Jumat, 19 Agustus 2011

PANGGUNG

Sempat Tersendat,
Lukisan Kamasan Kembali Mencuat

Lukisan wayang khas Kamasan, sudah lama kondang sebagai cendera mata yang menjadi buruan wisatawan. Daya pikat lukisan yang bertema pewayangan, menghadirkan romansa tradisional,  hingga wisatawan tak segan merogoh kocek untuk memborongnya.  Bagi penduduk Kamasan,  ketertarikan pelancong pada lukisan, berarti gemerincing rupiah alias sumber penghidupan.

Ketut Murki, salah seorang pelukis dari Banjar Sangging, Kamasan, menyebut sebagian besar penduduk di desanya memang memilih menjadi pelukis tradisional. Khususnya tema-tema pewayangan, yang mencakup Mahabharata atau Ramayana. Kedua tema ini, sudah lazim digunakan sebagai objek lukisan dan telah berlangsung secara turun-temurun.
Wanita berputra empat orang ini menyatakan, sejak kecil ia sudah menggeluti lukisan, karena sering melihat kedua orangtuanya  melakukan aktivitas ini untuk menopang hidup. Murki sering membantu untuk mewarnai lukisan, menggunakan pewarna alami, sepulang dari sekolah.
“Karena sejak kecil sudah terbiasa bergelut dengan lukisan, maka orang-orang Kamasan seolah sudah menyatu dengan lukisan, terutama yang bertema pewayangan klasik. Belakangan, untuk lebih menarik minat tamu, kadang-kadang saya mencoba tema lain, seperti bunga-bunga atau satwa. Bahkan, tidak sebatas melukis di kanvas, tapi bisa juga di keben, album foto atau helm,” ungkapnya.
Setelah mengarungi bahtera rumah tangga bersama I Made Sondra, di mana  suaminya juga berasal dari Kamasan, maka pilihan profesi mereka tidak lain berbisnis lukisan dan kerajinan berhias pewayangan. Mereka pun  membangun sebuah art shop di lingkungan rumah tinggal. Meski art shop berdesain sederhana, namun hampir setiap hari, tamu lokal dan mancanegara, ramai menyambangi.
Harga yang ditetapkan untuk produk yang dijual, meliputi keben Rp 60 ribu,  kipas Rp 15 ribu, bambu gantung Rp 25 ribu, topi petani Rp 75 ribu, helm Rp 150 ribu dan  lukisan antara Rp 50 ribu – Rp 2 juta. Dahulu,   omset yang didapatkan biasanya mencapai Rp 20 juta/bulan.
Malangnya, kegemilangan pamor lukisan Kamasan mulai menurun setelah peristiwa meledaknya bom Bali beberapa tahun silam. Pelukis Kamasan pun jatuh dalam keterpurukan  karena kondisi pariwisata Bali yang lesu. Kondisi ini juga menimpa art shop yang dimiliki Murki, sehingga omzet merosot tajam  menjadi Rp 5 juta/bulan. Meski demikian, ia memilih untuk bertahan, walau pelukis lain ada yang banting setir dengan menjajal pekerjaan lain demi mempertahankan kelangsungan hidup.


“Masalah mendasar yang dialami pelukis Kamasan, sebenarnya adalah soal pemasaran. Mayoritas masih mengandalkan pemasaran konvensional, di mana mereka tinggal menunggu tamu datang ke art shop. Kalau sekarang tamu sudah sepi, tentu keadaan ini tidak menguntungkan bagi pelaku bisnis di bidang lukisan,” ujar Murki galau.

