Perhelatan besar di dunia internasional setiap tanggal 1 Desember adalah Hari AIDS sedunia. Hari itu mengajak warga dunia untuk menorehkan kembali tentang kumpulan dari segala penyakit yang mempengaruhi tubuh manusia, dimana sistem kekebalan tubuh melemah dan tidak dapat merespon sesuai fungsinya.
Penyakit itu bernama AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome), sebuah fase terakhir dari infeksi virus HIV dan biasanya dicirikan oleh jumlah CD4 yang kurang dari 200. HIV bisa juga diartikan virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Ini adalah retrovirus, yang berarti virus yang menggunakan sel tubuhnya sendiri untuk memproduksi kembali dirinya.
Entah dari mana asalnya, HIV ini memang tidak jelas. Penemuan kasus awalnya boleh jadi dari sampel darah yang dikumpulkan tahun 1959 dari seorang laki-laki yang berasal dari Kinshasa di Republik Demokrat Congo. Namun saat itu, tidak diketahui bagaimana ia terinfeksi. Yang jelas, virus ini dapat ditularkan melalui cairan tubuh seperti darah, cairan vagina, cairan sperma, dan air susu ibu. Tentu tidak dengan yang lainnya.
Menurut Koordinator Pokja Pencegahan, Advokasi dan Humas Komisi Penanggulangan AIDS (KPA Provinsi Bali), I Nyoman Mangku Karmaya, di Bali sendiri, penemuan virus ini diketahui sejak tahun 1987, pada seorang wisatawan dari salah satu negara di Eropa yang saat itu memiliki kriteria seperti HIV/AIDS. Indikasi itu ditemukan oleh seorang profesor yang ada di Bali yang akrab disebut profesor Tutik dari Universitas Udayana. Wisatawan tersebut, saat di Bali, di tahun itu memang sering melakukan hubungan seks yang tidak diketahui ternyata aktivitasnya dari hubungan seks dengan berganti pasangan, ternyata menjadi penyebab positif dari virus HIV itu.
Sebelumnya memang sudah beredar berita di dunia bahwa virus HIV ini sedang dalam pemantauan oleh beberapa negara di Eropa dan di belahan negara lain. Saat itu Bali sempat heboh, kata Mangku Karmaya. Penyakit ini sempat menjadi anggapan warga Bali sebagai penyakit orang bule, karena saat itu banyak masyarakat yang tidak tahu. Situasi yang bisa disebut 'horor' saat di Bali, karena mungkin masih shock karena ada virus baru yang digembar-gemborkan menjadi virus “mematikan”.
“Ya, saat itu mungkin warga Bali masih belum tahu seluk beluknya, sehingga gampang diombang-ambingkan oleh informasi yang tidak diketahui secara pasti,” katanya.
Pada tahun itu, memang terkesan reaktif. Kata Karmaya, di Bali saat itu banyak sekali rumah sakit yang membakar kasur karena ketidaktahuan dan ketidakpastian. Dari kasus itu, akhirnya beberapa dokter di Bali dengan tenaga kesehatan yang ada, banyak sekali mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Yang tentu saja, tujuannya untuk meneliti atau mengadakan upaya yang responsif dari virus HIV ini untuk dkomunikasikan kepada pemerintah karena penyebarannya begitu cepat.
Tonggak Penting
Tahun 2002, adalah tahun penting untuk pencegahan dan penanggulangan AIDS di Bali. Sudah banyak sekali data base yang dihimpun oleh berbagai LSM dan KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) sendiri. Ajakan dari berbagai LSM dan KPA kepada pemerintah di Kabupaten akhirnya membuahkan kesepakatan bersama yang disebut “Komitmen Sanur”. Pada komitmen yang diselenggarakan di Sanur ini, semua kepala daerah di tiap Kabupaten hadir untuk melakukan penandatanganan dalam hal pencegahan dan penanggulangan AIDS. Komitmen ini adalah salah satu hal penting untuk mengikat seluruh kepala daerah di Bali termasuk tingkat provinsi, untuk memberikan pendanaan ataupun sarana dan prasarana lainnya dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.
“Saat ini, hasil dari komitmen itu di tiap kabupaten dan kota di Bali sudah membuat peraturan daerah yang isinya tentang pencegahan dan penanggulangan AIDS di Bali,” kata Karmaya.
Dari komitmen politik ini, memang lambat laun terjadi perubahan yang signifikan, meski Karmaya belum bisa menjelaskan secara pergerakan angka, dikarenakan tidak memiliki angka yang pasti dari ODHA di Bali. “Tetapi secara kasat mata, berbagai program sudah banyak dijalankan oleh pemerintah berama LSM dan KPA di tiap kabupaten dan kota di Bali,” tandasnya.
Tentu hal ini menjadi sejarah penting dari segala kolaborasi dari berbagai pihak, karena AIDS ternyata tidak harus dimiliki oleh sekelompok ODHA saja, melainkan seluruh komponen masyarakat. Karena AIDS menjadikan rentan bagi semua orang. Dan tak bisa melakukan sendiri. Saling belajar dari pengalaman dan mendengar dari ODHA untuk hidup yang lebih baik, tentu menjadi penting. Pada perhelatan hari AIDS sedunia ini, boleh jadi hal yang penting adalah dengan merangkul ODHA untuk belajar hidup yang lebih baik. (beng)