I Galang Megalung
Hari itu Kakek Putu hampir seharian tidak melakukan aktivitas yang berarti, sebagian besar waktunya dihabiskan untuk duduk di bale bengong di sudut halaman depan rumahnya. Sulit membaca apa yang dipikirannya, karena ekspresi wajah Kakek Putu selalu berubah-ubah.
Kadang tarikan garis wajahnya tenang, sesekali tampak tegang, dan prosentase terbesarnya adalah tampilan wajah berkerut seperti jeruk purut kering di lapak ceraki Pasar Sanglah.
Tarian ikan koi dalam kolam di samping bale bengong tetap saja tidak mampu membuat Kakek Putu merasa terhibur, padahal biasanya tarian ikan-ikan itu selalu bisa membuatnya merasa tenang dan gembira.
Saat Bli Nyoman Coblong melintas di depan rumah Kakek Putu, astungkara Widhi, Kakek Putu sudah menampakkan ekspresi wajah yang cukup nyaman untuk dilihat, sehingga Bli Nyoman Coblong tertarik untuk mampir.
“Om Suastiastu Kek! Ada kabar apa sampai kenyam-kenyem begitu?” sapa Bli Nyoman Coblong.
“Om Suastiastu Man! Nggak ada apa-apa kok, cuma baru ketemu hal yang bisa jadi solusi baik buat masalah yang akan datang,” sahut Kakek Putu.
“Behhh....!!! sudah sampai tahap weruh sedurung winarah rupanya, sampai tahu kalau ada masalah yang akan datang.“
“Bukan begitu, soalnya masalah yang akan datang ini sudah ditandai di kalender, jadi gak perlu jadi clairvoyant untuk tahu.“
“Masalah yang mana ya? Kok saya kurang paham Kek?“
“Beruntung kalau kamu kurang paham Man, biasanya paling aget kamu itu gak paham sama sekali.. hehehehe...”
Keduanya lalu duduk bersama di bale bengong menyambung obrolan yang sepertinya sudah menunjukkan gelagat akan menjadi ajang obral kata tanpa benefit yang jelas, apalagi profit dengan nominal di atas enam digit atau lebih.
“Hari Raya Galungan sudah dekat, untuk merayakannya semua orang perlu uang, tahu kan?“ sambung Kakek Putu.
“Lalu, masalahnya dimana? Kan sudah rutin kita merayakannya?” tanya Bli Nyoman Coblong sambil pasang tampang blo’on, soalnya selama ini semua urusan seperti itu sudah diserahkan sepenuhnya kepada sang istri.
“Behh...sajaan sing taen ngerunguang apa! Cuma terima beres saja kamu ni Man,” Kakek Putu menjawab dengan nada tinggi plus mata mendelik.
“Ini masalahnya bukan tentang Kakek, tapi tentang I Galang anaku yang ketiga. Dia sudah makin dewasa tetapi belum menunjukkan gelagat kemandirian. Pastinya untuk Hari Raya Galungan ini, semua biaya plesiran dan fashion-nya dibebankan ke Kakek lagi..!“ sambung Kakek Putu semakin gusar tapi sudah turun gradasi nada suaranya mengarah ke pasrah, untungnya belum sampai mengelus dada.
“ Lho...katanya tadi sudah ketemu solusinya, kok masih repot? Tapi omong-omong apa kira-kira jalan keluarnya?“ tanya Bli Nyoman Coblong sedikit protes.
Kali ini Kakek Putu tersenyum sambil menunjuk ke kolam ikan koi kesayangannya.
“Mulai hari ini I Galang akan Kakek suruh menjajakan ikan-ikan koi itu. Pasti cukup buat bekal hari raya besok. Dengar kabar harga koi sedang bagus sekarang karena diburu orang untuk mendatangkan hoki di masa krisis ekonomi ini,” senyum Kakek Putu semakin lebar penuh harapan akan keberhasilan ide briliannya.
Tanpa disadari oleh Kakek Putu, Bli Nyoman Coblong sedang kliad-kliud menggeser tubuhnya untuk bisa secepatnya pergi dari hadapan Kakek Putu. Dia sangat paham kalau sudah begini biasanya ada tugas advokasi yang harus ditanggungnya....
Jukut ares mawadah mangkok, lamun suba beres mara nengok....hehehhe.