Minggu, 24 Februari 2013

RODAT, AKANKAH DIAKUI? (Edisi II/2013)

Kesenian Rodat bagi Padani adalah segala-galanya. Pria asli kelahiran kampung Islam Kepaon, Denpasar ini membina kesenian Rodat sejak masih kecil. Walaupun usianya sudah menginjak 50 tahun, semangat untuk menjaga kesenian Rodat tak pernah surut. Ia mengaku asli orang Bali, meski kepercayaannya kepada sang pencipta berbeda dengan mayoritas masyarakat di Bali. Paling tidak, nenek moyang Padani pernah memberikan kontribusi penuh terhadap keutuhan Bali di zaman kolonial Belanda.

 “Bagi saya, kesenian Rodat adalah segala-galanya,” ujar pria asli kelahiran kampung Islam Kepaon.
Kesenian Rodat di Kampung Islam Kepaon, menurutnya, hampir saja punah di tahun 70-an. Dengan berbagai cara, ia tetap menggalang warga untuk aktif terlibat dalam kesenian ini karena faktor sejarah yang tak bisa ditinggalkan dari pendahulu Kampung Islam Kepaon. Ia mendandaskan, ”Kami di kampung ini adalah orang asli Bali yang memiliki keunikan tradisi sendiri. Tentunya keunikan kesenian dan budaya ini adalah bagian dari kekayaan budaya Bali secara umum,” ujar pria yang 2010 lalu pensiun dari pegawai negeri sipil.

Tahun 1980, kesenian Rodat di Kampung Kepaon mulai dikenal banyak orang luar. Tentu saja, hal itu tak lepas dari ikhtiar Padani dan warga seluruh Kampung Kepaon untuk senantiasa menggaungkannya. Alasan penting dari Padani untuk meyakini kesenian Rodat yang harus tetap terjaga, adalah bagian tanggung jawab yang harus selalu disampaikan kepada generasi berikutnya. Tak lain kesenian ini, baginya memilki keunikan jika dipelajari lebih dalam.

Di era pendahulu Padani, Rodat memang memiliki nilai seni. Tetapi sesungguhnya ada sesuatu yang harus disembunyikan di masa penjajahan. Mengasah keterampilan bela diri adalah hal penting bagi para pejuang kemerdekaan. Tentu saja penjajah tak mau jika ada kegiatan bela diri, yang bisa saja mengancam eksistensinya sebagai penajajah. Maka, dibungkuslah keterampilan bela diri itu dengan bentuk seni yang dipadu dengan lagu, syair dan tari. “Jadi moyang kami adalah pasukan dari kerajaan Pemecutan saat itu yang mengasah keterampilan fisik bela diri dalam bentuk seni Rodat,” kata pria lulusan sarjana sastra ini.
Pernyataan Padani sekali lagi menandaskan bahwa warga Kampung Kepaon adalah asli orang Bali walaupun memiliki keturunan dari luar. Menurutnya, kehadiran nenek moyangnya di Bali mengajarkan bahasa Bali sebagai bahasa ibu yang tak bisa lepas hingga sekarang. Wajar, jika saat ini ia juga berperan serta ikut membangun pariwisata budaya Bali dengan kesenian Rodat.

Tetapi, ada perasaaan nyinyir bagi Padani. Dalam pengalaman membangun dan melestarikan kesenian Rodat untuk menjadi bagain dari seni budaya Bali, ternyata tak mudah. Ia mengaku hingga sekarang, tak pernah sama sekali media lokal di Bali memberitakan tentang budaya Kampung Kepaon menjadi bagain dari budaya itu. Padahal, keinginan itu adalah harapan besar bagi warga Kampung Kepaon. “Saya sering menulis tentang seni budaya Kampung Kepaon termasuk Rodat di salah satu media yang ternama di Bali, tetapi tak pernah digubris. Tetapi kami yakin bahwa kami orang Bali,” katanya.

Tantangan lainnya, mengusung seni Rodat hampir sama dengan seni tradisonal lainnya di Bali. Mengelola seni yang belum tentu mendatangkan nilai ekonomi di zaman ini, apalagi pemainnya harus anak muda, Padani merasa bukan hal gampang lagi. “Mana bisa seniman Rodat bisa mendatangkan uang banyak dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jelas tidak mungkin. Tetapi kami bersabar, yang penting peninggalan nenek moyang kami tetap kami jaga walaupun tanpa nilai ekonomi sekalipun,” ujarnya.

Padani sudah cukup merasa bangga karena apa yang dilakukan dalam pembinaan seni Rodat pernah diakui  di Bali, walaupun cuma sekali pentas di perhelatan seni terbesar di Bali, Pesta Kesenian Bali (PKB).
Peristiwa kebudayaan bagi Padani dan sebagian besar warga muslim Kepaon adalah identitas yang membanggakan. Hanya saja, pertanyaan pentingnya, apakah keberadaan mereka diakui oleh masyarakat Bali secara umum dari karya dan seni budayanya. Padani juga memikirkan hal itu, karena apresiasi dari identitas menurutnya adalah simbol keberagaman di Bali. (beng)
Bagikan

SAJIAN TERBARU LAINNYA