Selasa, 20 September 2011

AGROBIS


Menggandeng Sekolang Lapang Petani
Di Kota Denpasar

Gerakan menuju swasembada beras yang didengungkan pemerintah pusat rupanya benar-benar serius dilaksanakan. Terbukti dengan diberikannya subsidi ganda yang cukup meringankan beban petani. Dari benih padi hingga pupuk sudah disalurkan melalui berbagai program. Di antaranya sekolah lapang untuk tanaman padi dan horti (jagung, kedelai).

“Untuk program sekolah lapang pada tanaman padi di Kota Denpasar tersebar di beberapa subak, misalnya di wilayah binaan Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Denpasar Barat, antara lain : Subak Margaya, Semila, Lange, Pagutan, Tegallantang, Tegalbuah,” ungkap Wayan Rapin, Koordinator PUPT Kecamatan Denpasar Barat.

Dikatakan, jumlah unit SLPTT yang diterima masing-masing subak tentu berbeda. Untuk satu unit luasnya 25 hektar. Satu hektar digunakan untuk laboratorium lapangan (LL), tempat petani dan penyuluh belajar mengamati pertumbuhan tanaman padi dan hama yang ada.

“Seperti program sekolah lapang yang telah terlaksana sebelumnya, untuk luasan satu hektar dibiayai penuh oleh pemerintah melalui dinas pertanian, mulai dari pengolahan tanah, pengadaan pupuk, benih hingga penanaman, termasuk alat tulis dan konsumsi pada setiap pertemuan. Namun, mulai SLPTT ini tidak lagi mendapat uang saku,” jelas Wayan Cita, SP., Kepala Bidang Pengkajian Teknologi Pertanian dan Hortikultura Kota Denpasar, saat sosialisasi di Subak Semila dan Lange. Sisanya seluas 24 hektar hanya akan dibantu benihnya saja. Artinya, biaya olah tanah, beli pupuk dan pemeliharaan tanaman padi dibiayai sendiri oleh petani.

Yarnen

Meski telah memasuki era keterbukaan, problema tengkulak masih menjerat para petani kita. Kehadiran program Yarnen (bayar panen) yang digulirkan KSU Kharisma Madani diharapkan mampu membebaskan petani dari jeratan tengkulak dan mensejahterakan kehidupan para penggiat pertanian ini.

Pada setiap kunjungan di sekolah lapang, program Yarnen dari KSU Kharisma Madani terus disosialisasikan dan didengungkan. Pun ketika Tim Agro bertatap muka dengan pengurus Subak Renon, Wayan Cita mengungkap soal masih terbelenggunya para petani oleh para tengkulak.

“Selama ini para petani di Subak Renon terbiasa menjual padi sebelum masa panen, karena telah dimanja para tengkulak yang datang menawar padinya sekaligus membawakan sejumlah uang tanda keseriusan mereka membeli. Nah, dengan dilantiknya pekaseh dan pengurus yang baru, tentu akan memulai dengan kinerja yang baru pula,” kata Cipta.

Program Yarnen terkait dengan pemakaian pupuk organik Agrodyke pada lahan seluas 10 are yang dibayar setelah (pasca) panen sebesar Rp 90.000 per kilogram. Selain itu, gabah hasil panen yang selama ini dijual berdiri, akan dibeli oleh unit Agro Kharisma Farm pada saat panen dengan harga bersaing, bahkan seratus rupiah lebih mahal dari harga pasaran saat itu. “gabah dibeli Rp 100 lebih mahal dari harga pasaran gabah kering panen pada saat itu,” terang Tim Agro.

Jadi, tidak ada harga kontrak, tetapi selalu berpatokan pada harga dasar gabah yang berlaku umum. Setelah gabah ditimbang dan disaksikan petani pemilik/penggarap, biasanya langsung kami bayar. Namun, bila gabah masih dalam keadaan basah, tentu akan mengacu pada ketentuan khusus,” jelas Kadek Joni Arta, wakil pengurus koperasi unit Agro Kharisma Farm.

“Pihak koperasi pasti akan membeli gabah petani yang telah diperlakukan dengan pupuk organik Agrodyke. Karena, selain gabahnya lebih padat dan bernas, berasnya juga lebih bening. Apalagi setelah dimasak akan ada rasa yang berbeda, serta lebih pulen. Ini cerita pengalaman para petani yang telah bermitra di beberapa wilayah kerja pada musim panen yang baru lalu, dan para konsumen beras Bali Madani.” 



Legenda Sekeha Manyi

ENTAH bagaimana ke depan nasib petani di Kota Denpasar ataupun Bali tanpa dikawal lagi oleh sekeha manyi (kelompok pemanen) lokal yang kini hampir raib seolah tak berbekas. Kemajuan, makin luasnya lapangan kerja formal maupun nonformal, berbagai kesibukan anggota sekeha, makin meminggirkan keberadaan sekeha manyi yang dulu sempat tersohor. Kini hanya tinggal cerita legendanya saja.

Kondisi ini menjadi salah satu penyebab sebagian besar petani tidak punya pilihan lain, kecuali menjual padi berdiri, dan menunggu bantuan dari pemerintah melalui dinas terkait. Tak mudah mendapatkan juru panen saat padi sudah menguning.

“Selama ini seakan terabaikan biaya-biaya yang sudah dikuras untuk proses produksi, saat kami memutuskan menjual padi yang belum siap panen,” terang Putu Arta, salah satu pengurus Subak Tegallantang. Alasannya, takut padinya ukut karena tidak ada yang memanen. Artinya, masih lebih baik rugi sedikit, daripada banyak.

Menurut Ir. Wayan Ambara, Kepala Dinas Pertanian dan Hortikultura Kota Denpasar, memang inilah yang harus disikapi. Pembinaan dan bantuan alat panen sudah diberikan, namun karena alasan kesibukan ataupun beralih profesi, akhirnya kelompok pemanen tersebut tidak aktif lagi. “Upaya untuk membentuk dan membina kelompok baru masih terus kami upayakan,”  ujarnya.   

  

   
Bagikan

SAJIAN TERBARU LAINNYA