Selasa, 25 September 2012

TENGGELAM DALAM ARUS DERAS INVESTASI (Edisi IX/2012)

Bali boleh bangga dengan banyaknya investor yang melirik pulau ini. Lalu apa imbal balik para investor kepada Bali?

Sebagai destinasi wisata favorit dunia, Bali sudah sangat dikenal secara internasional. Ketenaran Bali bahkan melebihi ketenaran Indonesia sendiri. Sebuah hal yang nyata terjadi, banyak warganegara asing lebih mengenal Bali tanpa menyadari bahwa Bali adalah bagian dari Indonesia.

Ketenaran Bali membuat banyak wisatawan asing datang ke Bali. Selama tahun 2011 lalu, tercatat ada 2,7 juta wisatawan asing menikmati liburannya di Bali. Tahun ini, jumlahnya ditargetkan meningkat hingga 3 juta wisatawan asing. Jumlah itu belum termasuk wisatawan domestik dari berbagai kota di Indonesia, yang notabene tidak dicatat pemerintah secara detil. Target peningkatan jumlah wisatawan pun terus dipasang pemerintah, hingga pada 2015 ditargetkan ada 5 juta wisatawan asing ke pulau ini.

Banyaknya wisatawan yang datang ke Bali, di sisi lain, membuat banyak pihak tergiur untuk mencicipi manisnya berkah dari berbisnis di pulau ini. Arus investasi pun menjadi semakin deras dari tahun ke tahun.
Pemerintah Provinsi Bali mencatat realisasi investasi ke Bali selama 2012 ini, hingga Juni, mencapai total Rp 15,27 triliun. Jumlah itu terdiri atas investasi dalam negeri Rp 7,6 triliun, investasi asing Rp 840 miliar, investasi swasta lainnya Rp 6,1 triliun, dan investasi pemerintah sebesar Rp 730 miliar.

Kepala Biro Ekonomi dan Pembangunan Provinsi Bali Gde Suarjana menjelaskan, sebagian besar investasi masih di sektor pariwisata. Sedangkan investasi di sektor pertanian sangat minim. “Sektor pariwisata masih sangat diminati,” ujarnya.

Menariknya, arus investasi ke Bali tetap deras di tengah krisis global yang sudah melanda berbagai benua di dunia. “Krisis yang bermula dari Eropa dan Amerika, sekarang sudah mulai dirasakan dampaknya di sebagian wilayah Asia. Syukurlah kita di Bali, justru masih mencatat kenaikan nilai investasi. Artinya, dunia masih mempercayai Bali sebagai tempat berinvestasi yang aman dan menguntungkan,” tambah Suarjana.
Arus investasi ke Bali juga menjadi semakin deras, menyusul akan diselenggarakannya konferensi Asia Pacific Economic Corporation (APEC) pada November tahun depan. Tak kurang ribuan kamar hotel baru, dibangun demi memenuhi kebutuhan pertemuan yang bakal dihadiri 21 kepala negara itu.

Tak cuma itu, Bandara Ngurah Rai juga terus mengembangkan diri dengan memperluas terminal penumpangnya demi memberi kenyamananpenyelenggaraan APEC. Perluasan yang menghabiskan dana Rp 2,7 trilliun itu sekaligus untuk mengantisipasi lonjakan jumlah wisatawan ke Bali.

Saat ini juga tengah dibangun infrastruktur jalan baru berupa jalan tol di atas perairan yang menghubungkan Nusa Dua- Bandara Ngurah Rai-Benoa dan jalan underpass di simpang Dewa Ruci Kuta. Kedua proyek tersebut ditargetkan rampung pada pertengahan 2013, sehingga dapat  mendukung kegiatan konferensi APEC tahun depan.

