Selasa, 25 September 2012

MARAH, PERLUKAN DIMANAJEMENI? (Edisi IX/2012)



Oleh
Luh Kadek Budi Martini, SE.,MM.

Ketika amarah diekspresikan secara destruktif  (memaki, memukul, atau merusak barang), maka marah menjadi emosi yang buruk. Lepas kendali dapat memicu perasaan frustasi, bingung, dan tidak berdaya. Banyak gangguan fisik, emosional, dan mental yang disebabkan oleh marah yang tidak terkendali. Hasilnya antara lain ketegangan di lingkungan kerja atau kekerasan dalam rumah tangga. Ekspresi marah ini juga dituding memicu kriminalitas, bahkan konflik.
Marah sering dianggap sebagai emosi yang negatif sebab marah membangkitkan toksin yang meracuni emosi, dan dapat memunculkan tindakan yang berdampak negatif, seperti melukai orang lain. Tapi marah tidak selalu buruk. Bila seseorang diperlakukan tidak baik, dan dia menunjukkan reaksi marah, itu dianggap sebagai hal yang wajar. Marah bisa dinilai positif ketika perasaan itu muncul saat melihat seseorang diperlakukan tidak adil, atau menimbulkan rasa ingin menolong. Artinya rasa marah itu bisa mendorong seseorang melakukan hal yang positif atau yang dianggap baik.
Marah akan berdampak buruk bila diungkapkan secara agresif dan berlebihan. Lebih buruk lagi bila yang bersangkutan tidak menyadari dirinya melakukan hal yang negatif. Karena itu ia menyarankan sebaiknya amarah dikeluarkan dengan syarat:
a.       Marah haruslah karena alasan yang tepat, bukan karena faktor subyektif. Banyak kasus kemarahan timbul di lingkungan keluarga. Misalkan suami marah secara berlebihan karena merasa tidak dihargai oleh istrinya, padahal hanyalah pandangan subyektif sang suami.
b.      Marah haruslah terkendali. Marah yang membabi buta, bisa merugikan diri sendiri dan orang lain.
Marah juga bisa berdampak negatif pada diri sendiri atau pada orang lain, ketika yang bersangkutan tidak secara jujur mengakui rasa marahnya, atau memendam amarah. Marah yang tidak dikeluarkan bisa menyebabkan sakit kepala, nyeri punggung, mual, bahkan depresi. Mereka yang suka meremehkan, mengkritik, dan berkomentar sinis terhadap orang lain, biasanya adalah orang yang tidak terbiasa mengekspresikan kemarahannya.
Meski sebaiknya rasa marah itu dilepas dan jangan disimpan, seorang psikiater menilai pendapat ini tidak selalu baik untuk diterapkan. “Apakah kalau marah dilepaskan lantas seseorang menjadi puas? Apa bukan sebaiknya justru menyebabkan orang yang dimarahi menjadi sakit dan akhirnya menimbulkan persoalan baru?” ujar psikiater itu. Lantas bagaimana baiknya? “Yang baik adalah kalau merasa marah, seseorang haruslah bisa meredam dan menetralisirnya dengan diri sendiri sambil menyelesaikan pokok permasalahan yang dihadapi.
Sebetulnya rasa marah itu bisa dimanajemeni. Sebagai makhluk yang beradab, manusia tentu mempunyai mekanisme pengendalian diri. Ada orang yang mampu meredam marah tapi ada juga yang tidak bisa. Kalau pengendalian dirinya lemah, maka bisa terjadi agresivitas, dimana kemarahan secara fisik maupun verbal keluar membabi buta. Tapi orang sudah terlatih untuk bisa sabar, mekanisme internal di dalam dirinya bisa meredam emosi yang meletup-letup dan tidak terpancing untuk bertindak agresif.
Manajemen marah ini dilakukan dengan mengedepankan rasio ketimbang emosional. Seseorang yang mampu memanajemeni amarahnya berarti melakukan mekanisme rasionalisasi dalam tubuhnya. Mekanisme ini mengantarkan pola pikir yang sifatnya positif, sehingga bisa meredam konflik atau emosi. Hanya, rasionaliasasi ini tidak muncul begitu saja. Perlu kemauan, upaya dan latihan yang keras.
Dalam berbagai kasus, seseorang yang terbiasa marah secara agresif bisa dilatih untuk mengendalikan emosi. Caranya dengan mencari penyebab munculnya letupan marah tersebut. Misalnya pada kasus dimana rasa marah muncul untuk menutupi rasa kurang percaya diri, terapi yang dilakukan terlebih dahulu difokuskan pada upaya membangkitkan rasa percaya diri.
Sebetulnya melatih diri mengelola amarah merupakan hal yang memang patut dilakukan, terutama untuk meningkatkan kualitas diri. Sekarang ini kualitas manusia tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual (IQ/Intelligence Quotient), tapi juga oleh kecerdasan emsional (EQ/Emotional Quotient).

Luh Kadek Budi Martini, SE.,MM adalah Dosen Fak. Ekonomi Universitas Mahasaraswati (Unmas) Denpasar, dan juga seorang Instruktur Kepribadian, Service Exellent, Komunikasi, serta Etika dan Kepribadian.


Bagikan

SAJIAN TERBARU LAINNYA