Sabtu, 31 Maret 2012

Ogoh-ogoh MEMAKNAI SAKTI YANG SEJATI (Edisi III/2012)

Ogoh-ogoh tak tak terpisahkan dengan perayaan Nyepi. Digunakan sebagai simbol dari bhuta kala yang akan di-somya pada saat Pengerupukan.

 Awalnya, ogoh-ogoh hanya dibuat dengan menggunakan bahan-bahan seperti bambu, kayu dan kertas. Seiring perkembangan yang terjadi, ogoh-ogoh saat ini banyak dibuat dengan menggunakan bahan-bahan seperti stereofoam. Di samping hasilnya lebih baik, kemudahan juga menjadi alasan mengapa bahan-bahan ini digunakan.

Apakah ada masalah dengan penggunaan bahan-bahan  ini?

Mampukah alam menerima hal-hal baru yang digunakan manusia di balik kata praktis? Benarkah Pengerupukan yang disertai dengan prosesi nyomya bhuta kala bisa membawa dunia menjadi lebih baik?
I Made Suarnatha, seorang aktifis lingkungan , mengungkapkan dalam pelaksanaan Nyepi untuk mencapai sepi, titik hening, dan damai, beberapa hal dilakukan dan dijadikan reprensentasi nyomya bhuta kala. Salah satunya dengan pembuatan ogoh-ogoh, yang saat Pengerupukan diarak keliling desa. Ogoh-ogoh merupakan wali atau wakil atau juga perwujudan dari bhuta kala. Pembuatan wali ini dilakukan agar manusia lebih mudah dalam membayangkan wujud dari bhuta kala.

“Kalau kita tidak bisa membuat wakil, maka akan sulit bagi manusia untuk membayangkan. Kesulitan membayangkan inilah kemudian melahirkan ciptaan-ciptaan seperti ogoh-ogoh. Sebuah wali akan menjadi sesuatu yang sakti dan membawa damai jika melewati proses penciptaan, terpelihara dan selanjutnya bisa dimusnahkan,” ujar Ketua Yayasan Wisnu ini.

Dalam konsep nyomya bhuta kala, bukan dimusnahkan.  Mereka memang spirit yang tak bisa dimusnahkan melainkan dikembalikan ke tempat yang seharusnya, sehingga tak mengganggu manusia saat melaksanakan brata panyepian.

Penghancuran ogoh-ogoh sendiri usai diarak juga bisa bermakna menghilangkan mala (dasa mala), panca baya dan leteh yang ada pada diri manusia. Masalahnya, saat ini ada dalam realita, pembuatan ogoh-ogoh dengan menggunakan bahan sintetik yang tak bisa dihancurkan oleh alam bisa menjadi pengingkaran konsep sakti yang sejati.

Perlu Standardisasi Bahan

Suarnatha menilai positif, dukungan pemerintah untuk melestarikan tradisi dengan melaksanakan lomba ogoh-ogoh. Lomba ini dinilai mampu mendorong kreativitas khususnya kaum muda. Pembuatan ogoh-ogoh juga dapat memupuk rasa kebersamaan dan semangat kerja sama. Tapi tidak itu saja. Perlu diperhatikan bahan yang digunakan untuk ogoh-ogoh.
Mendorong kreativitas di satu sisi, juga harus diperhatikan penjagaan kelestarian alam. Dalam penilaian lomba, pemerintah bukan hanya menilai estetika hasil akhir, melainkan juga menetapkan standar bahan, sehingga penggunaan bahan-bahan sintetik yang tak bisa diurai alam, bisa diminimalisir.

 “Jika ingin sakti, carilah inspirasi alammu yang bisa diterima pertiwi dengan senang hati. Jangan harapkan hasil prima jika justru permasalahan baru yang muncul. Baru diberikan kemudahan, jangan sampai lupa memikirkan dampaknya pada alam. Jangan hanya kemegahan fisik yang dilihat, tetapi spirit dan juga hakekat di baliknya. Jika sudah memahami tetapi tetap saja mengingkari hakekatnyanya, dan tak mau sekuat tenaga mencari makna di baliknya, maka jangan harap ada sakti dan shanti dalam kehidupan.”

Sakti tidak muncul begitu saja hanya karena sesuatu itu indah dilihat. Sakti muncul dari upakara atau yadnya. Yadnya akan menjadi luar bisa jika dilandasi dengan cinta kasih. Cinta kasih yang tulus dan dilakukan secara utuh akan membawa kedamaian atau shanti. Shanti inilah yang akan menjadi dasar dari sakti. Sakti yang sejati hanya milik Sang Pencipta, dan semua terwakili melalui ciptaannya yang ada di alam. (ayu)



BELAJAR DARI ALAM

TRADISI membuat ogoh-ogoh sejatinya bukan hal baru. Awalnya ogoh-ogoh hanya dibuat dengan bahan-bahan seperti bambu dan kayu yang hanya dilapisi dengan kertas seperti kertas bekas pembungkus semen. Ketua Yayasan Wisnu, Suarnatha, menilai bahan-bahan ini dipilih oleh para orang zaman dahulu bukan karena unsur ada atau  tidak adanya bahan seperti saat ini. Ini lebih pada pemaknaan konsep sakti yang sejati.

Orang tua dulu menilai segala reprentasi sudah disediakan oleh alam. Dengan kreativitas yang diberikan, manusia berusaha menciptakan wakil dengan memanfaatkan segalanya dari alam. Segalanya diciptakan oleh alam, dipelihara oleh alam dan selanjutnya dimusnahkan oleh alam.

“Ini bukan masalah ada atau tidak ada bahan seperti sekarang. Masalahnya mereka mau belajar dari alam. Antara manusia dengan alam ada hubungan dalam hidup dan untuk selanjutnya saling menghidupi. Alam sebagai guru ternyata mampu ditemukan oleh para leluhur untuk kemudian menuntun dalam hidup,” jelasnya.
Apa yang terjadi saat ini juga dinilai sebagai akibat dari mekanisme pasar dimana cenderung menjadikan manusia menginginkan sesuatu yang instan tanpa memikirkan bagaimana menanganinya. Bahkan manusia juga menjadi semakin jauh dengan alam yang sejatinya menjadi tempat dan sumber dari kehidupannya.

Meski sama-sama mengambil bahan dari alam, akan tetapi penggunaan bambu dibandingkan dengan penggunaan stereofoam dampaknya lebih baik bagi alam dan bagi manusia itu sendiri. Stereofoam yang dibuat dari hasil eksploitasi tambang mengorbankan banyak energi dalam proses pengambilan, pembuatan hingga pengirimannya. Penggunaan stereofoam hanya akan menguntungkan perusahaan pembuatnya yang seringkali membayar tenaga kerja yang digunakan dengan upah yang tidak pantas.

Berbeda dengan penggunaan bambu, meski bambu harus ditebang, akan tetapi penggunaan bambu secara bijak tak akan merusak alam. “Peradaban bambu telah ada sejak dulu. Bambu itu tumbuhnya sangat cepat, dan karena merupakan produk lokal, maka akan menguntungkan masyarakat dan petani kita juga.” (ayu)
Bagikan

SAJIAN TERBARU LAINNYA