Jalan tol Nusa Dua-Bandara Ngurah Rai-Benoa direncanakan dibangun di atas laut sepanjang 12 kilometer dengan biaya total Rp 2,49 triliun. Jalan yang menghubungkan Pelabuhan Benoa, Bandara Ngurah Rai,dan kawasan Nusa Dua itu dibangun atas kerjasama pemerintah dengan badan usaha (public private partnership) oleh Konsorsium 7 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terdiri dari  PT Jasa Marga Tbk, PT Pelindo III, PT Angkasa Pura I, PT Pengembangan Pariwisata Bali, PT Wijaya Karya Tbk, PT Adhi Karya Tbk, dan PT Hutama Karya.  Pemerintah Provinsi Bali dan Pemerintah Kabupaten Badung ikut menanam saham dalam proyek yang digarap di bawah bendera PT. Jasa Marga Bali Tol itu.

Sementara itu, jalan underpass Simpang Dewa Ruci sedang dibangun di kawasan Simpang Dewa Ruci sepanjang 450 meter  dengan biaya Rp 136 miliar yang diambilkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Keuntungan dari rencana penyelenggaraan APEC besar sekali, terutama untuk Bali. Kita lihat, investasi yang masuk ke Bali banyak sekali, termasuk pembangunan hotel bintang lima yang memang masih diperlukan untuk mengakomodasi kunjungan wisatawan,” jelas Ketua Gabungan Industri Pariwisata Bali Ida Bagus Ngurah Wijaya.

Di tengah serbuan investasi, Bali toh masih harus menghadapi masalah kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik per Maret 2012 mencatat, 168.780 jiwa  penduduk Bali masih hidup di bawah garis kemiskinan. Selain itu, masih ada 82 desa--dari total 706 desa yang ada di Bali--  tergolong dalam kategori desa miskin dengan lebih dari 35% penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan.

Masih banyak pula masyarakat yang harus hidup di rumah yang tidak layak huni. Di tahun 2010, tercatat ada 13,000 keluarga miskin yang hidup di rumah yang tidak layak huni. Beberapa indikator yang digunakan adalah rumah dengan lantai tanah, dinding bambu, atap seng, tanpa kamar mandi, tanpa listrik, dan lainnya. Lewat program bedah rumah dari Pemerintah Provinsi Bali, jumlah keluarga miskin yang hidup di rumah tidak layak huni baru mampu dikurangi hingga 3.000 keluarga.

Pengamat ekonomi dari Universitas Udayana I Gusti Wayan Murjana Yasa mengakui ada yang salah dari ekonomi Bali. Dikatakan, sektor pariwisata yang menjadi tulang punggung ekonomi Bali justru memberi multiplier effect (dampak ikutan) yang sangat kecil bagi masyarakat Bali, yakni sekitar 8 – 12 persen. “Multiplier effect dari sektor pariwisata sangat rendah. Ini yang menyebabkan tidak banyak masyarakat Bali yang merasakan dampak dari tingginya investasi ke Bali,” jelas dia.

Rendahnya multiplier effect sektor pariwisata kepada Bali itu, kata dia, tidak lepas dari banyak faktor. Faktor yang utama yakni banyaknya pelaku pariwisata yang justru mengutamakan penggunaan produk asing, bahkan tenaga kerja asing. “Banyak faktor input luar negeri yang dimanfaatkan pada pengembangan kepariwisataan Bali. Para pelaku pariwisata kita sepertinya belum bangga menggunakan produk dari Bali sendiri,” ujarnya.

Murjana Yasa mencontohkan penggunaan buah-buahan impor, daging impor, dan berbagai produk pertanian impor sebagai pemicu matinya sektor pertanian di Bali. “Investasi ke Bali yang besar, jadi tidak dirasakan manfaatnya. Apalagi banyak investasi asing yang tidak terpantau pemerintah, dan hasilnya langsung dibawa ke luar negeri. Bali akhirnya tidak dapat apa apa,” keluh dia. (viani)
Bagikan

SAJIAN TERBARU LAINNYA