Pagi hari itu di Masjid Muhajirin Kampung Islam Kepaon,
Denpasar, warga satu per satu berkumpul. Lumayan pagi untuk sebuah kegiatan
ritual, tepatnya pukul 06.30 WITA. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW,
berjalan cukup meriah di bilangan Pemogan Denpasar Selatan ini. Seni Rodat,
memicu kemeriahan nan Islami di Tanah Dewata.
Sebuah
jidor, beberapa rebana, dan pedang khas panglima perang berada di tengah kerumunan
warga Kepaon. Tak lama, 20 orang pemuda dan anak-anak dengan pakaian khas warna
biru dan merah dihiasi kain pernik berumbai kuning menyilang di tubuh
masing-masing mendekati perangkat seni tersebut. Mereka mengenakan kaos tangan
warna putih dan peci hitam di kepala. Tanda pangkat bak pasukan perang juga
tampak di setiap penari. Ya, mereka adalah pemain kesenian Rodat yang
meramaikan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 24 Januari 2013 di Kampung Muslim
Kepaon.
Berjalan, menghentak,
dengan lambaian tangan yang khas mempertontonkan semangat dan pujian syukurnya
kepada Ilahi. Ritual islami ini memang rutin dipergelarkan tiap tahun sekali di
Masjid Muhajirin. Partisipasi warga tampak antusias dari unsur anak-anak hingga
orang tua. Dan kesenian Rodat selalu menjadi jamuan tontonan di kampung ini.
Tentu tak hanya ritual hari besar Islam saja, tetapi Rodat selalu menjadi
suguhan pada setiap pesta warga mulai dari khitanan hingga pesta nikah
sekalipun. Seakan, Rodat menjadi norma warga kampung Islam Kepaon, tak sahih
jika pesta tanpa Rodat.
Rodat sendiri sangat
erat kaitannya dengan kebesaran Kerajaan Pemecutan sejak 600 tahun silam.
Konon, Kerajaan Pemecutan memang memiliki hubungan baik dengan kerajaan Islam
di Nusantara seperti Ternate, Tidore dan Bangkalan.
Sabilurahman, 30 tahun,
seorang Pembina Kesenian Rodat di Kampung Kepaon menerangkan, bahwa Rodat
adalah salah satu kesenian dari nenek moyangnya yang saat itu berperang melawan
Kerajaan Mengwi. Saat itu, sembari mengisi waktu, pasukan perang dari Kerajaan
Pemecutan yang memiliki keyakinan Islam selalu memainkan Rodat.
“Kesenian ini dominan
musik, lagu dan gerak. Untuk geraknya, dominan pencak silat. Wajar karena saat
itu para pendahulu kami memang pasukan perang. Jadinya musik itu untuk
menghibur dan gerak pencak silat memang keahlian setiap pasukan perang waktu
itu,” kata pria yang akrab disapa Sabil ini.
Walaupun Sabil relatif
muda, tetapi sebagai pembina Rodat ia memang harus dituntut mengetahui asal
muasal kesenian ini agar tak terkesan hanya sebatas pemain Rodat biasa.
Sedangkan lagu yang
dimainkan untuk kesenian Rodat , adalah lagu dengan bahasa Arab. Yang intinya
adalah pujian kepada sang pencipta dan nadanya persis seperti jenis musik mars,
menghentak dan bernuansa semangat dalam pujiannya. Sabil juga bercerita,
jika pada zaman sebelumnya, syair lagunya berfungsi sebagai mantra. Mantra
tersebut berfungsi sebagai kekebalan atau kesaktian agar pada saat bertempur,
para prajurit menjadi sakti dan akhirnya menang. Beda dengan syair tari Rodat
yang disenandungkan oleh para penari kini. Meski tidak ada ritual sebelum menari,
namun di awal pementasan para penari wajib membaca Shalawat terlebih
dahulu sebagai syarat penanda mengawali aktivitasnya bersama-sama.
Begitu juga dalam olah
gerak. Pencak silat menjadi dominan sejak awal. Pencak silat di dalam seni Rodat
biasanya tidak dijadikan satu dalam berlatih. Pencak silat selalu disendirikan
dan Kampung Kepaon memiliki perguruan silat sendiri yang anggotanya selalu
terlibat dalam kesenian Rodat pula.
Istilah lainnya dalam
sebutan pasukan seni Rodat adalah kamerad. Kamerad ini lazim dan akrab pada
kelompok seniman Rodat di Kepaon untuk memanggil pasukan yang berbaris.
Sedangkan untuk dua pucuk pimpinan yang selalu berjalan berada di depan, disebut
komandan. Kamerad dan komandan tentu menjadi sesuatu yang unik di seni ini. Karena,
mereka para seniman Rodat baik anak muda dan anak-anak selalu meyakini sebagai
pasukan perang dan ada komando di depannya sambil berjalan dengan seni musik
dan tabuh yang digaungkan oleh jidor dan rebana.
Kelompok Kesenian Rodat
di Kampung Kepaon membutuhkan latihan 1 kali dalam seminggu. Rutin di tempat
Masjid Muhajirin sebagai masjid yang juga berfungsi sebagai pusat kegiatan
warga Kepaon. “Kami memiliki cita-cita seni Rodat ini bisa masuk di sekolah
dasar. Minimal menjadi kegiatan ekstra kurikuler agar seni ini tak mati dan
terus ada yang melanjutkan,” kata Sabil penuh harap. (beng)