Minggu, 24 Februari 2013

SEBUAH PERAYAAN SEKADAR “ NGE-POP” (Edisi II/2013)

Valentine Day menyimpan banyak pertanyaan  tentang nilai. Kali ini seorang budayawan  membedah arti perayaan Valentine Day, untuk menjadi renungan banyak orang. Tentu segalanya agar tak terkesan latah dalam berbudaya. Redaksi memilih seorang budayawan yang cukup tajam dalam pengamatan dan analisa. Maklum, tamu redaksi ini sudah sering melalang buana di dunia media hingga menasional. Dia tak lain I Gede Joni Suhartawan, seorang pegiat seni budaya yang saat ini didaulat mengelola Nabeshima Creative Space di Kota Denpasar. Berikut petikan wawancaranya dengan Tabloid Galang Kangin.

T:  Apa komentar Anda tentang fenomena Valentine Day pada zaman ini?
J :  Perayaan Valentine saat ini tidak lebih dari fenomena gaya hidup kapitalistik yang dicirikan oleh gaya hidup mass-culture (budaya massa) yang nge-pop. Di balik itu semua ada industri. Mulai dari fashion, makanan-minuman, periklanan dan media massa. Maka di situ ada greeting (kartu ucapan, ada coklat, ada warna pink, boneka, candle light dan seterusnya). Orang jadi tidak mementingkan sejarah, apalagi makna perayaan. Perayaan itu sendiri menjadi wahana untuk ditumpangi seefektif mungkin, sehalus maupun sekasar mungkin, oleh pernak-pernik budaya massa yang nge-pop dan khas gaya hidup kapitalis dalam berbagai kelasnya.

T : Adakah pelajaran yang berharga dari sejarah Valentine Day?
J : Seharusnya kasih sayang terhadap sesama tanpa pandang bulu. Itu kalau menelisik sejarah dan mitologinya, yakni sejarah pengorbanan seorang pemuda di zaman Romawi, yakni Valentinus yang dengan lantang menyatakan cinta kasihnya kepada guru sucinya yaitu Yesus Kristus di hadapan Kaisar Claudius II saat itu. Berikutnya,  kasih kepada  sesama tanpa pandang SARA. Bahkan kasih sayang tanpa memandang situasi maupun kondisi. Kesimpulan dari berbagai versi sejarah guru suci Katolik ini, bermuara pada arti cinta dengan tiga tingkatan : eros (laki-perempuan), filea (sesama-sesuatu) dan agape (kasih murni).

T : Jika begitu, apakah ada nilai tersendiri dari perayaan Valentine Day di zaman ini?
J : Kalau dalam konteks riwayat sejarah sudah tidak ada lagi itu. Nilainya melorot jadi sekadar romantisme individual yang me-massal. Kalau tidak boleh dibilang melorot, ya, bergeser jauh. Kalau dipaksakan ada nilainya, ya, saya juga bingung. Paling nilainya ya mengingatkan bahwa dalam bahasa Indonesia, kita memiliki kosa kata  “cinta” , “sayang” dan “kasih” . Jadi semacam peringatan bahwa ada tiga kata itu dalam perbendaharaan bahasa kita orang Indonesia. Dan itu kan menjadi penting diperingati. Kira-kira begitu.

T : Menurut Anda apakah ada pergeseran nilai? Jika iya apa yang sedang bergeser dari tata
   kehidupan budaya manusia dari sejarah hingga sekarang saat memaknai Valentine Day?
J : Ada banget. Tadinya unsur cinta kasih dengan mengorbankan diri, tetapi sekarang tidak ada lagi itu. Mungkin bukan bergeser tapi bener-bener sudah tidak ada. Ini hanya pesta, senang-senang, sok imut-imutan, jangan lupa warna pink, bunga mawar, candle light dinner, manisan coklat, kata-kata puitis manja-manja. Nyambung kata saya di awal, ini riwayat nilai religius-universal seorang Valentinus yang diupacarai secara pop dan massal dengan mesin-mesin kapitalistik menjadi  “agama” baru, agama pop-mass. Harus kita ingat akan catatan sejarah : sebelum abad 19, Valentine Day diperingati untuk menghormati Valentinus yang bersedia menjadi martir bagi guru dan agamanya. Bukan untuk centil-centilan dan sok-sokan hadir dalam kasih sayang.

