Selasa, 25 Desember 2012

SEKOLAH SEPAK BOLA NUSANTARA, CINTAI SEPAKBOLA SEJAK USIA DINI (Edisi XII/2012)

Sepak bola,satu dari cabang olahraga yang paling menyedot perhatian publik, tak terkecuali di Indonesia yang sepak bolanya terus saja dilanda kemelut.  Mungkinkah Indonesia bisa mengukir prestasi di bidang bola sepak ini?

Ratusan sekolah sepak bola, belakangan tumbuh dan tersebar di seluruh Indonesia. Salah satunya telah berdiri di Bali yaitu Sekolah Sepak Bola Nusantara (SSBN). Pencarian bibit unggul pemain sepak bola di daerah sebagai sumber bibit-bibit unggul pemain sepakbola nasional sejak dini, memang telah lama dimulai.
Ya, anak-anak di sekolah-sekolah bola itulah yang akan mengukir sejarah persepakbolaan Tanah Air di masa depan. Sejauh mana upaya pelatih membina pemain sepakbola unggulan mereka, mencetak gol hingga cita-citanya mengantarkan juniornya menjadi pemain nasional yang handal.

Berawal dari kecintaan akan sepak bola. Itulah alasan Drs. Saiful Bahri tergerak hatinya untuk tidak sekadar menjadi penikmat tontonan sepak bola, tetapi juga ikut memikirkan bagaimana kelangsungan dunia persepakbolaan tanah air ke depan. Regenerasi pemain pasti terjadi. Inilah yang harus dipikirkan, tidak hanya sekadar mampu berkomentar tentang dunia persepakbolaan Tanah Air, tetapi sanggup bertindak nyata mencetak pemain-pemain handal yang bersumber dari bibit-bibit unggul pemain cilik.

Membina sejak usia dini lah  jawabannya. Sepuluh tahun silam, berbekal niat mulia tersebut, pada 20 Oktober 2002, Saiful mulai mendirikan Sekolah Sepak Bola Nusantara di Denpasar dengan pendanaan pribadi. Selaku pemilik sekaligus pelatih, ia menggandeng sang istri tercinta dra. Ari Suneli untuk duduk sebagai Kepala Sekolah SSBN ini. Dibantu tiga pelatih handal yaitu Adi, Aryo, Adit, SSBN mulai membuka pendaftaran dan direspon baik oleh masyarakat luas. Banyak anak-anak yang ingin mendaftar, dari berbagai usia, bermacam kalangan.

Di sekolah ini, siswa dibekali pengetahuan tentang sepakbola, diajarkan teknik bermain yang baik, serta menyiapkan mental pemain sedini mungkin  tak kalah pentingnya. Calon pemain cilik itu hanya dipungut biaya seratus ribu rupiah sebagai biaya ganti seragam dan setiap bulannya membayar iuran sebesar tiga puluh ribu rupiah saja kepada SSBN.

Bagi pemain yang berasal dari keluarga kurang mampu, SSBN memberi  kebijakan, tidak dipungut biaya apapun selama berlatih sepak bola alias gratis.
 ‘’Kami mengerti dengan kondisi seperti ini. Orangtua melihat bakat anaknya dan  ingin anaknya serius menekuni sepak bola, tetapi kurang mampu. Maka kami fasilitasi. Jangan sampai punya anak berbakat bermain bola, terhambat hanya karena biaya,’’ tutur Saiful.

Kelompok umur para pemain di SSBN dibagi dua,  yaitu kelompok usia dini 7 tahun ke atas, dan kelompok remaja usia 16 tahun ke atas. Mereka dilatih selama tiga kali dalam seminggu di Lapangan Renon, seputar areal Monumen Bajra Sandi.

Meski belum memiliki lapangan sendiri, Saiful mengatakan biasanya lapangan yang dipakai lewat sewa. ‘’Kami menyewa kepada pihak pengelola Bajra Sandi sebesar seratus ribu rupiah setiap bulan,’’ jelas Saiful.
SSBN pun kerap mengikuti pertandingan sepak bola yang diadakan di berbagai daerah. Terakhir SSBN mengirim jagoannya untuk mengikuti turnamen di Solo. Pada kelompok pemain usia dini, SSBN memiliki dua jagoan pemain cilik yaitu Noma dan Cahyo yang  mampu jugling sampai 150 kali. Mereka juga menjadi incaran  POKA Junior.

Saiful kerapkali mengingatkan kepada anak buahnya untuk teliti dalam menerima tawaran, karena sebagai pihak yang diserahi tanggung jawab oleh orangtua pemain, Saiful tidak ingin terjadi sesuatu yang merugikan pemainnya. Untuk itu ia bertanggung jawab penuh dalam mengawasi pemainnya yang berbakat.
“Jangan sampai setelah cedera, pemain saya tidak terpakai lagi. Jadi aturannya harus jelas dalam membuat perjanjian,’’ tegas Saiful.

10 tahun sudah mengelola SSBN bukan tanpa kendala dalam pengelolaannya. Suka dan duka dialami oleh pemilik SSBN di Bali ini. Pria ramah namun terlihat sedikit galak saat melatih ini, menuturkan kepuasan batin yang dirasakan saat melihat anak didiknya berhasil mengikuti turnamen daerah di Indonesia.
“Ini adalah bagian dari perjalanan sukanya membina SSBN ini. Dukanya terletak pada masalah pendanaan untuk mengembangkan sekolah sepak bola ini.’’

Ia tak menampik, ada beberapa yang pernah ikut menyumbang untuk SSBN. Salah satunya Asosiasi Induk Perseden. ‘’Biaya terbesar adalah untuk sewa lapangan dan bayar wasit,’’ imbuh Saiful.
Tak kenal putus asa berlatih di tengah carut marutnya dunia persepakbolaan Tanah Air, SSBN masih menyimpan sejuta harapan. SSBN mengajak Pemerintah Provinsi Bali untuk turut peduli dalam pembinaan bibit-bibit unggul pemain sepakbola usia dini di Kota Denpasar khususnya.

Masalah pendanaan, diharapkan tidak menyurutkan minat pemain-pemain cilik untuk terus berlatih dan mengukir prestasi sampai ke tingkat nasional. Pembinaan berkesinambungan sejak usia dini merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam meningkatkan prestasi olahraga serta didukung wahana yang tepat seperti turnamen sepakbola yang rutin diadakan, maka mencari banyak sumber bibit-bibit unggul pemain nasional untuk masa depan bukan hal yang mustahil.

Peduli akan nasib dunia persepakbolaan Tanah Air, tidak cukup bicara, butuh tindakan nyata untuk mau membenahinya sedini mungkin, butuh lebih banyak orang lagi seperti Saiful dengan visi dan misi memajukan sepakbola Tanah Air, bukan sekadar menjadi bola mania saja.(win)

Bagikan

SAJIAN TERBARU LAINNYA