secara massal. Proses pengerjaan yang membutuhkan waktu relatif panjang, dengan bahan baku yang 100% impor, membuat harga endek menjadi mahal. Para perajin juga kurang berinovasi dan berkreativitas sehingga dari waktu ke waktu motif kain endek hanya itu ke itu saja.
Ketiadaan inovasi dan perubahan motif inilah yang membuat endek menjadi terkesan tua dan kuno. Anak muda menganggap endek bukan bagian dari pakaiannya, sehingga endek kian terpinggirkan. Idealnya, selalu ada inovasi dalam design motif endek karena tak pernah ada pakem yang melarang dalam melakukan perubahan motif. Para perajin dituntut untuk kreatif dan mampu membaca keinginan pasar jika tak ingin ditinggalkan.
Tak berhenti sampai di situ. SDM juga menjadi kendala dalam upaya pengembangan kerajinan endek. Saat ini tak banyak orang yang mau berprofesi sebagai penenun. Terlebih para anak muda sangat jarang yang mau belajar menenun dan menjadikan profesi sebagai tukang tenun sebagai pekerjaan utamanya. Penenun memang sebuah pekerjaan yang menuntut keahlian dan keterampilan. Sayangnya upah yang diterima para perajin seringkali tidak sesuai.
Profesi sebagai penenun memang telah kehilangan gengsi akibat minimnya upah yang diterima. Kehidupan sebagai seorang penenun juga identik dengan kehidupan yang kumuh. Para penenun tak bisa bergaya sebagaimana profesi lain. Inilah mengapa profesi penenun tak dilirik oleh para generasi muda. Bandingkan saja dengan mereka yang bekerja sebagai penjaga counter handphone, setiap hari bisa tampil modis. Jika pekerjaan ini mampu memberikan penghasilan yang sama atau bahkan lebih, tentu bisa dipastikan menenun tidak akan ditinggalkan.
Tentu kita semua tak ingin hal ini sampai terjadi. Kerajinan tenun harus diselamatkan. Caranya dengan memberikan para penenun ini upah yang pantas, sehingga mereka bisa hidup layak dan memiliki kondisi yang lebih baik, esok. Agar penenun bisa dibayar pantas, maka endek yang dihasilkan juga harus dijual dengan harga yang tinggi (sesuai). Tentu hal ini tak bisa dilakukan begitu saja, karena konsumen tak akan mau membeli sebuah barang dengan harga yang tinggi, jika tanpa diimbangi kualitas yang tinggi pula. Para perajin harus menaikkan value dari barang yang dihasilkan termasuk dengan inovasi motif dengan tetap menjaga kualitas tenunan.
Untuk bisa bersaing dengan serbuan produk luar yang kerap meng-copy produk lokal tetapi bisa dijual dengan harga murah dan kualitas yang tak jauh beda, endek memang perlu sebuah konsep motif yang jelas, sehingga dengan sekali lihat orang akan langsung mengenali bahwa itu merupakan endek. Motif ini harus berakar dari budaya Bali sendiri atau yang telah menjadi ikon semisal patra. Konsep motif ini harus mampu memberikan karakter pada endek dan juga rasa bangga bagi pemakainya. Jika ini dilakukan, sangat mungkin endek akan bersanding dengan produk tekstil lain seperti batik bukan hanya di tingkat lokal, nasional bahkan internasional. Terlebih saat ini endek juga kerap mendapat apresiasi dari dunia mode internasional dengan berbagai keunikan yang dimilikinya. (ayu)
I Gusti Made Arsawan
Pemerhati dan Praktisi Endek Bali
Konsultan Design Tekstil