Senin, 21 Mei 2012

ANGIN SEGAR TREND ENDEK (Edisi V/2012)

Tenun ikat sempat menjadi salah satu produk andalan Bali beberapa tahun yang lalu. Bukan hanya di pasar nasional, tenun ikat Bali atau yag dikenal juga dengan endek, bahkan begitu dikenal di pasar internasional. Produk yang dihasilkan para perajin tradisional sebagian besar justru lebih banyak dipasarkan di pasar ekspor dibandingkan dengan pasar lokal.

Hanya saja tingginya harga bahan baku yang seratus persen impor dan juga pengerjaan yang masih secara tradisional, membuat produk ini semakin lama semakin sulit bersaing. Produksi menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) membuat produksi menjadi terbatas. Belum lagi krisis yang melanda perekonomian dunia membuat pasar tenun ikat menjadi lesu.

Hal ini diakui Gusti Putu Raka, seorang perajin endek yang ada di Desa Bona Kelod, Gianyar. Diceritakan, pada tahun 1990-an Desa Bona menjadi salah satu sentra perajin endek di Gianyar. Bahkan produk endek Bona diekspor hingga ke Jerman dan Italia.

“Dulu produksi tenun ikat sebagian besar untuk memenuhi pasar ekspor. Pasar lokal baru mulai menerima endek sekitar tahun 1998 atau 1999. Mungkin karena dirasa nyaman saat dipakai, mereka mulai tertarik untuk menggunakannya sebagi bahan pakaian. Hanya saja saat warga lokal mulai menerima endek sebagai salah satu bahan pakaian, pasar ekspor juga semakin lesu,” imbuhnya.

Raka berkisah masa jayanya tenun ikat yang sempat dikecapnya. Usaha yang dimulainya sejak 1984 dan diberi label Anta Kusuma, memiliki sampai 100 unit alat tenun. Jumlah tenaga kerjanya juga sangat banyak. Bahkan saat itu banyak tenaga kerjanya masih sekolah, tapi mau menjadi penenun.

“Begitu order mulai sepi semua alat tenun yang saya miliki saya berikan kepada orang. Mereka menggunakan alat tenun tersebut sebagai bahan membuat pagar bengkel. Sementara itu warga lokal yang sebelumnya bekerja di sini kembali menjadi penganyam lontar,” tuturnya.

Kembali Jadi Trend

Belakangan, promosi endek kembali gencar dilakukan Pemerintah Kota Denpasar melalui Denpasar Festivalnya. Event ini ternyata turut memberikan angin segar bagi para perajin. Ini bukan hanya dirasakan perajin yang ada di Denpasar, akan tetapi hingga yang ada di Gianyar dan daerah-daerah lain termasuk Gusti Putu Raka sendiri.

Usaha yang sebelumnya sempat mati, kembali menggeliat. Hanya saja kali ini pasarnya beralih ke pasar lokal. Kesadaran masyarakat untuk menggunakan produk lokal yang semakin tinggi menjadi peluang tersendiri. Tak hanya itu. Kelemahan endek yang sebelumnya ada sambungan juga mulai bisa diatasi. Saat ini endek dengan lebar 110 cm bisa diproduksi tanpa harus memiliki sambungan di bagian tengahnya.

“Endek booming lagi sejak beberapa tahun terakhir. Bahkan pada 2010 saya sampai kewalahan untuk melayani pesanan yang datang. Karena itu order sampai saya lempar ke pengusaha lain. Di samping perorangan, order saat ini kebanyakan datang dari instansi pemerintah atau swasta sebagai bahan seragam. Ini tak lepas dari kampanye yang dilakukan Pemkot Denpasar,” ujarnya.

Saat endek mulai menggeliat, Raka kembali membuat alat tenun. Satu alat tenun menghabiskan sekitar Rp 4 juta. Saat ini ia kembali telah memiliki 60 alat tenun dengan jumlah pekerja sekitar 72 orang. Dalam proses pembuatan kain endek memang diperlukan proses yang panjang dengan pekerja yang juga tidak sedikit.
Sebelum bisa ditenun, benang putih yang sebelumnya berbentuk satuan harus melewati berbagai proses. Proses berbeda dilalui oleh benang pakan dan juga benang lusi. Untuk benang pakan pertama benang harus dikelos dan selanjutnya dibentangkan pada frame besi atau kayu yang dikenal juga dengan sebutan pidangan.
Selanjutnya benang diberikan motif. Jika akan dicelup, benang terlebih dahulu harus  diikat dengan menggunakan tali rafia. Motif juga bisa dibubuhkan langsung di atas kain dengan cara menggambar motif yang diinginkan. Proses selanjutnya yakni pemalpalan, dimana benang diurai dari bentuk pidangan dan dimasukkan ke dalam palet yang selanjutnya dimasukkan ke dalam sekoci tenun.

Sementara untuk benang lusi pertama-tama juga harus dikelos. Selanjutnya benang yang sudah dikelos harus dihani atau menggulung benang ke dalam tambur atau boom lusi dengan hitungan tertentu. Setelah jadi, lusi dimasukkan ke dalam gun dan sisir tenun yang telah disetel untuk persiapan dimasuki pakan.

“Sebuah benang sampai akhirnya bisa menjadi selembar kain prosesnya bisa mencapai satu bulan. Karena itu jumlah produksi juga sangat terbatas. Proses yang panjang, bahan baku yang semuanya impor membuat endek harganya menjadi lebih mahal dibandingkan dengan produk tekstil lainnya. Harga satu lembar kain endek berbahan cotton sekitar Rp 200 ribu sementara yang berbahan sutra sekitar Rp 400 ribu,” jelasnya.
Bahan baku memang dirasakan sebagai kendala utama bagi perajin endek. Di samping semuanya impor juga tak ada kontrol atas harga ataupun ketersediaan bahan di pasaran. Karenanya ia berharap pemerintah turut serta mengatur ketersediaan bahan baku. “Kalau saja bahan bisa disediakan koperasi tentu harga dan stoknya bisa diawasi dan tidak seperti sekarang dimana harga bisa naik dalam satu detik,” harapnya.

Di samping bahan baku keterbatasan penenun juga menjadi masalah yang masih harus dihadapi Raka. Saat ini tak ada anak muda yang mau belajar menenun. Semua penenun yang bekerja padanya merupakan orang-orang tua. Ini tentu menjadi kekhawatiran tersendiri karena tak akan ada regenerasi.

“Jika ada yang bilang bekerja sebagai penenun hasinya tak menjanjikan saya rasa itu kurang tepat. Seorang penenun jika memang mau bekerja dengan tekun mulai dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore dengan istirahat selama 1 jam bisa menghasilkan 1,5 lembar kain atau jika diuangkan sekitar Rp 45 ribu. Pekerjaannya juga bersih bahkan bisa dikerjakan di rumah. Hanya sangat sedikit anak muda yang tertarik menjadi penenun.” (ayu)

Bagikan

SAJIAN TERBARU LAINNYA