Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk bangunan tempat tinggal dan bangunan suci. Penataan didasarkan atas anatomi tubuh yang punya. Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari tubuh yang punya rumah. Sistem pengukuran ini tidak menggunakan meter, melainkan menggunakan ukuran-ukuran seperti :
• Musti (dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas),
• Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewasa dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka)
• Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan)
Dengan cara ini akan didapat ukuran besar rumah yang ideal dengan yang punya rumah. Konsep ini berkembang berdasarkan kepercayaan masyarakat Bali akan Buana Agung (makrokosmos) dan Buana Alit (mikrokosmos). Kosmologi Bali itu bisa digambarkan secara hirarki atau berurutan seperti:
1. Swah, alam semesta tempat bersemayamnya para dewa.
2. Bwah, alam manusia dan kehidupan keseharian yang penuh dengan godaan duniawi, yang berhubungan dengan materialisme
3. Bhur, alam nista yang menjadi simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda manusia untuk berbuat menyimpang dari dharma.
Konsep ini juga berpegang pada mata angin, 9 mata angin (nawa sanga). Setiap bangunan itu memiliki tempat sendiri. Dapur misalnya, karena berhubungan dengan api, maka dapur ditempatkan di Selatan. Tempat sembahyang karena berhubungan dengan menyembah berposisi di Timur, tempat matahari terbit. Dan sumur yang menjadi sumber air, ditempatkan di Utara dimana gunung berada.
Status sosial juga menjadi pedoman. Misalnya kasta di masyarakat. Berdasarkan status, rumah di Bali ada yang disebut puri atau jero. Nah kalo yang ini biasanya dibangun oleh kasta “Ksatria”. Belakangan, soal status ini menjadi kabur karena status ekonomi. Makin banyaknya masyarakat yang mampu secara ekonomi, mereka juga membuat bangunan yang sama bahkan lebih dari yang dibuat oleh masyarakat yang bestatus sosial “Ksatria”. Yang kemudian menjadi pembeda adalah tempat persembahyangan di dalamnya saja.
Kasta tersebut merupakan sistem hirarki. Di Bali, hirarkial itu juga berpengaruh terhadap tata ruang bangunan rumah. Dalam pembuatan rumah, dikenal istilah jaba, jaba jero dan jero:
• Jaba untuk bagian paling luar bangunan.
• Jaba Jero untuk mendefinisikan bagian ruang antara luar dan dalam, atau ruang tengah.
• Jero untuk mendeskripsikan ruang bagian paling dalam dari sebuah pola ruang yang dianggap sebagai ruang paling suci atau paling privacy bagi rumah tinggal.
Tri Angga
Dalam pembangunan rumah Bali ini juga dikenal konsep teknik konstruksi dan materialnya. Ada namanya tri angga, yang terdiri dari nista, madya dan utama. Di bangunan Bali terdapat beberapa konstruksi yang mengacu pada hal tersebut :
Nista - menggambarkan hirarki paling bawah dari sebuah bangunan. Diwujudkan dengan pondasi rumah atau bawah rumah sebagai penyangga rumah. Bahannya pun biasanya terbuat dari batu bata atau batu gunung.
Madya - adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela dan pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia.
Utama - adalah simbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah, sehingga juga digambarkan tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang.
Selain itu juga ada konsep berdasarkan kelipatan tiang atau kolom. Rumah tinggal di Bali itu tidak dijadikan satu. Di sini dibagi menjadi beberapa ruangan yang bangunannya dipisah. Dalam pemikiran kekinian, konsep ini cukup mapan. Jika terjadi musibah misalnya bencana kebakaran, yang terbakar hanya satu bagian saja, yang lain tidak. Kalau terjadi gempa, gampang untuk ke luar rumah, halaman juga banyak.
Seperti apa penataan bangunan dalam konsep ini? Inilah bagian-bagiannya.
1. Pamerajan, ini adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada perkampungan tradisional biasanya setiap keluarga mempunyai pamerajan yang letaknya di Timur Laut pada sembilan petak pola ruang.
2. Umah Meten, yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala keluarga, sehingga posisinya harus cukup terhormat.
3. Bale Sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anak-anak atau anggota keluarga lain yang masih junior.
4. Bale Tiang Sanga, biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu.
5. Bale Dangin, biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat benda-benda seni atau merajut pakaian bagi anak dan suami.
6. Lumbung, sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil kebun lainnya.
7. Paon (dapur), yaitu tempat memasak bagi keluarga.
8. Aling-aling, adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan masuk tidak lurus ke dalam tetapi menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam.
9. Angkul-angkul, yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai gapura jalan masuk.
Sumber : http://gegesah.blogspot.com