Selasa, 27 Maret 2012

ENDEKKU SAYANG, ENDEKKU MALANG (Edisi III/2012)

Masyarakat Indonesia sempat dibuat gusar oleh ulah negara tetangga, Malaysia. Negeri jiran ini mengklaim tari Reog, Pendet dan Angklung sebagai budaya Malaysia. Itu dilakukan dalam upaya menjual industri pariwisata negeri jiran tersebut.

Budaya bangsa Indonesia, bak untaian mutu manikam dengan beraneka ragam warna yang terhampar di zamrud katulistiwa. Bukan hanya tari-tarian, namun juga berupa kerajinan. Kerajinan, selain memiliki nilai seni, juga mengandung nilai filosofi yang tinggi. Pola atau motif yang dihasilkan, merupakan cara bangsa Indonesia dalam mengekspresikan diri untuk bersyukur dan menghargai kehidupan. Sayang, penghargaan terhadap budaya sebagai hasil kearifan lokal masih rendah. Bahkan ada yang mulai terlupakan tergerus oleh kemajuan zaman.

Masyarakat baru terhenyak ketika ada bangsa lain yang mengklaim sebagai nilai tambah jualan dalam industri pariwisata mereka. Tidak tertutup kemungkinan akan ada lagi budaya Indonesia yang diklaim oleh negara lain, sehingga perlu ada gerakan sadar budaya dan pengkodifikasian apa-apa yang merupakan budaya warisan leluhur.

Tak bisa dipungkiri, identitas dan peradaban suatu bangsa terlihat dari budayanya. Dalam hal ini, upaya Walikota Denpasar IB Rai Mantra mengangkat kain tenun endek sebagai identitas Kota Denpasar, layak diapresiasi.

Di era globalisasi ini, dimana serangan mode dari dunia luar begitu gencar, mengangkat “pamor” endek bukanlah hal mudah. Lantas apa kiat Walikota Denpasar dalam mengangkat daya saing endek ke dunia mode nasional, atau bahkan menjadi trend setter mode dunia? Juga apa pendapat Ida Ayu Selly T. Mantra dan Ida Bagus Arsawan selaku pemerhati endek? Seperti apa pula sejarah kain tenun endek? Ulasan Griya selaku pelaku kain tenun endek, layak untuk disimak guna menambah wawasan demi meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap produksi kain tenun endek.

Di bagian lain, harapan pemerintah untuk mensejajarkan profesionalisme koperasi dengan dunia swasta masih jauh panggang dari api. Berbagai upaya dilakukan. Salah satunya dengan memberi pelatihan terhadap para manajer koperasi agar memiliki standar kompetensi nasional. Fasilatator Lembaga Diklat Profesi, R. Saefurrokhman membeber upaya pemerintah menjadikan SDM koperasi yang professional. Tentunya ada harapan, setelah melalui pendidikan dan latihan, terjadi perubahan paradigma dalam pengelolaan koperasi, sehingga bisa bersaing dan sejajar dengan swasta.

Di bulan Maret ini, aktivitas penggarapan ogoh-ogoh menyambut Tahun Baru Caka yang ditandai dengan Hari Raya Nyepi cukup menonjol. Ogoh-ogoh, ternyata memberi efek domino terhadap para perajin tapel (topeng) untuk melengkapi pembuatan ogoh-ogoh. Bagaimana kiat para perajin yang berusaha meraup untung dari situasi ini, menarik untuk disimak. Ulasan ogoh-ogoh dari sisi filosofi kami sajikan pada rubrik budaya. Dan tulisan LK Budi Martini yang memotivasi, selalu menarik untuk dibaca. Semoga yang kami sajikan, memotivasi dan memberi inspirasi.
Bagikan

SAJIAN TERBARU LAINNYA