Sabtu, 28 Juli 2012

Lebih Dekat dengan Tenganan Pegringsingan MENJAGA TRADISI DI TENGAH MODERNISASI (Edisi VII/2012)

Melihat pintu masuknya yang hanya berupa gapura kecil, sepintas tampaknya tak ada yang istimewa dari Desa Adat Tenganan Pegringsingan, sebuah desa di Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem Provinsi Bali.

Tempat parkir luas dengan puluhan artshop yang menjual berbagai jenis souvenir di depan gerbang desa, membuat desa ini terlihat sangat modern dari penampakan luarnya.  Namun baru selangkah memasuki gerbang desa, sudah tampak bangunan-bangunan tua yang terstruktur dari kayu dan batu kali berlumut tampak berdiri kokoh. Kerbau-kerbau bebas berkeliaran di antara aktivitas masyarakat adat.
Pagi itu, 8 Juni 2012, kesibukan sudah tampak di dalam areal desa. Sejumlah ibu-ibu dengan menggunakan kain dan selendang hingga sebatas menutup dada, lalu lalang dengan membawa sesaji menuju Bale Petemon, sebuah balai yang khusus sebagai tempat berkumpulnya pemuda desa.  Sejumlah pemuda dan laki-laki paruh baya juga menunjukkan kesibukan yang sama. Ada yang menyembelih babi dan memasaknya menjadi babi guling, ada pula yang sibuk mengambil tuak dari hutan desa dan membawanya ke rumah-rumah.
Hari itu memang merupakan hari istimewa bagi warga Tenganan. Para pemuda desa setempat akan melakukan tradisi “Mekare-kare”, sebuah tradisi perang menggunakan pandan berduri. “Tradisi ini kami lakukan setiap tahun sebagai bentuk penghormatan kami kepada Dewa Indra,” jelas Komang Satya, salah seorang pemuda desa setempat.

Tenganan Pegringsingan merupakan salah satu dari sejumlah desa kuno di Bali yang pola kehidupan masyarakatnya mencerminkan kebudayaan dan adat istiadat desa Bali Aga (pra Hindu). Masyarakat Tenganan memercayai bahwa mereka keturunan India. Keyakinan itu terbukti dengan adanya riset genetik terhadap sampel darah 18 penduduk Tenganan oleh tim gabungan ilmuwan Indonesia dan Swiss pada tahun 1978 yang menemukan adanya kesamaan suatu enzim antara mereka dengan masyarakat asal Calcuta, India.
Hal ini diperkuat oleh kesamaan ritual antara penduduk Tenganan dan masyarakat India. Seperti pada ritual Mekare kare yang ternyata juga dilaksanakan masyarakat India. Kesamaan itu juga tampak dari kain tenun gringsing yang merupakan salah satu ciri khas masyarakat Tenganan, yang diduga memiliki persamaan dengan kain patola dari India.

Masyarakat Adat Tenganan terkenal sebagai masyarakat adat yang tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi leluhurnya. Mereka tetap mempertahankan awig-awig (aturan adat,red) sebagai tuntutan hidup yang sangat dihormati. Apalagi awig-awig Tenganan memperlihatkan sebuah demokrasi yang sangat kuat, berbeda dengan masyarakat adat Bali lainnya.

Sebagai contoh, awig-awig Tenganan menghargai persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dengan menerapkan hak waris yang sama. Masyarakat Tenganan juga memiliki hak yang sama atas tempat  tinggal. Itu sebabnya seluruh rumah yang ada di desa itu berjajar rapi dengan ukuran sama. Desa Adat Tenganan menyediakan lahan tempat tinggal bagi warganya yang baru menikah.

Awig-awig juga tegas mengatur peruntukan lahan di Tenganan. Masyarakat Tenganan tidak boleh menjual atau menggadaikan tanah kepada orang luar Tenganan. Hal inilah yang menyebabkan luas wilayah Tenganan yang mencapai 917 hektar, hingga saat ini masih sama seperti pada abad ke-11 silam.

Dalam aturan desa juga tegas disebutkan bahwa desa adat memiliki hak ngerampag, hak mengambil hasil bumi di tanah milik pribadi. Pohon yang ada di wilayah Tenganan juga tak boleh ditebang sembarangan, bahkan untuk pohon yang tumbuh di tanah milik pribadi. Untuk memetik hasilnya, warga hanya dibolehkan mengambil buah yang jatuh setelah masak di pohon. Jika pohon-pohon tersebut tumbang, maka kayunya akan secara otomatis menjadi milik desa. Kayu tersebut nantinya bakal digunakan untuk membuat atau memperbaiki fasilitas umum. Karena sudah menjadi aturan, maka semua bentuk pelanggaran bakal dikenai sanksi adat. Dapat berupa teguran, dikucilkan atau bahkan dikeluarkan dari desa.

Namun di tengah upaya mempertahankan tradisi luhurnya, masyarakat Tenganan tidak bisa mengelak sepenuhnya dari pengaruh modernisasi. Apalagi di tengah perkembangan pesat pariwisata Tenganan akibat penetapan desa ini sebagai desa wisata kuno. Tak heran bila di antara bangunan-bangunan kuno Tenganan, ada rumah yang dimodifikasi dengan lantai keramik dan atap asbes. Ada tulisan "weaving demonstration" di beberapa rumah warga yang disulap menjadi artshop.

Di antara kerbau-kerbau yang berkeliaran, raungan sepeda motor juga tidak dapat dihindari. Hanya kendaraan roda empat yang tidak mungkin masuk ke areal desa, karena struktur jalan desa yang berundak-undak.

Perkembangan pariwisata Tenganan sejak 50 tahun terakhir juga telah mengubah struktur ekonomi mereka. Pertanian sudah tidak lagi menjadi sumber penghasilan utama masyarakat Tenganan. Lahan sawah milik masyarakat kini digarap oleh petani penggarap dengan sistem bagi hasil. Sementara masyarakat Tenganan sendiri menggantungkan hidup dari kegiatan pariwisata  seperti menjadi perajin tenun gringsing, perajin anyaman ate, pembuat lontar, serta menjadi pemandu wisata.

Meski mendapat pengaruh modernisasi, masyarakat Tenganan terbukti mampu menjaga nilai-nilai tradisi leluhur mereka. “Perkembangan pariwisata di Tenganan seperti pisau bermata dua. Kalau dari sisi positif, iya positif. Dari sisi negatifnya, ya merupakan ancaman. Tidak hanya pariwisata, tapi harapannya, tradisi ini kita bisa pelihara, kita jalani terus,” tegas tokoh desa, Mangku Widia. (viani)
Bagikan

SAJIAN TERBARU LAINNYA