Drama Gong. Mendengar kata ini pikiran kita pasti akan langsung
terbawa pada ingatan akan seni tradisional yang membawakan kisah-kisah kerajaan
maupun kisah rakyat. Tak hanya berbentuk fiksi, drama gong juga kerap menyisipkan
unsur sejarah sebagai bagian utama ceritanya.
Dalam
setiap pementasan drama gong, selalu ditampilkan pertentangan antarkelompok
yang dianggap mewakili pihak baik dengan kelompok yang dianggap mewakili sifat
jahat. Tak hanya itu. Drama gong juga identik dengan tokoh-tokoh seperti
puteri, raja manis, raja buduh dan
juga liku. Selain itu dalam drama
gong juga terdapat tokoh raja tua, permasiuri, patih tua, patih keras,
dayang-dayang serta sepasang punakawan
(abdi). Berbagai kelompok drama gong bermunculan di berbagai daerah di seluruh
Bali dengan masing-masing keunikannya.
Bahkan
di tahun 1980-an hingga 1990-an drama gong menjadi salah satu acara yang paling
dinanti masyarakat. Tak hanya ditunggu pementasannya secara langsung, drama
gong juga menjadi salah satu acara favorit masyarakat di televisi.
Gianyar
menjadi salah satu daerah yang paling terkenal kelompok drama gongnya. Di tahun 1966, Drama Gong Gianyar, sangat
terkenal dan berjaya. Bahkan, di tahun tersebut, drama ini sudah berkunjung ke
beberapa daerah di Indonesia. Namun kini, drama gong sangat susah untuk
dijumpai. Bisa dikatakan keberadaannya sudah mati suri. Seperti apa drama gong
ini bertahan?
I Wayan
Pudja, salah seorang seniman drama gong, mengisahkan, tidak semua orang tahu,
kenapa sebuah drama klasik yang diiringi dengan riuhnya tabuhan gong, diberi
nama drama gong. Drama sendiri, merupakan potret kehidupan dari masyarakat Bali
yang diangkat ke atas panggung. Dan dipoles dengan sentuhan seni. Sementara
gong sendiri, merupakan seperangkat alat tabuh yang dipergunakan untuk
mengiringi ataupun melengkapi sebuah pertunjukan seni.
Pada
zaman dulu, drama itu lebih dikenal dengan sebutan sendratari. Dimana, para
pemain tarinya dijalankan dan kisahnya dibawakan oleh seorang dalang. Suatu
saat, Pudja yang awalnya merupakan sutradara sendratari mendengar omongan
orang-orang, tentang pendapat dari pembawaan sendratari, yang kerap
disutradarainya itu.
Banyak
pendapat yang mengatakan, pentas seni tersebut lebih menarik jika ceritanya
dibawakan langsung oleh pemainnya, bukannya dibacakan sang dalang. Dengan
cerita yang dibawakan langsung oleh para penari, pementasan menjadi lebih
luwes. Para seniman akan menjadi lebih leluasa jika ingin melakukan
inprovisasi.
Dari
sanalah, Pudja langsung memutar otak untuk berusaha mewujudkan “gunjingan”
masyarakat itu. Namun, karena keterbatasan sumber daya manusia (SDM), dirinya
menyampaikan hal itu kepada Cokorda Istri Nandi, salah satu muridnya yang
tinggal di Puri Singapadu. Yang kemudian disampaikan pada Penglingsir Puri Singapadu.
“Atas
usulannya tersebut, oleh Penglingsir Puri Singapadu, dikumpulkanlah teruna
teruni untuk diajarkan sebuah drama gong tahun 1964. Kala itu disebut Drama
Jaya Prana Singapadu,” papar Pudja saat ditemui di rumahnya Banjar Seseh, Desa
Singapadu, Sukawati, Gianyar.
Pembuatan
drama gong inipun diikuti Anak Agung Gede Raka Payadnya (Gung Payadnya) dari
Puri Abianbase, di tahun 1966. Dimana, drama tersebut diberi nama Drama Klasik
Jaya Prana Abianbase. Suatu saat, drama milik Gung Payadnya ini pentas di Desa
Sukawati. Dan ditonton oleh Panji, gurunya semasa di Kokar Sukawati, yang kini
menjadi SMK 3 Sukawati.
Ketika
gurunya tersebut diminta untuk memberikan nama bagi drama yang dipentaskannya,
Panji menjawab drama gong. Dan sejak saat itulah, drama yang dibawakan keduanya
disebut dengan drama gong.
“Karena
drama tersebut, pengiringnya adalah gong, maka oleh Panji, guru Gung Payadnya,
diberi nama drama gong,” terangnya tentang perjalanan sejarah drama gong.
Karena
begitu digemari masyarakat, tak pelak kedua grup drama gong tersebut,
kebanjiran job. Baik itu di tingkat
desa, kabupaten ataupun provinsi. Hingga sampai ke daerah-daerah di luar Bali.
“Dulu, di era jaya-jayanya drama gong, tahun 70an sampai 90an, saya sendiri
dalam seminggu bisa tidak pernah di rumah lantaran menuruti permintaan pentas
dari masyarakat,” ujarnya sembari mengenang masa kejayaannya dulu.
Namun
kini, ucapnya lirih, drama gong tidak semoncer seperti dulu lagi. Pementasannya
sendiri tergantung dari permintaan desa yang sedang mengadakan hajatan saja.
Ini juga yang membuat tak ada lagi kelompok ataupun sanggar yang secara rutin
melakukan latihan. “Sebulan sekali saja, belum tentu drama gong ini pentas.
Makanya, pembentukan pemain drama gong hanya dilakukan dadakan, dan bersifat
insidentil saja,” ujarnya lirih.
Sepinya
orderan pentas, disebabkan banyak orang malas untuk menyaksiksan drama gong, karena
dianggap tidak gaul dan membosankan. Ini jugas pengaruh perkembangan teknologi
dan pesatnya globalisasi. Dulu drama gong menjadi salah satu media yang cukup
efektif dalam menyampaikan pesan ke masyarakat. Seiring berjalannya waktu,
drama gong ternyata kalah pamor dengan kesenian lain yang dirasa lebih modern.
Drama gong mulai tersisih dan kehilangan penggemarnya. Selain saat ada hajat
drama gong juga hanya dipentaskan saat Pesta Kesenian Bali. Itu pun hanya
ditonnton segelintir orang.
“Sekarang
orang malas menonton drama gong, karena mereka memilih hiburan lain. Seperti bondres
yang saat ini menjamur. Padahal, di drama gong, banyak pesan moral dan etika
yang disampaikan,” tuturnya. (ayu)