Sabtu, 24 Desember 2011

ADAT MEMULIAKAN PEREMPUAN (Edisi 12)

Tak dapat dipungkiri perempuan memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bali.  Mulai dari ranah domestik hingga kehidupan sosial kemasyarakatan selalu menempatkan perempuan sebagai pelaku utama. Hanya saja, sistem patrilineal yang dianut oleh masyarakat Bali membuat perempuan cenderung termarjinalkan dan tak jarang hanya menjadi manusia kelas dua dalam struktur kemasyarakatan.
Banyak kalangan yang menuding hukum adat sebagai salah satu penyebab ketidakadilan yang diterima perempuan. Hukum adat dinilai menempatkan perempuan dalam posisi yang lemah dan dirugikan. Benarkan hukum adat seperti ini? Atau ketidakadilan ini terjadi lebih karena memang masyarakat yang dikendalikan oleh laki-laki selalu berupaya menempatkan perempuan di urutan belakang?

Jika kita lihat secara lebih jernih dalam aturan hukum adat, tak ada aturan yang menyatakan perempuan memiliki posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Bahkan lebih jauh dalam ajaran agama Hindu yang menjadi landasan kehidupan masyarakat Bali, disebutkan bahwa perempuan memiliki tempat yang mulia dalam kehidupan. Diperlakukannya perempuan secara pantas menjadi jaminan kebahagiaan dalam kehidupan.
Luh Putu Anggreni, Prajuru Baga Pawongan Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) menjelaskan, sejatinya hukum adat diciptakan untuk kebaikan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan yang menjadi anggotanya. Terlebih dalam hukum adat Bali yang mengadung nilai-nilai kearifan lokal. Prinsip-prinsip seperti paras paros sarpanaya dan juga salunglung sabayantaka bahkan hingga konsep Tri Hita Karana, menjadi bukti bahwa sejatinya manusia Bali selalu berupaya menempatkan bukan hanya sesama manusia, melainkan juga sesama makhluk ciptaan Tuhan dalam posisi setara.

Sementara itu terkait dengan peran dan kedudukan perempuan dalam hukum adat, memang dirasa belum cukup ideal. Apa yang menjadi hukum adat saat ini tak dapat dipungkiri merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda. "Nasib perempuan Bali 100 tahun yang lalu ditentukan oleh Liefrink Residen Belanda wilayah Bali Lombok. Ini termasuk apa yang menjadi hak dan kewajiban termasuk di dalamnya warisan. Saat itu tak ada satu perempuan pun yang terlibat sehingga tak mungkin mampu mengakomodir apa yang menjadi keinginan perempuan," jelasnya.

Menurutnya, dalam adat aturan yang dibuat cukup bagus. Dalam masyarakat adat terdapat pembagian yang jelas apa yang menjadi tugas dan kewajiban laki-laki maupun perempuan dalam masyarakat. Sayangnya dalam praktek, sistem patrilineal lebih dimunculkan yang berdampak pada terciptanya mayoritas dan minoritas serta ketidakadilan. Dalam proses pengambilan keputusan, perempuan seringkali tak dilibatkan dan hanya menjadi objek dari sebuah keputusan.

Ketidakadilan ini nampak lebih nyata dalam perkawinan, perceraian serta pembagian warisan terhadap anak perempuan. Anak perempuan dianggap berbeda kedudukannya dengan anak laki-laki. Karenanya anak perempuan seringkali tak mendapat bagian warisan dari keluarganya. Akibatnya saat menikah seorang perempuan tak membawa apa-apa. Ini mengakibatkan ia seringkali tak dipandang dalam keluarga suaminya.
Pun demikian dengan sebuah keluarga yang hanya memiliki anak perempuan, seringkali akan menghadapi masalah. Jika mereka tak bisa mengangkat anak laki-laki atau mendapatkan sentana, maka putung atau cepung akan menghantui keluarga tersebut. Keinginan untuk mendapatkan anak laki-laki ini bukan tak berdampak buruk pada perempuan. Alasan tak memiliki anak laki-laki bisa menjadi pembenaran bagi seorang laki-laki untuk berpoligami atau memaksa seorang perempuan untuk terus menambah jumlah anak hingga mendapatkan anak laki-laki.


Ruang Bagi Perempuan

"Keputusan paruman agung Majelis Utama Desa Pakraman pada 15 Oktober 2010 bisa menjadi revolusi bagi perempuan Bali untuk mendapatkan keadilan dalam masyarakat. Dalam keputusan banyak perubahan yang memungkinkan perempuan mendapatkan peran dan kedudukan yang lebih baik, sehingga perempuan tak lagi termarjinalkan. Misalnya saja dari hasil paruman tersebut dimungkinkan seorang perempuan untuk menjadi seorang prajuru," ujarnya.

Anggreni membantah jika dimungkinkannya seorang perempuan untuk menjadi prajuru bukan karena perempuan ingin menambah beban kerja yang selama ini telah dinilai cukup berat. Hanya saja ini menjadi ruang bagi perempuan Bali yang memiliki kemampuan. Terlebih selama ini tak ada aturan yang secara saklek melarang perempuan untuk terlibat secara aktif termasuk menjadi pemimpin dalam masyarakat adat.
Dinilai, hukum adat Bali merupakan sebuah aturan yang penuh dengan solusi. Hanya saja Anggreni menganalogikan hukum adat itu seperti sebuah baju. "Hukum adat itu seperti baju, kalau sudah sempit maka harus dilonggarkan agar pas di badan. Pun demikian dengan hukum adat harus selalu mengikuti perkembangan dan perubahan zaman agar tak sampai ditinggalkan oleh masyarakat yang menjadi penggunanya," terang aktivis perempuan ini.

Sementara itu terkait dengan tidak adanya anak laki-laki dalam sebuah keluarga, sistem pernikahan pada gelahang bisa menjadi alternatif guna menyiasati sulitnya mencari seorang laki-laki yang mau melaksanakan pernikahan dengan sistem nyentana. Pernikahan ini harus didasari dengan tiga hal yakni paksa, lasia dan juga satya. Dengan pernikahan pada gelahang, berdasarkan kesepakan kedua belah pihak maka bisa dibicarakan masalah status anak demi menyelamatkan keluarga agar tidak cepung.

Jika memang adat mau dipahami dengan benar, sebenarnya dinilai tak ada satu aturan pun yang bertujuan untuk mendiskreditkan kaum perempuan. Dalam adat Bali terlebih dalam ajaran agama Hindu, perempuan selalu diletakkan pada posisi yang mulia. Sayangnya karena selama ini laki-laki bersifat sangat dominan dalam kehidupan masyarakat, dan aturan adat banyak yang dibuat oleh laki-laki, maka perempuan seringkali dirugikan.

Dalam paruman agung MUDPyang ke-3 juga diputuskan bahwa anak perempuan berhak mendapatkan bagian warisan yang jumlahnya setengah dari bagian anak laki-laki. “Jika perempuan menikah tanpa membawa apa-apa dan hanya membawa badan ke rumah laki-laki, maka seringkali mereka akan dilecehkan oleh keluarga suami. Lagipula meski seorang anak perempuan menikah, mereka tetap mau memperhatikan orangtuanya, mereka tetap bertanggung jawab sehingga wajar jika diberikan bagian,” imbuhnya.
Bagikan

SAJIAN TERBARU LAINNYA