Oleh
Luh Kadek
Budi Martini, SE.,MM.
Ketika amarah diekspresikan secara destruktif (memaki,
memukul, atau merusak barang), maka marah menjadi emosi yang buruk. Lepas
kendali dapat memicu perasaan frustasi, bingung, dan tidak berdaya. Banyak
gangguan fisik, emosional, dan mental yang disebabkan oleh marah yang tidak
terkendali. Hasilnya antara lain ketegangan di lingkungan kerja atau kekerasan
dalam rumah tangga. Ekspresi marah ini juga dituding memicu kriminalitas,
bahkan konflik.
Marah
sering dianggap sebagai emosi yang negatif sebab marah membangkitkan toksin
yang meracuni emosi, dan dapat memunculkan tindakan yang berdampak negatif,
seperti melukai orang lain. Tapi marah tidak selalu buruk. Bila seseorang
diperlakukan tidak baik, dan dia menunjukkan reaksi marah, itu dianggap sebagai
hal yang wajar. Marah bisa dinilai positif ketika perasaan itu muncul saat
melihat seseorang diperlakukan tidak adil, atau menimbulkan rasa ingin
menolong. Artinya rasa marah itu bisa mendorong seseorang melakukan hal yang
positif atau yang dianggap baik.
Marah akan berdampak buruk bila diungkapkan secara agresif dan berlebihan.
Lebih buruk lagi bila yang bersangkutan tidak menyadari dirinya melakukan hal
yang negatif. Karena itu ia menyarankan sebaiknya amarah dikeluarkan dengan
syarat:
a.
Marah haruslah
karena alasan yang tepat, bukan karena faktor subyektif. Banyak kasus kemarahan
timbul di lingkungan keluarga. Misalkan suami marah secara berlebihan karena
merasa tidak dihargai oleh istrinya, padahal hanyalah pandangan subyektif sang
suami.
b.
Marah haruslah
terkendali. Marah yang membabi buta, bisa merugikan diri sendiri dan orang
lain.
Marah juga bisa berdampak negatif pada diri sendiri atau pada orang lain, ketika yang bersangkutan tidak secara jujur mengakui
rasa marahnya, atau memendam amarah. Marah yang tidak dikeluarkan bisa
menyebabkan sakit kepala, nyeri punggung, mual, bahkan depresi. Mereka yang
suka meremehkan, mengkritik, dan berkomentar sinis terhadap orang lain, biasanya adalah orang yang tidak terbiasa
mengekspresikan kemarahannya.
Meski
sebaiknya rasa marah itu dilepas dan jangan disimpan, seorang psikiater menilai pendapat ini tidak selalu baik untuk diterapkan.
“Apakah kalau marah dilepaskan lantas seseorang menjadi puas? Apa bukan sebaiknya justru menyebabkan orang yang dimarahi
menjadi sakit dan akhirnya menimbulkan persoalan baru?” ujar psikiater itu. Lantas bagaimana baiknya? “Yang baik adalah kalau merasa marah,
seseorang
haruslah bisa meredam dan menetralisirnya dengan diri sendiri sambil menyelesaikan pokok permasalahan yang dihadapi.”
Sebetulnya
rasa marah itu bisa dimanajemeni. Sebagai makhluk yang beradab, manusia tentu mempunyai mekanisme pengendalian diri. Ada
orang yang mampu meredam marah tapi ada juga yang tidak bisa. Kalau
pengendalian dirinya lemah, maka bisa terjadi agresivitas, dimana kemarahan
secara fisik maupun verbal keluar membabi buta. Tapi orang sudah terlatih untuk
bisa sabar, mekanisme internal di dalam dirinya bisa meredam emosi yang
meletup-letup dan tidak terpancing untuk bertindak agresif.
Manajemen marah ini dilakukan dengan mengedepankan rasio ketimbang
emosional. Seseorang yang mampu memanajemeni amarahnya berarti melakukan mekanisme rasionalisasi
dalam tubuhnya. Mekanisme ini mengantarkan pola pikir yang sifatnya positif, sehingga bisa meredam konflik atau emosi. Hanya, rasionaliasasi ini tidak muncul begitu saja. Perlu kemauan, upaya dan latihan yang keras.
Dalam
berbagai kasus, seseorang yang terbiasa marah secara agresif bisa dilatih untuk
mengendalikan emosi. Caranya dengan mencari penyebab munculnya letupan marah
tersebut. Misalnya pada kasus dimana rasa marah muncul untuk menutupi rasa
kurang percaya diri, terapi yang dilakukan terlebih dahulu difokuskan pada
upaya membangkitkan rasa percaya diri.
Sebetulnya
melatih diri mengelola amarah merupakan hal yang memang patut dilakukan,
terutama untuk meningkatkan kualitas diri. Sekarang ini kualitas manusia tidak
hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual (IQ/Intelligence Quotient), tapi juga oleh kecerdasan emsional (EQ/Emotional Quotient).
Luh Kadek Budi Martini, SE.,MM adalah Dosen Fak. Ekonomi
Universitas Mahasaraswati (Unmas) Denpasar, dan juga seorang Instruktur
Kepribadian, Service Exellent, Komunikasi, serta Etika dan Kepribadian.