T: Apakah ada semacam kelatahan budaya dalam konteks celebration atau perayaan hari kasih sayang ini?
J : Sangat ada! Dan itu lumrah. Kan budaya massa, pop dan mesin-mesin serta manajemen kapitalistik memang seperti itu bawaannya. Anda lihat fenomena K-Pop misalnya. Persoalannya adalah siapa mendikte siapa? Siapa elangnya dan siapa bebeknya. Kan begitu?

T : Jika dipelajari dari gerak zamannya dengan berbagai perayaan,pihak mana saja yang diuntungkan dari makna perayaan Hari Kasih Sayang ini?
J : Kapitalis dalam berbagai kelas dan bentuknya itulah!

T : Menurut Anda, apakah ada ritual kebudayaan atau nilai kehidupan di Bali dalam konteks pemaknaan nilai dalam Valentine Day?
J : Kalau makna Valentine adalah kasih sayang dengan dasar pengorbanan, maka nilai kehidupan di Bali dengan dasar Panca Yadnya (lima pengorbanan) itu sudah sangat menunjukkan nilai tersebut. Bahkan secara lebih luas,  demi keseimbangan makrokosmos, walaupun bukan diri secara fisikal yang menjadi korban melainkan hewan-hewan yang disucikan misalnya. Dalam bahasa nyleneh, bahkan dengan butha kala; wong samar, jin, dan sejenisnya, orang Bali umumnya meng-kasih sayang-i koq. Setidaknya dalam bertutur kata dengan makhluk jenis “mengerikan” itu!

T : Apa yang sebenarnya terjadi?
J : Tetapi, nah ini yang saya mau tekankan, jangan sekali-sekali orang Bali itu maksa-maksain dirinya untuk mencari padan-padanan perayaan seperti ini. Jangan terus nyari-nyari biar “klop” ataupun mencari “tandingan”-nya, yang didasari pada “pang sing ketinggalan zaman”. Ini berbahaya sekali. Kalau memang tidak ada, ya nggak usah mencari-cari lalu mengkait-kaitkan, kalau ikut ya gak usah direligiuskan. Biasa sajalah. Ini soal warna pink, coklat dan bentuk hati yang dirayakan kebetulan oleh hampir seluruh dunia aja koq. Gak usah repot sampai ke dapur.

T : Bagaimana sebaiknya memaknai, memberi nilai lain dengan konteks zaman dan kultur masyarakat di negeri ini dan Bali pada khususnya?
J : Apanya yang mau kita maknai dari Valentine Day? Kalau nilai historis dan ternyata ada religiusnya itu, mari kita maknai apa itu power of love misalnya. Dalam konteks ini mesti timbul kegelisahan : cinta kasih macam apa yang kita praktikkan di bumi Bali ini? Kalau perayaannya yang mau dimaknai, ini lebih jelas dan ringan, tinggal dua pilihan : Ikut rayakan, tapi tidak sebagai korban konsumerisme melainkan misalnya  Anda mau jualan apa di musim perayaan Valentine Day ini? Dari mau jualan syair puitis hingga jaje laklak coklat  dibungkus box warna pink? Jadi pertanyaannya di sini adalah mau bikin apa bukan mau beli apa. Belajar sedikit dari trik-trik kapitalis masih gak apa-apa ketimbang jadi korban bodohnya. Pilihan kedua: sama sekali tidak ikut dalam perayaan “duniawi” tersebut melainkan berkumpul ke tempat ibadah, sembahyang atau doa dengan  satu topik kerinduan : Ya Tuhan janganlah sampai kami kehilangan kasih sayang hanya karena ingin menunjukkan kasih sayang kami masing-masing dengan cara kami sendiri-sendiri kepadaMU! (beng)
Bagikan

SAJIAN TERBARU LAINNYA