Minggu, 22 April 2012

KONTRIBUSI NYEPI PADA ALAM (Edisi IV/2012)

Hanya dalam satu hari di Hari Nyepi, Bali menyumbang pengurangan emisi karbondioksida hingga 30,000 ton. Sumbangan yang sangat berarti bagi bumi. Jadi inspirasi dunia.

23 Maret 2012 pagi hari, tepat pukul 06.00 wita, saat matahari baru saja terbit, suara kulkul dari bale banjar terdengar jelas. Suara kulkul itu menjadi penanda dimulainya Hari Raya Nyepi, peringatan atas Tahun Baru Saka 1934.

Selama 24 jam penuh, Bali mendadak menjadi seperti pulau “mati”. Segala aktivitas dari 3,9 juta jiwa penduduk Bali terhenti. Tak ada kendaraan lalu lalang, kecuali untuk keperluan darurat. Tidak ada lampu menyala di jalanan maupun rumah-rumah penduduk. Tidak ada siaran televisi ataupun radio. Hanya beberapa fasilitas umum yang diperbolehkan menyalakan lampu secara minim seperti rumah sakit, kantor polisi, maupun hotel. Hotel-hotel masih mendapat dispensasi untuk menyalakan lampu secara minim untuk alasan memberi kenyamanan bagi wisatawan.

Seluruh pintu masuk dari dan ke Pulau Bali ditutup, termasuk Bandara Internasional Ngurah Rai, Pelabuhan Gilimanuk, Pelabuhan Padangbai, dan sejumlah pelabuhan kecil. Hening selama satu hari penuh merupakan implementasi dari empat pantangan yang wajib dihindari umat Hindu berdasarkan ajaran agamanya yakni amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mencari hiburan).

"Nyepi adalah saat yang tepat bagi kita melakukan introspeksi diri,” tegas tokoh agama Hindu, Pandita Mpu Jaya Acharyananda.

Beberapa ritual juga dilaksanakan umat Hindu jelang Nyepi seperti Melasti dan Tawur Agung.  Pandita Mpu Jaya Acharyananda menegaskan melasti memiliki makna simbolis untuk mengingatkan umat Hindu agar bersikap rendah hati dalam menjalani kehidupan. "Melasti jangan sebatas dimaknai ritual iring-iringan membawa sesajen dan arca suci ke sumber-sumber mata air menjelang Nyepi," ia mengingatkan.
"Dengan rendah hati, umat diharapkan pula bisa menerima kebaikan dan keburukan yang menimpanya sebagai sebuah motivasi hidup," ujarnya.

Sementara itu, sehari sebelum Nyepi digelar Tawur Kesanga, upacara untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam dengan manusia.

Tepat sehari paska Nyepi, menjadi momentum bagi umat Hindu berbagi kepada sesamanya. Di hari yang disebut dengan Ngembak Geni, umat Hindu sebenarnya diharapkan leboh banyak melakukan aktivitas sosial ketimbang sekadar bersilaturahmi dengan keluarga.

"Hari Suci Nyepi bermakna memantapkan ketahanan teologis umat, sehingga umat manusia diharapkan telah memiliki kesadaran akan pemahaman diri. Dengan pemahaman diri itu, niscaya kita mempunyai kesiapan untuk berbagi dan tidak ada eksklusivisme," tegas Pandita Mpu Jaya Acharyananda.

Bagaimanapun juga, Nyepi telah memberi kontribusi yang sangat besar pada bumi. Terhentinya seluruh aktivitas masyarakat Bali pada Hari Raya Nyepi, memberi kontribusi langsung pada pengurangan emisi yang merusak lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali, sebuah NGO yang bergerak di bidang lingkungan hidup, memperkirakan telah terjadi pengurangan emisi CO2 lebih dari 30.000 ton.

Deputy Walhi Bali Suriadi Darmoko menjelaskan pengurangan emisi CO2 sebesar 30.000 ton itu disumbang oleh terhentinya semua kendaraan bermotor maupun pesawat penerbangan sehingga menghemat penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang menjadi sumber emisi. Asumsinya, setiap satu liter BBM dapat menghasilkan emisi CO2 rata-rata 2,4 kg.

Berdasarkan data Dinas Perhubungan Provinsi Bali tahun 2011, di Bali ada total 2,35 juta unit kendaraan terdiri dari 2.040.618 unit sepeda motor, sisanya roda empat atau lebih.

Riset dari Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim, sebuah komunitas yang terbentuk saat konferensi perubahan iklim di Bali tahun 2007 lalu memperkirakan satu unit sepeda motor mengonsumsi rata-rata 4 liter BBM setiap hari. Sedangkan satu unit mobil rata-rata mengonsumsi 10 liter BBM setiap hari. "Dengan asumsi itulah, kami berhitung dan menemukan penurunan CO2 yang cukup signifikan,” jelas  Darmoko.
Jumlah itu belum termasuk emisi yang dihasilkan berkurangnya penggunaan tenaga listrik dan kegiatan industri, terhentinya kapal Fery di Pelabuhan Gilimanuk dan Padangbai, kapal barang di Pelabuhan Celukan Bawang, kapal ikan dan nelayan di Pelabuhan Benoa, maupun kapal-kapal ikan kecil di beberapa pelabuhan kecil se-Bali.

“Moratorium kerusakan lingkungan hidup, walau hanya sehari,” Darmoko menjelaskan.
Terinspirasi dari Hari Raya Nyepi, gerakan World Silent Day (WSD), gerakan moral untuk menghentikan aktivitas yang menggunakan energy selama sehari setiap tahunnya, telah dicanangkan beberapa tahun lalu. Gerakan ini diharapkan menjadi salah satu langkah menyelamatkan bumi dari bencana perubahan iklim dan diharapkan bisa diadopsi seluruh dunia.

Ide WSD sendiri telah disampaikan perwakilan masyarakat Bali dalam forum internasional United Nation on Climate Change Conference (UNCCC) di Nusa Dua Bali pada Desember 2007 lalu. Gerakan ini berupa kampanye untuk tidak menggunakan alat-alat yang dapat menimbulkan emisi gas dan mengurangi penggunaan energi seperti radio, komputer, handphone, televisi, sepeda motor, mobil, dan lainnya.  Aksi ini dilakukan selama 4 jam antara pukul 10.00 Wita sampai 12.00 Wita pada setiap tanggal 21 Maret. Hingga kini, gerakan ini terus digencarkan setiap 21 Maret tiap tahunnya.

“Harapannya pola pelaksanaan nyepi dapat juga dilaksanakan ataupun diadopsi oleh penghuni bumi lainnya walau hanya sehari. Misalnya ikut serta berpartisipasi dalam world silent day. Ataupun dengan cara lain yang berkontribusi langsung terhadap pengurangan emisi karbon di samping pemulihan hutan yang sedang gencar  dilakukan,” Darmoko menegaskan. (viani)
Bagikan

SAJIAN TERBARU LAINNYA