Selasa, 20 September 2011

SENI BUDAYA

Menyaksikan Dodol Raksasa di Desa Duda 
   
Dodol bukanlah jenis makanan yang tergolong aneh bagi masyarakat Pulau Dewata. Tapi bagaimana kalau dodol itu berukuran jumbo dengan berat 150 kg? Nah, dodol raksasa itu bisa dijumpai di acara Usaba Dalem atau yang lebih populer disebut Usaba Dodol, yang berlangsung di Desa Duda beberapa waktu lalu, sehari sebelum berlangsungnya Hari Raya Nyepi.

Hari masih pagi. Udara dingin menyapa penduduk Duda. Ditambah lagi, desau angin  yang bertiup kencang membuat kulit makin menggigil. Meski demikian, kondisi alam yang tidak bersahabat itu tidak menyurutkan niat penduduk untuk mempersiapkan sebuah perhelatan tahunan yang sudah ditunggu-tunggu. Usaba Dodol!



Usaba Dalem, atau yang lebih dikenal dengan nama  Usaba Dodol, berlangsung setahun sekali di Desa Duda, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, tepatnya pada Tilem Kesanga dan bertempat di Pura Dalem.

Wayan Geria, pengurus desa adat setempat mengemukakan, prosesi usaba dimulai dengan ritual ‘berburu’ pisang kayu di pekarangan penduduk, yang dilakukan oleh jero desa yang berjumlah 27 orang sekitar pukul 06.30 wita. Pisang kayu itu juga tidak boleh sembarangan, harus memenuhi syarat : tidak cacat alias mulus, serta berjumlah tidak kurang dari 17 buah pada satu ijas.  Kalau pisang tersebut tidak ditemukan, maka usaba tidak bisa dilaksanakan.

“Pisang kayu itu  simbol nyejerang Ida Betara Durga, sehingga menjadi syarat mutlak, sekaligus untuk mengawali prosesi usaba,” jelas lelaki asli Duda itu.

Setelah pisang ditemukan, disucikan, dan diletakkan di dalam jeroan pura. Selanjutnya   persembahyangan pun dimulai. Masyarakat umumnya akan berbondong untuk mengantri masuk pura sejak jam 07.00 wita pagi hingga sore hari. Acara puncak berlangsung pukul 13.00 Wita di mana persembahyangan di-puput Ida Pedanda.  Sore hari, sekitar pukul 18.00 wita, pisang kayu akan ditanam, untuk mengembalikan ke pertiwi (bumi). Di antara persembahyangan itulah, ada beberapa warga yang mempersembahkan dodol atau jaja uli yang berukuran tidak lazim alias amat besar.

“Selain dodol atau jaja uli sebagai bagian dari tandingan, ada juga yang memang khusus dihaturkan kepada Betara Durga. Biasanya yang membawa dodol dan jaja uli ukuran besar itu orang-orang yang me-sesangi atau berkaul. Misalnya, karena penyakitnya tersembuhkan atau mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Untuk usaba kali ini, kebetulan ada yang me-sesangi membuat jaja uli seberat 150 kg. Dulu, ada yang pernah sampai 200 kg,” jelas Geria.

Bahan untuk membuat dodol atau jaja uli adalah kelapa, beras, ketan, garam dan gula (khusus untuk dodol). Kalau berukuran raksasa, hingga di atas 100 kg, masa pembuatannya antara tiga hingga empat hari dengan tenaga kerja mencapai 25 orang yang bergantian mengaduk adonan agar tidak gosong. Setelah matang dan didinginkan, dilanjutkan dengan pembungkusan menggunakan upih atau pelepah pinang. 

Berhubung ukurannya yang besar, untuk menggotongnya menggunakan tandu, laiknya mengusung ogoh-ogoh, dan membutuhkan minimal 20 orang untuk mengangkatnya.  Sore hari, dodol atau jaja uli dibawa pulang kembali, untuk kemudian dibagi-bagikan kepada sanak saudara.  Meski tidak langsung diberikan kepada keluarga yang lain, tetapi baik dodol maupun jaja uli tidak akan cepat basi atau berjamur karena bisa bertahan sampai enam bulan lamanya.

Sementara itu, salah seorang warga bernama Bu Made Lia, ketika dijumpai tengah bersembahyang di Pura Dalem menuturkan, bahwa pada usaba kali ini, memang keluarganya tidak membuat dodol ukuran besar karena tidak sedang me-sesangi.

“Tiang hanya membuat dodol ukuran kecil saja, yang di-tanding bersama buah dan jajanan lain. Kalau dodol ukuran biasa, cukup dua atau tiga orang saja yang membuat, tidak perlu ramai-ramai. Dulu, sekitar dua tahun lalu, kami pernah membuat jaja uli yang besarnya lebih dari 50 kg, terkait me-sesangi karena ada keluarga yang sakit. Dengan membuat dodol beramai-ramai, membuat hubungan keluarga tambah akrab karena mengerjakannya bersama-sama. Masalah biaya sebenarnya relatif, tapi kami selalu percaya, kalau memang mempunyai tujuan yang baik, pasti ada saja rezeki dari Sang Hyang Widhi,” tutur wanita dua anak ini.

Mengenai kenapa namanya Usaba Dodol dan bukan Usaba Jaja Uli, padahal biasanya yang dibuat  dalam bobot yang tidak lazim adalah jaja uli, Bu Lia menuturkan, mungkin nama itu diberikan karena jaja uli yang dibawa ke pura itu terlebih dahulu dibungkus dengan upih, sehingga sepintas bentuknya menyerupai dodol. Maka, usaba pun lebih popular disebut dengan Usaba Dodol.

Sedang tentang pelaksanaan usaba, Bu Lia mengisahkan kalau tradisi tersebut sudah berlangsung turun-temurun. Sejak masih kecil, ia selalu menjumpai pelaksanaan usaba tanpa pernah absen.

“Usaba ini kan sudah warisan dari leluhur, jadi masyarakat merasa tidak sreg kalau tidak meneruskan tradisi itu. Lagipula, pengadaan usaba sama sekali tidak memberatkan masyarakat kok. Malah kalau tidak diadakan, masyarakat jadi resah, karena terbukti setelah berkaul untuk mempersembahkan sesuatu pada waktu usaba, kebanyakan penyakit yang dialami warga langsung sembuh. Makanya pelaksanaan usaba sekaligus dipergunakan untuk me-sesangi atau membayar kaul. Kalau acara sudah selesai, baik dodol maupun jaja uli, biasanya dimakan ramai-ramai sambil minum kopi. Wah, nikmat sekali rasanya,” urai Bu Lia bersemangat. 

Sebenarnya, di Desa Duda tidak hanya mempunyai tradisi unik tahunan berupa Usaba Dodol saja, karena masih ada satu lagi acara yang berlangsung sekitar bulan Oktober, tepatnya pada sasi kapat. Acara itu bernama Usaba Goreng. Pada saat Usaba Goreng, semua jajan yang ditampilkan serba goreng. Seperti, kiping dan bukayu, yang dibentuk segitiga atau segi empat dan disusun secara atraktif bersama  buah-buahan.  Tertarik menonton? Datang saja langsung ke Desa Duda!
Bagikan

SAJIAN TERBARU LAINNYA