Beras Sudaji. Generasi muda kini mungkin tak banyak mengenalnya. Sebagian besar mereka hanya geleng-geleng kepala ketika mendengar beras sudaji. Tapi bagi sebagian besar generasi tua Bali, beras sudaji bukan lagi istilah yang asing.
Beras produksi petani dari Desa Sudaji di Kabupaten Buleleng itu, di masa lalu, sangat terkenal dengan kualitasnya yang luar biasa bagus. Beras sudaji dikenal memiliki tekstur yang sangat pulen setelah dimasak. Sayangnya, kini, tak mudah menemukan beras sudaji. Bahkan di desa asalnya Desa Sudaji, sekitar 15 kilometer sebelah barat kota Singaraja, beras ini hilang tanpa jejak, bagai ditelan bumi. Tak ada satu pun petani sudaji yang bertanam varietas padi sudaji. Mereka justru menanam padi jenis IR dengan kualitas standar.
“Tidak ada lagi yang menanam beras sudaji di sini. Semuanya menanam beras IR,” kata Jro Made Darsana, Kelian Subak Dukuh Gede, salah satu kelompok subak di Desa Sudaji yang beranggotakan 39 orang petani dan mengelola 27 hektar lahan persawahan di Sudaji. Saat ini terdapat total 10 kelompok subak di Desa Sudaji dengan jumlah petani ratusan orang, dan tak ada satu pun diantaranya yang menanam varietas beras sudaji.
Riwayat hilangnya varietas beras sudaji, menurut Darsana, tidak lepas dari campur tangan pemerintah di era orde baru. Sejak akhir 70-an, dengan dalih peningkatan produktivitas, pemerintah justru mendorong petani beralih ke varietas beras IR. Pemerintah juga mendorong penggunaan beragam pupuk kimia, menggantikan posisi pupuk organik yang ketika itu setia digunakan para petani.
Program pemerintah yang dikenal secara nasional sebagai revolusi hijau itu pun, mendapat sambutan positif dari petani ketika itu. Pertimbangan ekonomi menjadi dasar kuat yang mendorong petani mematuhi arahan dari pemerintah. Pasalnya, dengan menanam beras sudaji, petani hanya bisa panen sekali dalam setahun. Sementara dengan menanam beras IR, petani bisa panen hingga tiga kali dalam setahun.
“Jelas, menanam beras IR jauh lebih menguntungkan. Waktu itu petani hanya berpikir pendek. Kita sama sekali tidak berpikir jangka panjang. Karena pemerintah sudah mengarahkan seperti itu, ya kita ikuti,” kenang Darsana yang memiliki 4 hektar lahan sawah.
Sejak program pemerintah itulah, petani secara pelan tapi pasti, meninggalkan varietas padi sudaji dan beralih ke padi IR. Lahan pertanian di Sudaji pun mulai akrab dengan pupuk dan pestisida kimia buatan.
Belakangan, petani mulai merasakan dampak buruk dari penggunaan pupuk kimia buatan itu. “Kesuburan tanah lama kelamaan jadi berkurang. Terasa sekali. Lama-lama tanah jadi rusak,” jelas Darsana.
Darsana, bersama sejumlah petani Sudaji lainnya, kini mempunyai mimpi untuk bisa mengembangkan kembali varietas asli sudaji.
“Menanam kembali beras sudaji sebenarnya merupakan mimpi kami. Tapi keterbatasan kemampuan membuat impian itu belum bisa terwujud,” ujar Darsana.
Menurut Darsana, pihaknya sangat ingin menanam kembali padi sudaji yang memiliki dua varietas spesifik, terdiri dari Salah Bulu dan Cicih Gundil. “Dua-duanya punya kualitas yang sama bagus,” Darsana menjelaskan.
Baik Salah Bulu maupun Cicih Gundil memiliki kekhasan dibandingkan varietas padi pada umumnya yang saat ini banyak dikembangkan. Jenis Salah bulu misalnya, memiliki bulu yang cukup banyak dan tebal di sekitar biji padinya. Sedangkan Cicih Gundil memiliki sebuah lingkaran di dalam biji berasnya. “Seperti ada permata di biji berasnya itu,” terang sang kelian subak.
Upaya mengembangkan kembali padi varietas khas Sudaji, kata Darsana, terhalang oleh pendanaan. “Tidak mudah beralih lagi ke padi sudaji, karena kita butuh pupuk organik dalam jumlah besar dan panen pun cuma bisa sekali setahun. Jelas ini akan berat secara ekonomi,” kata dia.
Pada sekitar tahun 2009, petani Sudaji sempat mendapat angin segar dari penyuluh pertanian dari Dinas Pertanian Provinsi Bali yang menyatakan bahwa pemerintah akan memberikan bantuan langsung untuk pengembangan kembali beras sudaji.
“Katanya waktu itu, bapak gubernur sudah berjanji akan memberikan bantuan, baik bibit maupun pupuk. Tapi sekarang tidak ada kabarnya lagi. Padahal pada waktu itu, seluruh anggota subak kami sudah setuju untuk beralih kembali ke padi sudaji. Tinggal dilaksanakan,” Darsana menyayangkan.
Darsana menambahkan, penanaman kembali padi sudaji cukup mendesak. Selain karena pertimbangan mengembalikan tradisi beras sudaji, ada juga tradisi “bukaka”, sebuah tradisi tahunan untuk menyampaikan syukur atas hasil bumi, yang membutuhkan beras sudaji. “Gara-gara tidak punya beras sudaji, petani terpaksa membeli beras dari luar dengan kualitas yang menyerupai beras sudaji. Kepercayaan kami, memang tidak bisa tradisi itu menggunakan beras IR,” jelas dia.
Para petani kini harus membeli beras sejenis beras sudaji seharga Rp 10.000 per kilogram ke desa-desa tetangga. Sedangkan beras yang dibutuhkan mencapai ratusan kilogram. “Lumayan juga biaya upacara yang harus kita keluarkan karena harus beli beras. Kalau kita bisa memproduksi sendiri, kan bisa jauh lebih ringan,” ujarnya.
Ia berharap janji pemerintah untuk membantu pengembangan kembali beras sudaji dapat benar-benar direalisasikan segera.
Atas kondisi tersebut, Kepala Dinas Pertanian Provinsi Bali Ida Bagus Wisnuardhana berjanji akan menindaklanjutinya. “Kita akan cek segera. Kalau memang masyarakatnya mau, kita sangat bersyukur sehingga kita bisa membangkitkan lagi pengembangan varietas beras sudaji,” ujarnya. (viani)

