Penyakit HIV-AIDS hingga kini tetap belum dapat disembuhkan. Terapi kombinasi obat-obatan memang secara medis dapat mengendalikan serangan penyakit AIDS, namun efeknya hanya untuk memperpanjang umur penderita.
Kini sejumlah ilmuwan dari Amerika Serikat melakukan uji coba pengobatan HIV-AIDS menggunakan terapi rekayasa genetika. Hasilnya amat menjanjikan dan diharapkan dapat berfungsi memberantas virus HIV. Jurnal ilmiah Science Transnational Medicine melaporkan para peneliti virologi di City of Hope California, berhasil melakukan terapi dengan sel punca yang kebal terhadap virus HIV.
Data yang diungkapkan dalam konferensi internasional penyakit AIDS yang digelar baru-baru ini di ibukota Austria, Wina, tetap amat mencemaskan. Di seluruh dunia tercatat sekitar 34 juta orang pengidap HIV-AIDS. Walaupun dilaporkan menurunnya prevalensi kasus infeksi HIV, namun pada tahun 2009 lalu masih tercatat sekitar 2,7 juta penderita baru. Setiap tahunnya rata-rata dua juta orang meninggal sebagai akibat mengidap HIV-AIDS.
Satu Harapan
Seiring dengan menurunnya kekebalan tubuh, para penderita AIDS lebih mudah diserang penyakit mematikan. Yang paling umum menyerang adalah kanker kelenjar getah bening. Kini sejumlah ilmuwan dari Amerika Serikat melakukan uji coba pengobatan HIV-AIDS menggunakan terapi rekayasa genetika. Hasilnya amat menjanjikan dan diharapkan dapat berfungsi memberantas virus HIV.
Dalam penelitian di pusat riset City of Hope di California, tim medis di bawah pimpinan pakar virologi John Rossi mula-mula melakukan penelitian untuk mengatasi kanker kelenjar getah bening ini. Metode yang lazim digunakan untuk memberantas sel kankernya adalah dengan Chemoterapy dosis tinggi. Namun metode ini sama seperti obat-obatan anti kanker lainnya, juga menimbulkan dampak samping merugikan. Karena obatnya juga membunuh sel-sel sumsum tulang belakang yang amat penting bagi kehidupan.
Membangun Kekebalan
Rusaknya sumsum tulang belakang berarti juga runtuhnya seluruh sistem pembangun sel darah. Karena itulah para dokter biasanya mengambil jaringan sel punca pembentuk sel darah sebelum pasien mendapat pengobatan chemoterapy. Sel punca ini diharapkan dapat membangun jaringan sumsum tulang belakang baru dan sistem pembentukan darah setelah pasiennya mendapat pengobatan chemoterapy.
Agar target dari pengobatannya tercapai, John Rossi dan tim risetnya melangkah lebih jauh lagi. Mereka hendak membuktikan bahwa dengan teknik rekayasa genetika, sistem pembentuk sel darah dan sumsum tulang belakang yang baru dicangkokkan ke tubuh pasien, juga kebal terhadap virus HIV-AIDS. Atau juga tidak memberikan peluang atau kemungkinan bagi virus HIV untuk menginfeksi dan kemudian menghancurkan sel tubuh manusia tersebut.
Tidak Tertumpu pada Satu Cara Pengobatan
John Rossi menegaskan, proses perawatan penyakit AIDS tidak bolah hanya digantungkan pada terapi rekayasa genetika saja. Hal itu supaya tidak menimbulkan ancaman bahaya yang tidak perlu pada pasien. Metode yang digunakan adalah gabungan dari berbagai teknik kedokteran yang dewasa ini lazim digunakan memerangi HIV-AIDS, kata Rossi menambahkan.
Paling tidak, dengan uji coba pertama pengobatan HIV-AIDS menggunakan rekayasa genetika, para peneliti dari pusat riset City of Hope di California itu hendak menunjukkan, bahwa sel punca pembentuk darah yang mengalami rekayasa, dalam jangka panjang tetap imun terhadap serangan virus HIV-AIDS. Namun belum diketahui, apakah sel yang mengalami rekayasa genetika itu juga dapat berfungsi serupa pada pasien yang tidak mendapat chemoterapy. Karena dengan chemoterapy dosis tinggi, fungsi pembentukan sel darah dan sumsum tulang belakang ibaratnya dinon-aktifkan.
Masih Perlu Dikembangkan
Para peneliti mengingatkan, metode pengobatan dengan rekayasa genetika sejauh ini belum merupakan pengganti dari metode pengobatan konvensional HIV-AIDS, berupa pemberian cocktail obat-obatan. Tentu saja berbagai riset dan inovasi dalam upaya memerangi atau jika bisa, menyembuhkan penyakit AIDS, tetap harus dihargai. Sebab data dari organisasi kesehatan dunia WHO dan UNAIDS yang amat memprihatinkan, sudah membunyikan tanda bahaya bagi semua umat manusia.
Selain itu, dampak dari krisis global juga semakin terasa terutama di Benua Afrika kawasan selatan Sahara. Jika krisis berlanjut, perang melawan HIV-AIDS diperkirakan akan mengendor, karena warga lebih terfokus pada upaya mempertahankan kehidupan sehari-hari. Selain itu berita mencemaskan dari kawasan Eropa Timur, dimana prevalensi pengidap HIV-AIDS terus meningkat, terutama di kalangan pecandu narkoba pengguna jarum suntik, harus segera diantisipasi.
Virus HIV-AIDS memang akan tetap menjadi ancaman serius bagi kesehatan umat manusia di dekade mendatang, terutama di kawasan di mana ekonominya ringkih.
Martin Winkelheide/Agus Setiawan (www.dw.de)