Unjuk Gigi di Pameran
Sebagai solusi mengatasi sepinya wisatawan yang bertandang, Murki dan suaminya sengaja aktif mengikuti pameran, agar produk mereka diketahui dan dikenal para penggemar lukisan. Untuk menyemarakkan stand saat pameran, Murki tidak hanya membawa lukisan, tapi juga berbagai macam kerajinan, yang sudah dihiasi lukisan.  Ada dompet, kipas, topi petani, telur hias, asbak, serta berbagai barang kerajinan lain.
“Beragamnya barang yang dipajang di stand, membuat pengunjung makin banyak. Karena tidak semua orang menyukai lukisan untuk dipajang di dinding, jadi bisa memilih alternatif barang kerajinan lain. Keberadaan barang kerajinan ini turut mendongkrak omset, karena baik wisatawan asing maupun lokal banyak yang tertarik,” katanya.
Namun, jelas Murki, yang paling menjadi andalan saat pameran memang lukisan. Mengingat lukisan khas Kamasan,  berbeda dari lukisan di daerah lain. Sejak zaman dahulu, lukisan Kamasan  setia mengusung tema pewayangan,  dan tetap dipertahankan hingga sekarang.


Kain Blacu & Pewarna dari Alam
PENDUDUK Kamasan menggunakan kain blacu sebagai kanvas melukis. Sebelum dipergunakan media melukis, kain itu direndam terlebih dahulu dengan tepung beras. Setelah itu, kain dijemur atau diangin-anginkan hingga kering, dilanjutkan dengan menggosok kain menggunakan kulit kerang hingga kain menjadi licin. Setelah kain terasa licin, baru siap dijadikan kanvas.
Proses melukis, dimulai dengan membuat sket. Ketika sket sudah terbentuk, diteruskan dengan pewarnaan. Pada zaman dahulu, lukisan Kamasan menggunakan pewarna yang alami, menggunakan bahan-bahan dari alam. Pewarna alami itu didapatkan dari bebatuan, beragam tumbuhan atau tulang ikan. Tak sebatas diperoleh di daerah Kamasan dan sekitarnya, pewarna alami ini bisa saja didatangkan dari Nusa Penida atau China.
Proses pewarnaan dengan menggunakan pewarna alami kini sudah banyak ditinggalkan para pelukis. Dalihnya, langkah ini tidak praktis karena memakan waktu lama. Pelukis Kamasan kini lebih suka menggunakan pewarna sintetis yang dihasilkan pabrik. Meski begitu, sebagian pelukis ada yang tetap bersikukuh menggunakan pewarna alami, sehingga kesan tradisional tetal terlihat kental pada lukisan atau dengan memadukan antara pemakaian pewarna alami dan pewarna buatan. 


Sejarah  Kamasan
TRADISI megalitik pernah mewarnai kehidupan di Kamasan  pada 2000 tahun SM, yang  diserap oleh para ke-pande-an dan undagi.  Akhirnya, kiprah para pande semakin dikenal, sehingga kepiawaian mereka dimanfaatkan oleh raja sejak kerajaan berpusat di Gelgel (1380-1651). Ketika itu, seni ukir berkembang secara maksimal, yang diaplikasikan  pada logam emas atau perak dan dijadikan perlengkapan barang-barang perhiasan Keraton Suweca Linggaarsa Pura Gelgel.
Tidak hanya seni ukir. Seni lukis wayang pun turut berkembang, yang biasanya digunakan untuk hiasan di atas kain, seperti lelontek, kober atau umbul-umbul, dan difungsikan sebagai dekorasi di bangunan keraton. Ketika pusat pemerintahan dipindahkan dari Gelgel ke Klungkung oleh Dewa Agung Jambe tahun 1686, kedudukan Desa Kamasan yang mayoritas dihuni sangging dan pande mas tetap dipertahankan. Para seniman dan perajin sangging, pande mas dan banjar-banjar, masih terus menghasilkan lukisan atau ukiran gaya Kamasan atau gaya wayang.
Perluasan produk perajin menjadi kian beragam.  Tidak hanya terbatas pada ukiran emas dan perak, tetapi muncul juga seni ukir yang berbahan tembaga,  kuningan dan peluru. Produk kesenian mereka berupa lukisan atau ukiran banyak dipesan oleh wisatawan mancanegara atau nusantara.

Bagikan

SAJIAN TERBARU LAINNYA