“Perda ini sangat strategis dan mendesak untuk melindungi Bali sebagai salah satu warisan budaya Bali, sekaligus juga untuk mempertahankan lahan pertanian kita. Kami ingin membuat Subak menjadi lebih kuat, sekaligus menjamin lahan pertanian kita tidak semakin habis karena dikonversi menjadi perumahan atau fasilitas pariwisata,” tegas Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Ketut Suastika.
Subak merupakan salah satu pilar penting dalam tradisi sosial dan budaya Bali. Namun dalam beberapa tahun terakhir, sistem subak semakin terancam oleh perkembangan industri pariwisata yang semakin tidak terkontrol. Setiap tahunnya, diperkirakan ada sekitar 1.000 hektar lahan pertanian beralih fungsi menjadi perumahan dan fasilitas pariwisata.
Data Badan Pusat Statistik Provinsi Bali tahun 2010 menunjukkan, total luasan sawah basah di Bali hanya tersisa 81.908 hektar, berkurang 23 hektar dibandingkan total area sawah basah di tahun 2009. Sementara itu, total luas lahan pertanian bukan sawah juga berkurang dari 274.092 hektar di tahun 2009 menjadi 273.363 hektar di tahun 2010.
Rancangan perda yang terdiri atas 24 pasal dan 11 bab tersebut akam mengatur beberapa hal seperti penguatan organisasi subak, pengaturan penggunaan air, dan lainnya. Sebagai contoh, pasal 18 mengatur bahwa semua pihak yang hendak menggunakan air untuk kepentingan non pertanian, wajib berkoordinasi dengan lembaga subak setempat. Pasal 19 dalam rancangan perda yang sama juga melarang siapapun melakukan perusakan terhadap saluran irigasi.
“Siapapun yang telah merusak saluran irigasi pertanian, akan dihukum. Hukumannya akan ditetapkan berdasarkan awig-awig subak setempat,” tegas Suastika.
Melalui perda tersebut, tambah dia, akan memperkuat fungsi awig-awig subak. “Awig-awig subak akan memiliki kekuatan lebih dengan penetapan perda ini,” tambah dia.
Suastika menegaskan, perda akan menjadi salah satu usaha yang serius dalam melestarikan dan memberdayakan subak. Pemberdayaan tersebut tidak hanya terkait dalam aspek budaya, namun juga aspek ekonomi. Perda juga akan mengatur upaya meningkatkan kemampuan petani, termasuk dalam membantu penguatan pasar. “Melalui perda ini, kami harap petani akan merasa lebih senang menjadi petani, menjadi sejahtera, sehingga mereka tidak akan mau menjual lahan pertaniannya,” tegas Suastika.
Selain Perda Subak, Pemerintah Provinsi Bali juga tengah merancang perda perlindungan lahan sebagai upaya lain mencegah alih fungsi lahan pertanian yang semakin tidak terkontrol. Perda tersebut merupakan implementasi dari undang-undang No. 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan.
Perda tersebut akan mengatur mekanisme kontrol dan pengawasan atas alih fungsi lahan pertanian. Perda tersebut juga akan mengatur kewajiban bagi pemerintah daerah untuk mengimplementasikan upaya-upaya riil melindungi lahan pertanian. Pelanggaran atas perda tersebut nantinya dapat dikenakan sanksi denda maksimum Rp 50 juta.
“Perda perlindungan lahan pertanian pangan akan fokus pada upaya mencegah alih fungsi lahan pertanian. Perda ini nantinya akan bekerja secara bersama-sama untuk melindungi lahan pertanian kita. Bedanya, Perda subak akan lebih fokus pada upaya penguatan subak sebagai lembaga tradisional pengelola lahan pertanian,” jelas Kepala Dinas Pertanian Provinsi Bali Made Putra Suryawan.
Atas rencana perancangan perda perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan itu, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana Prof. Wayan Windia menanggapi dingin. “Menurut saya peraturan itu tidak akan bermanfaat, percuma,” ujarnya.
Menurut Windia, pada dasarnya tidak ada petani Bali yang ingin menjual lahannya yang sebagian besar merupakan warisan leluhur. Namun desakan ekonomi memaksa para petani untuk menjual lahannya, sehingga alih fungsi lahan pertanian menjadi marak.
“Permasalahan dasar yang harus dipecahkan sekarang adalah bagaimana membuat petani senang bertani. Kalau dia senang bertani, nggak akan dia menjual sawahnya,” kata Windia.
“Permintaan petani sebenarnya sederhana, yaitu irigasi dicukupi airya, dan pajak bumi dan bangunan disubsidi penuh,” tambahnya.
Menurut Windia, petani Bali belakangan semakin kesulitan mendapatkan air untuk irigasi karena harus berebut dengan kepentingan rafting, perhotelan, perumahan, maupun Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Ironisnya, prosedur sertifikasi tanah saat ini tidak lagi melibatkan kelompok subak sehingga tidak lagi mempertimbangkan keberadaan saluran irigasi pertanian.
“Sertifikasi tanah diselesaikan di notaris saja, dan anggota subak tidak lagi dijadikan saksi. Jadi, developer main tutup saluran irigasi seenaknya. Terus bagaimana mau bertani kalau tidak ada air?” keluhnya.
Petani juga harus membayar pajak bumi dan bangunan dengan nilai yang sangat tinggi, setara dengan nilai pajak yang dibayarkan hotel, dan vila-vila di sekitarnya. Hal itu karena dasar pengenaan pajak adalah nilai jual tanah di lokasi tersebut yang terus mengalami penyesuaian setiap tahun. Semakin banyak hotel, vila dan perumahan, maka secara otomatis nilai jual tanah di sekitarnya naik. Artinya, pajak yang harus dibayarkan petani semakin tinggi, tidak sebanding dengan hasil pertaniannya.
“Pajak sangat menyakitkan. Kalau tanah di sekitarnya sudah dibangun banyak perumahan elite, meskipun dia miskin, dia tetap harus bayar pajak tinggi. Ya, mau nggak mau mereka akhirnya akan menjual lahannya,” kata Windia. (viani)