Kasih sayang, dua kata dengan makna yang tak berwujud,
kerap dimasalahkan, dicari, dikejar dan datang sulit ditebak. Ia tak teraba,
namun sangat bisa dirasakan. Kerap kita
mencarinya terlalu jauh, padahal ia ada dalam diri kita.
Di
tengah modernitas kehidupan dewasa ini,
kasih sayang terkesan mahal dan
susah didapat. Kegelisahan dan ketakutan
makin mengurung kasih sayang, sehingga
kedamaian makin jauh. Maka ketika
tawaran-tawaran baru kasih sayang yang
makin diriilkan muncul, masyarakat, generasi muda, memburunya. Valentine’s Day salah satunya.
Valentine’s
Day yang fenomenal dikenal di negeri ini sebagai hari kasih sayang, begitu
digandrungi anak-anak muda, remaja bahkan orangtua. Ruang dan perhatian yang special diberikan
untuk hari yang jatuh 14 Fabruari setiap tahun itu, tak terkecuali di tengah
masyarakat Bali.
Bukan
hanya pada tanggal 14 Februari, bahkan bulan kedua di tahun Masehi ini
disimbolkan sebagai bulan kasih sayang. Ada warna yang khas disuguhkan oleh
masyarakat, kental dengan kemasan bisnis. Nuansa ekonomi konon telah menumpangi
kebutuhan akan kasih sayang ini.
Valentine’s
Day menjadi universal, mengalahkan nalai-nilai yang sejatinya sudah ada dan
sangat mendasar sebagai kearifan lokal di setiap daerah. Bali misalnya, mengenal
apa yang disebut “Tri Hita Karana” yang bahkan gaungnya mendunia sebagai sebuah
kearifan lokal. Sebuah nilai kasih sayang yang tak hanya diwujudkan dalam hubungan
antarsesama (manusia), tetapi juga kasih, cinta dan penghormatan terhadap sesama makhluk dan tentu kepada Sang
Pencipta. Sebuah nilai cinta dan kasih sayang yang telah ditanamkan nenek
moyang Bali sejak tak terhitung lamanya.
Boleh
saja gandrung akan nilai baru kasih sayang yang
dinamakan Velentine’s Day, namun jangan sampai tercerabut dari
nilai-nila dasar kasih sayang dalam kearifan lokal yang salah satunya kita kenal sebagai Tri Hita
Karana.