Hadapi Persaingan
Bisnis baju adat nyaris tidak ada matinya di Bali. Setiap bulan, selalu ada rahinan, di mana biasanya para wanita ingin selalu terlihat bergaya dengan berbusana yang mengikuti tren terbaru. Kecenderungan ini, lantas mengilhami sejumlah pelaku usaha untuk berbisnis busana adat Bali demi memanjakan selera masyarakat.
Salah satu pelaku usaha yang jeli melihat peluang bisnis baju adat adalah Ketut Dewi Suryantari. Seperti kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Ungkapan ini sangat tepat untuk menggambarkan kisah wanita yang biasa disapa Dewi, yang berprofesi sebagai penjual baju adat khas Bali, menuruni bisnis dari orang tuanya.
“Saya terjun di bidang bisnis karena sejak kecil, saya sudah suka berdagang. Zamannya masih di sekolah dasar, saya bisnis jambu biji,” kata Dewi memulai kisahnya.
Bisnis jambu biji, dilakukan Dewi karena melihat pekarangan rumahnya di Semarapura, Klungkung, ditumbuhi pepohonan jambu merah. Saat musim berbuah, jambu-jambu sering berjatuhan karena keluarganya sudah bosan mengkonsumsi. Tak kurang akal, Dewi lantas membawa buah jambu ke sekolah dan menjajakan ke teman-temannya. Hasilnya, super laris!
“Saat kuliah di Fakultas Ekonomi Unud, saya membawa dagangan ibu dan menjajakan ke teman-teman kuliah. Lagi-lagi hasilnya menggembirakan. Bahkan, bukan hanya teman-teman dari Bali yang beli. Teman dari Jawa pun banyak yang tertarik kain batik dagangan saya,” tutur wanita dari lima bersaudara ini dengan mata berbinar.
“Saya sengaja memilih menyewa lokasi usaha dekat Pasar Ketapian, karena namanya pasar pasti menjadi tempat hilir-mudik orang. Ketika memulai bisnis baju adat di pasar ini, belum banyak pesaing seperti sekarang” ujar Dewi memulai cerita.
Meski banyak pesaing, Dewi mengaku sama sekali tidak gentar. Sejak awal, ia sengaja menyasar kalangan menengah ke bawah dan berusaha mengisi tokonya dengan produk baju adat selengkap mungkin. Misalnya, untuk kebaya, kiosnya menyediakan jenis balon, katun dan bordir, dengan harga antara Rp 35 ribu – Rp 300 ribu. Baju sembahyang pria dipatok Rp 25 ribu – Rp 40 ribu. Udeng berkisaran harga Rp 20 ribu – Rp 40 ribu. Saput dibandrol Rp 25 ribu – Rp 75 ribu. Pada hari-hari biasa, omzet yang didapat rata-rata Rp 500 ribu. Jika mendekati Hari Raya Galungan – Kuningan, omzet melonjak hingga Rp 2 juta per hari.
Bingung Kurs Dolar
Walau terlihat lancar dan hasilnya selalu menggembirakan, namun Dewi pernah mengalami masa-masa yang dianggapnya musibah. Beberapa tahun silam, salah seorang pelanggannya mengambil dagangan dengan nilai besar, namun belakangan seolah menghindar. Setelah ditagih beberapa kali dan selalu gagal, akhirnya sang suami mengajarkan Dewi agar mengikhlaskan saja.
“Saya dan suami memang saling mendukung. Kebetulan suami juga menekuni bisnis yang sama. Bedanya, saya konsentrasi di kios, sedang suami lebih giat mengikuti berbagai pameran. Berkat jaringan relasi dan informasi yang digalang suami, sejak tahun 2005 kios saya bisa mengikuti PKB,” ujar ibu dari Putu Bayu Wikranta dan Kadek Bani Ananta Putra ini.
“Waduh, saat itu saya tidak tahu nilai kurs dolar berapa, sehingga kalang-kabut. Akhirnya saya kira-kira sendiri saja berapa nilai dolar. Benar-benar pengalaman tak terlupakan. Tapi dari pengalamanlah saya belajar,” kata Dewi dengan nada yakin.
Tips sukses ala Dewi:
- Jangan pernah takut dengan persaingan. Persaingan justru mendorong seseorang untuk maju dan berkembang.
- Selalu ciptakan ide kreatif dalam bisnis baju adat. Berbekal ide kreatif, maka produk menjadi tidak pasaran dan selalu dicari konsumen.
- Jangan pernah menyerah dengan cobaan yang datang.