Kamis, 28 Juni 2012

SUBAK DISAYANG, SUBAK DIABAIKAN (Edisi VI/2012)

Hujan deras dan cuaca buruk tahun lalu masih menyisakan beban bagi  sedikitnya 35 petani anggota Subak Gunung Sari di Desa Jati Luwih, Tabanan. Saluran irigasi yang memasok air ke lahan sawah mereka mengalami kerusakan parah paska dihantam hujan deras berhari-hari.
“Tidak ada upaya dari pemerintah untuk memperbaiki saluran irigasi yang rusak, sampai-sampai kami terpaksa memperbaiki sendiri seadanya. Gara-gara itu, sebagian lahan kami tidak bisa teraliri air,” jelas I Ketut Susila, Kelihan Subak Gunung Sari.
Dari total 45 hektar lahan yang dikelola Subak Gunung Sari, sekitar sepertiganya terpaksa dibiarkan kering karena tidak teraliri air, termasuk di dalamnya 50 are lahan milik Ketut Susila. “Saya punya lahan 1 hektar, tapi cuma separuhnya yang bisa ditanami padi. Sisanya terpaksa saya biarkan saja, karena tidak dapat aliran air,” keluh Susila.
Kerusakan saluran air tersebut, kata dia, terutama sangat dirasakan pada musim kemarau di periode Juni-Desember tahun lalu. “Saat kondisi musim seperti sekarang, di mana sesekali masih ada hujan, kami lebih diuntungkan karena sawah masih bisa mendapat air dari hujan. Tapi setelah ini, kalau masuk musim kemarau, sawah kami akan kering lagi,” ujarnya.
Susila dan para petani lainnya yang turun-temurun mewarisi lahan pertanian tersebut dari leluhurnya, tidak bisa berbuat banyak selain menerima kondisi yang ada. “Saya nggak ngerti kenapa, tapi sampai saat ini saya dan sebagian besar petani di sini belum terpikir untuk menjual lahan kami. Karena ini warisan leluhur yang harus kami jaga,” kata Susila.
Meski pasrah, Susila dan angota subak yang lain mengaku mendapat harapan lebih ketika UNESCO memastikan bakal segera menetapkan kawasan persawahan Jatiluwih sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia. organisasi dunia di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang bergerak di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya itu dipastikan akan melakukan ketok palu atas keputusan itu pada Juni mendatang di St. Petersburg, Rusia.
“Kalau benar kawasan kami ditetapkan jadi warisan budaya dunia, tentu kami akan senang sekali. Kami tidak berharap muluk-muluk. Setidaknya nasib kami jadi lebih diperhatikan.Masalah-masalah seperti saluran air rusak, kami yakin akan semakin cepat dapat perhatian,” Susila optimis.
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana Profesor I Wayan Windia mengakui lemahnya perlindungan pemerintah terhadap keberadaan subak selama ini. Padahal, subak merupakan penyangga utama kebudayaan Bali yang notabene menjadi daya tarik utama pariwisata Bali. Namun pada saat yang sama, perkembangan pariwisata yang tidak terkontrol dengan baik justru memarginalisasi sektor pertanian yang menjadi penyangga utamanya.
“Kebijakan-kebijakan selama ini lebih banyak memihak sektor pariwisata, dan tidak memihak kepada petani dan subak. Akibatnya, luasan lahan pertanian yang digarap subak semakin lama semakin menyempit, dan bahkan di sebagian daerah hanya tersisa pura subaknya saja, tanpa lahan pertanian. Ini kan ironis,” keluh Windia.
Windia yang juga Sekretaris Tim Pemerintah Provinsi Bali untuk warisan budaya dunia UNESCO, menegaskan keberadaan subak di Bali harus benar-benar diperhatikan paska penetapan UNESCO. “Itu konsekuensi logis dari penetapan subak sebagai warisan budaya dunia. Kalau tidak dilakukan perlindungan terhadap subak, maka subak sedikit demi sedikit akan mati dan UNESCO bisa sewaktu-waktu mencabut status warisan budaya dunia itu,” tegas Windia.
Ditegaskan, ada banyak sekali kebijakan pemerintah yang justru mengabaikan keberadaan subak. Di antaranya kebijakan pajak bumi dan bangunan (PBB) yang sama tinggi dengan PBB yang harus dibayarkan hotel maupun restoran yang berada di satu kawasan. “Padahal hasil dari bertani kan jauh berbeda dengan hasil dari hotel maupun restoran. Tetapi kenyataan, pajaknya sama karena dihitung berdasarkan nilai jual objek pajak (NJOP) yang akan terus meningkat harganya kalau semakin banyak hotel di sekitarnya. Siapa petani yang bisa bertahan dengan kondisi seperti itu?” tanyanya.
Kebijakan pertanahan juga membuat subak kehilangan kewenangannya mengatur air di wilayahnya. Pembangunan perumahan, kata Windia, selama ini diberi kebebasan tanpa memperhatikan saluran air petani. “Jadi developer bisa seenaknya menutup saluran air petani, sampai si petani tidak dapat pasokan air. Kalau sudah begitu, bagaimana mungkin dia bisa bertani tanpa air. Alternatif satu-satunya ya menjual lahannya,” tambah dia.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika berjanji akan segera menindaklanjuti keputusan UNESCO untuk menetapkan subak sebagai warisan budaya dunia, sebagai upaya melindungi lembaga tradisional itu. “Penetapan itu tentu sangat bagus ya. Tetapi tentu kita harus menindaklanjutinya dengan kebijakan-kebijakan yang melindungi subak. Kita akan segera merumuskan hal itu,” kata Pastika.
Pastika membantah jika selama ini pemerintah tidak pernah memperhatikan subak. Hal itu terbukti dari pemberian bantuan sebesar Rp 20 juta setiap tahun untuk seluruh subak yang jumlahnya kini mencapai 1.602 subak. “Tahun depan kita berencana menaikkan dana bantuan tersebut, tapi kami masih melakukan upaya pengajuan kepada DPRD Bali. Semoga bisa gol,” tegasnya. (viani)

Bagikan

SAJIAN TERBARU LAINNYA