Selasa, 25 September 2012

DRAMA GONG, NASIBMU KINI (Edisi IX/2012)



Drama Gong. Mendengar kata ini pikiran kita pasti akan langsung terbawa pada ingatan akan seni tradisional yang membawakan kisah-kisah kerajaan maupun kisah rakyat. Tak hanya berbentuk fiksi, drama gong juga kerap menyisipkan unsur sejarah sebagai bagian utama ceritanya.

Dalam setiap pementasan drama gong, selalu ditampilkan pertentangan antarkelompok yang dianggap mewakili pihak baik dengan kelompok yang dianggap mewakili sifat jahat. Tak hanya itu. Drama gong juga identik dengan tokoh-tokoh seperti puteri, raja manis, raja buduh dan juga liku. Selain itu dalam drama gong juga terdapat tokoh raja tua, permasiuri, patih tua, patih keras, dayang-dayang serta sepasang punakawan (abdi). Berbagai kelompok drama gong bermunculan di berbagai daerah di seluruh Bali dengan masing-masing keunikannya.
Bahkan di tahun 1980-an hingga 1990-an drama gong menjadi salah satu acara yang paling dinanti masyarakat. Tak hanya ditunggu pementasannya secara langsung, drama gong juga menjadi salah satu acara favorit masyarakat di televisi.
Gianyar menjadi salah satu daerah yang paling terkenal kelompok drama gongnya.  Di tahun 1966, Drama Gong Gianyar, sangat terkenal dan berjaya. Bahkan, di tahun tersebut, drama ini sudah berkunjung ke beberapa daerah di Indonesia. Namun kini, drama gong sangat susah untuk dijumpai. Bisa dikatakan keberadaannya sudah mati suri. Seperti apa drama gong ini bertahan?
I Wayan Pudja, salah seorang seniman drama gong, mengisahkan, tidak semua orang tahu, kenapa sebuah drama klasik yang diiringi dengan riuhnya tabuhan gong, diberi nama drama gong. Drama sendiri, merupakan potret kehidupan dari masyarakat Bali yang diangkat ke atas panggung. Dan dipoles dengan sentuhan seni. Sementara gong sendiri, merupakan seperangkat alat tabuh yang dipergunakan untuk mengiringi ataupun melengkapi sebuah pertunjukan seni.
Pada zaman dulu, drama itu lebih dikenal dengan sebutan sendratari. Dimana, para pemain tarinya dijalankan dan kisahnya dibawakan oleh seorang dalang. Suatu saat, Pudja yang awalnya merupakan sutradara sendratari mendengar omongan orang-orang, tentang pendapat dari pembawaan sendratari, yang kerap disutradarainya itu.
Banyak pendapat yang mengatakan, pentas seni tersebut lebih menarik jika ceritanya dibawakan langsung oleh pemainnya, bukannya dibacakan sang dalang. Dengan cerita yang dibawakan langsung oleh para penari, pementasan menjadi lebih luwes. Para seniman akan menjadi lebih leluasa jika ingin melakukan inprovisasi.
Dari sanalah, Pudja langsung memutar otak untuk berusaha mewujudkan “gunjingan” masyarakat itu. Namun, karena keterbatasan sumber daya manusia (SDM), dirinya menyampaikan hal itu kepada Cokorda Istri Nandi, salah satu muridnya yang tinggal di Puri Singapadu. Yang kemudian disampaikan pada Penglingsir Puri Singapadu.
“Atas usulannya tersebut, oleh Penglingsir Puri Singapadu, dikumpulkanlah teruna teruni untuk diajarkan sebuah drama gong tahun 1964. Kala itu disebut Drama Jaya Prana Singapadu,” papar Pudja saat ditemui di rumahnya Banjar Seseh, Desa Singapadu, Sukawati, Gianyar.
Pembuatan drama gong inipun diikuti Anak Agung Gede Raka Payadnya (Gung Payadnya) dari Puri Abianbase, di tahun 1966. Dimana, drama tersebut diberi nama Drama Klasik Jaya Prana Abianbase. Suatu saat, drama milik Gung Payadnya ini pentas di Desa Sukawati. Dan ditonton oleh Panji, gurunya semasa di Kokar Sukawati, yang kini menjadi SMK 3 Sukawati.
Ketika gurunya tersebut diminta untuk memberikan nama bagi drama yang dipentaskannya, Panji menjawab drama gong. Dan sejak saat itulah, drama yang dibawakan keduanya disebut dengan drama gong.
 “Karena drama tersebut, pengiringnya adalah gong, maka oleh Panji, guru Gung Payadnya, diberi nama drama gong,” terangnya tentang perjalanan sejarah drama gong.
Karena begitu digemari masyarakat, tak pelak kedua grup drama gong tersebut, kebanjiran job. Baik itu di tingkat desa, kabupaten ataupun provinsi. Hingga sampai ke daerah-daerah di luar Bali. “Dulu, di era jaya-jayanya drama gong, tahun 70an sampai 90an, saya sendiri dalam seminggu bisa tidak pernah di rumah lantaran menuruti permintaan pentas dari masyarakat,” ujarnya sembari mengenang masa kejayaannya dulu.
Namun kini, ucapnya lirih, drama gong tidak semoncer seperti dulu lagi. Pementasannya sendiri tergantung dari permintaan desa yang sedang mengadakan hajatan saja. Ini juga yang membuat tak ada lagi kelompok ataupun sanggar yang secara rutin melakukan latihan. “Sebulan sekali saja, belum tentu drama gong ini pentas. Makanya, pembentukan pemain drama gong hanya dilakukan dadakan, dan bersifat insidentil saja,” ujarnya lirih.
Sepinya orderan pentas, disebabkan banyak orang malas untuk menyaksiksan drama gong, karena dianggap tidak gaul dan membosankan. Ini jugas pengaruh perkembangan teknologi dan pesatnya globalisasi. Dulu drama gong menjadi salah satu media yang cukup efektif dalam menyampaikan pesan ke masyarakat. Seiring berjalannya waktu, drama gong ternyata kalah pamor dengan kesenian lain yang dirasa lebih modern. Drama gong mulai tersisih dan kehilangan penggemarnya. Selain saat ada hajat drama gong juga hanya dipentaskan saat Pesta Kesenian Bali. Itu pun hanya ditonnton segelintir orang.
“Sekarang orang malas menonton drama gong, karena mereka memilih hiburan lain. Seperti bondres yang saat ini menjamur. Padahal, di drama gong, banyak pesan moral dan etika yang disampaikan,” tuturnya.  (ayu)

Bagikan

SAJIAN TERBARU LAINNYA