Rabu, 29 Agustus 2012

SUBAK, MAHAKARYA YANG MENDUNIA (Edisi VIII/2012)

Subak yang telah dirawat masyarakat Bali sejak abad ke-11 dinilai sebagai sebuah kesatuan lanskap, nilai budaya, organisasi masyarakat serta sistem kepercayaan yang unik dan satu-satunya di dunia. Tentu, hal ini menjadi kebanggaan krama Bali yang tiada tara.

Setelah 12 tahun menunggu, akhirnya masyarakat Bali bisa merasakan kegembiraan atas ditetapkannya subak sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD). Penetapan yang dikukuhkan tanggal 29 Juni 2012 pada sidang ke-36 Komite Warisan Dunia Unesco di St. Petersburh-Rusia ini telah disepakati oleh semua negara peserta yang terlibat dalam sidang tersebut. Dalam sidang itu, para delegasi dari sejumlah negara mengakui bahwa subak memiliki nilai luar biasa dan universal sekaligus mencerminkan kearifan lokal dalam menjaga kelestarian lingkungan serta budaya.

Prof. Wayan Windia, guru besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana mengungkapkan bahwa subak adalah gambaran dasar dari Tri Hita Karana. Menurutnya, dalam ajaran agama Hindu Bali, Tri Hita Karana adalah konsep dasar yang menekankan bahwa kebahagiaan hidup manusia dipengaruhi oleh tiga unsure -- keserasian hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa (parahyangan), hubungan manusia dengan manusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya (palemahan). Kekuatan inilah yang menjadi acuan serta alasan kenapa subak patut diperhitungkan di dunia.

“Konsep ini tergambar jelas dalam pengelolaan subak, sistim irigasi tradisional Bali yang diyakini telah ada sejak tahun 1071. Selain itu, sistem subak Bali sangat menonjolkan sisi religius. Hal ini tergambar dalam setiap tahapan pengerjaan sawah, dimana ada prosesi upacara yang diawali dengan upacara ngendangin saat akan mengalirkan air ke petak sawah, ngawiwit atau ngurit yang dilaksanakan saat menabur benih, mamula atau newasen saat menanam, upacara neduh saat padi berusia satu bulan dan untuk menolak hama, upacara biukukung ketika padi bunting, upacara nyangket saat memanen dan upacara mantenin saat padi akan disimpan di lumbung,” urai Prof. Windia.

Di tingkat organisasi subak sendiri, kata Windia, juga dilakukan upacara bersama yang diawali dengan mendag atau mapag toya (menjemput air), mebalik sumpah, merebu hingga musaba. Pada saat padi diserang hama yang membahayakan, para anggota subak akan melakukan upacara nangluk merana. Upacara-upacara ini dilakukan baik di tingkat organisasi maupun perorangan secara bertingkat.

Ya, sangat unik dan kaya tentunya. Sistem pertanian dengan kekuatan budaya lokal yang turun-temurun dijalankan oleh masyarakat Bali ini merupakan mahakarya dan puncak kebudayaan orang Bali. Hingga saat ini, Prof. Windia mencatat terdapat 1.559 subak sawah dan 900 subak abian atau pertanian non sawah (ladang-red). Hal ini menggambarkan kuatnya masyarakat Bali dalam mempertahankan budaya warisan leluhur.

Kekuatan subak ini menjadi hal yang serius bagi masyarakat Bali untuk membuat konsep pelestariannya. Begitulah yang juga sedang dimaksudkan oleh I Ketut Suastika,SH sebagai Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Bagi Suastika, subak harus segera dibuatkan Peraturan Daerah (Perda) untuk membuat sistem tata kelola dan pelestariannya. Saat ini, Suastika tengah berkoordinasi secara intens dengan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk membicarakan secara serius tentang keberlanjutan subak setelah mendapatkan penghargaan dari UNESCO.

“Pada tanggal 25 Juli ini saya diundang oleh komisi warisan budaya dunia di bawah kementerian pendidikan dan kebudayaan untuk membicarakan tindak lanjut seperti apa,” ujar Suastika saat ditemui di ruang kerjanya 24 Juli 2012.

Pun, Suatika berharap banyak dengan mitra kerjanya di komisi IV DPRD Provinsi Bali untuk rancangan peraturan daerahnya. Tentu tidak segampang membalik telapak tangan untuk merancang peraturan daerah. Apalagi subak menurut Suastika tidak hanya mengatur sistem persawahan, tetapi aspek pengelolaan zonasi inti hingga dampak ekonomi masyarakat yang harus diapresiasi dalam tata peraturan yang akan dirancang DPRD Provinsi Bali nantinya. “DPRD memang sedang menggarap rancangan peraturan itu, dan saya percayakan kepada mereka sebagai mitra kami. Yang saya tahu, saat ini komisi IV itu sedang mendalami kajian-kajian dari aspek ekonomi, sistem pengelolaan hingga pelestariannya. Jadi, mohon bersabar dulu,” katanya.

Ya, benar, Subak tentu akan mendapatkan keluaran yang luar biasa menjadi pariwisata yang baru. Artinya, semua pihak harus duduk bersama baik swasta, pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat di Bali. Terutama di desa pakraman yang wilayahnya tentu dinaungi oleh subak. Proses pelestarian dan perencanaan strategis membuat kata kunci yang disebut “sinergi”. Jangan sampai subak menjadi “konflik” nantinya. (ern)


Bagikan

SAJIAN TERBARU LAINNYA