Kamis, 30 Agustus 2012

MAU DIBAWA KEMANA EKONOMI BALI? (Edisi VIII/2012)

Selama puluhan tahun, penopang ekonomi Bali telah bergeser dari pertanian ke pariwisata. Pergeseran ini pun, sayangnya, hanya dirasakan sebagian kecil masyarakat Bali. Mau dibawa kemana ekonomi Bali sebenarnya?

Ketimpangan ekonomi antar sektor dan antar wilayah di Bali diakui sendiri oleh Gubernur Bali Made Mangku Pastika. “Kalau di Selatan, mungkin gemerincing dolar dari pariwisata itu terdengar nyaring. Tapi kalau di Buleleng misalnya, gemerincing sudah tidak terdengar lagi. Banyak masyarakat yang masih hidup dalam kemiskinan,” aku Pastika dalam rapat membahas kemiskinan Bali, Juni lalu.

Pastika bahkan menyebut sektor pariwisata sebagai bencana bagi masyarakat miskin. Bagaimana tidak, pertumbuhan pariwisata akan secara otomatis membuat harga kebutuhan di daerah tersebut akan meningkat. “Pariwisata merupakan bencana bagi masyarakat yang miskin, karena kalau pariwisata dikembangkan, harga-harga kebutuhan di daerah itu akan lebih mahal dan semakin tidak terjangkau oleh masyarakat miskin,” tegasnya.

Tanpa upaya intervensi pemerintah mengatasinya, kata Pastika, kondisi ketimpangan ekonomi akan semakin melebar. “Yang miskin akan semakin miskin, yang kaya akan semakin kaya. Yang pintar akan semakin pintar, yang bodoh akan semakin bodong. Ini seperti lingkaran setan. Makanya perlu intervensi pemerintah di sana untuk memutus lingkaran setan itu,” tambah dia.

Intervensi yang dilakukan pemerintah, di antaranya menyediakan berbagai program untuk mendorong sektor pertanian, membantu masyarakat miskin, dan lainnya.
Melalui program yang dinamai Bali Mandara (Maju Aman Damai dan Sejahtera), Pemerintah Provinsi Bali telah menerapkan berbagai program seperti Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri), bedah rumah, dan lainnya.

Melalui program simantri misalnya, kelompok tani diberikan bantuan sapi sebanyak 20 ekor dan berbagai sarana prasarana untuk pembuatan pupuk kompos, biourine dan lainnya senilai Rp 200 juta. “Program simantri dibuat agar masyarakat merasa senang kembali bertani,”  jelas Pastika.

Terbaru, Pemerintah Provinsi Bali mencanangkan program Gerakan Pembangunan Desa Terpadu (Gerbang Sadhu) Bali Mandara yang menyasar 82 desa miskin yang tersebar di seluruh wilayah di Bali. Masing-masing desa akan digelontor dana Rp 1 miliar untuk berbagai program yang terintegrasi.

    Sebagai pilot project, untuk tahap awal program Gerbang Sadhu akan menyasar 5 desa dengan jumlah penduduk miskin terbanyak, yakni Desa Pejarakan dan Desa Lokapaksa di Kabupaten Buleleng, Desa Bebandem di Kabupaten Karangasem, Desa Pejukutan di Nusa Penida Kabupaten Klungkung, dan Desa Songan B di Kabupaten Bangli.Tercatat ada 5.132 rumah tangga miskin di lima desa tersebut, terdiri dari 1.158 RTM di Desa Pejarakan, 1.135 RTM di Desa Lokapaksa, 1.248 RTM di Desa Bebandem, 319 RTM di Desa Pejukutan, dan 1.272 RTM di Desa Songan B.

Pemerintah Bali telah menganggarkan Rp 5 miliar dari APBD Bali 2012 untuk pilot project ini. “Di anggaran perubahan akan kita anggarkan lagi untuk 77 desa sisanya. Jadi 77 desa lainnya juga harus siap-siap untuk program ini,” jelasnya.

Pastika menegaskan, program Gerbang Sadhu didesain untuk mengangkat perekonomian masyarakat miskin di desa bersangkutan secara menyeluruh dengan mengoptimalkan potensi desa. Karenanya, bentuk programnya di masing-masing desa akan berbeda, sesuai potensi masing-masing desa.

Ia mencontohkan Desa Bebandem yang memiliki potensi salak bali, dapat mengembangkan potensi itu dengan pengolahan salak bali. Juga dibuka peluang untuk pengembangan ekowisata desa, bila ada potensi untuk itu. “Semua desa punya spesifikasinya masing-masing, termasuk karakter budaya dan kedekatan dengan pasar. Jadi perencanaannya top down dan buttom up,” ujarnya.
   
Tata Ruang

Sementara itu, Kepala Biro Ekonomi dan Pembangunan (Ekbang) Setda Provinsi Bali Gede Suarjana menegaskan, kunci untuk mengatasi ketimpangan ekonomi itu pada dasarnya ada pada penerapan sistem tata ruang Bali.

Pembangunan Bali yang tidak sinergis antara pertanian dan pariwisata, antara selatan dan utara, pada dasarnya disebabkan oleh sistem tata ruang yang tidak jalan. “Sebenarnya Bali ini sudah punya tata ruang. Tata ruang inilah yang mengatur zona-zona pembangunan. Dan sepanjang kita disiplin mengikuti zona-zona ini, pemerataan ekonomi pasti akan tercapai,” ungkapnya.

Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bali sebenarnya telah jelas mengatur pembagian wilayah untuk semua sektor usaha, termasuk pertanian dan pariwisata. Sedikitnya ada 16 kawasan di Bali yang peruntukannya khusus untuk pariwisata. “Artinya, seharusnya di kawasan-kawasan itu saja yang digunakan untuk membangun hotel dan sarana akomodasi lain. Sepanjang kebijakan ini bisa kita pegang, komitmen tata ruang ini dipegang oleh pemerintah, masyarakat dan pelaku usaha, saya yakin akan baik bagi perekonomian Bali,” katanya.

Dalam praktiknya, banyak sekali pembangunan hotel dan sarana akomodasi lainnya, khususnya vila-vila, yang tidak memperhatikan peruntukan kawasan. Hal ini membuat peruntukan kawasan di berbagai sektor menjadi semu, dan sektor pariwisata menyerbu semua kawasan.

Ekonomi Kerakyatan

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Udayana I Gusti Wayan Murjana Yasa menegaskan pemerintah harus mendorong peningkatan peran sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dalam perekonomian Bali. Salah satu bentuknya, kata dia, bisa dengan membangun jejaring melalui usaha koperasi.
Murjana Yasa mencontohkan, para petani yang selama ini lebih banyak mengandalkan pemasaran produknya lewat pengepul bisa membangun jejaring untuk melakukan pemasaran produk pertaniannya. “Bentuknya bisa berupa koperasi atau apa saja. Yang pasti, jaringan itu bisa mempermudah petani memasarkan produknya,” tegas dia. (viani)




Bagikan

SAJIAN TERBARU LAINNYA