Sebagian besar umat Hindu di Bali kini memilih cara praktis untuk menjalankan ritual keagamaannya. Serba beli sarana upacara pun menjadi tren. Perputaran uang dari jual beli sarana upacara mencapai triliunan rupiah setahun.
Sore hari sepulang kerja, Ni Made Sarmini (50 tahun) berhenti sejenak di tepian jalan untuk membeli sebungkus canang sari seharga Rp 7.000. Tanpa perlu turun dari sepeda motornya, perempuan yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Provinsi Bali itu sudah mendapat sebungkus canang sari berisi 25 buah. Tiba di rumahnya di Banjar Gemeh Denpasar, seusai membersihkan diri, canang-canang itu langsung dihaturkan di merajan dan beberapa pelinggih di rumahnya. Maka menjelang malam, tugas mebanten pun selesai. Praktis.
Keesokan harinya, hal yang sama pun berulang, berulang, dan berulang. Bedanya hanya pada harga canang sari yang kadang berfluktuasi, menyesuaikan dengan kenaikan harga bahan-bahan pembuatnya seperti bunga dan janur. “Karena setiap hari kerja, sudah nggak sempat buat canang sari. Lagi pula zaman sekarang sudah praktis. Banyak sekali orang jual canang. Tinggal pilih aja,” ujar ibu dua anak itu.
Ya, jumlah pedagang canang sari di tepian jalan semakin menjamur sejak beberapa tahun terakhir. Semua canang yang dijual bahkan sudah dikemas dalam plastik-plastik beragam ukuran, sesuai kebutuhan umum konsumen. Tak cuma canang sari, belakangan canang tangkih yang beralaskan daun pisang pun sudah bisa dibeli dengan mudah.
Pada kondisi normal, canang-canang sari itu bisa dibeli dengan harga Rp 7.000 per bungkus berisi 25 buah. Sedangkan canang tangkih bisa dibeli dengan harga Rp 3.000 per bungkus isi 25 buah. Namun bila musim hari raya, di mana harga bahan-bahannya naik, harga canang sari biasanya naik menjadi sekitar Rp 9.000 - Rp 15.000 per bungkus. Toh, pembeli tak terpengaruh. Mereka tetap beli, dan pedagang tetap untung.
Menjalani ritual upacara dengan kepraktisan sudah jadi tren yang berkembang di masyarakat, menyusul kesibukan masyarakat Hindu di Bali. Banyak perempuan Bali yang dulu menjadi pemegang peran dalam membuat sarana upacara di rumah, kini harus bekerja. Pekerjaan pun menuntut waktu 8 jam sehari, dengan model absensi yang ketat, maka membeli sarana upacara dalam bentuk jadi merupakan pilihan terbaik bagi banyak orang.
Perputaran uang dari bisnis sarana upacara itu pun ternyata tidak sedikit. Penelitian yang dilakukan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Udayana pada tahun 2005 menemukan, biaya upacara rutin manusia Bali mencapai Rp 1,8 triliun setahun. Jumlah itu hanya untuk upacara-upacara rutin seperti purnama, tilem, kajeng kliwon, Galungan, Kuningan, dan lainnya yang rata-rata sebanyak 108 hari dalam setahun. Belum termasuk untuk upacara-upacara khusus seperti melaspas, otonan, mepandes, ngaben, potong gigi, atau yang lainnya.
Tren serba beli sarana upacara di satu sisi telah mengubah pola ritual keagamaan masyarakat Hindu di Bali. Tapi di sisi lain, tren ini juga menghidupi banyak rumah tangga di Bali. Tidak cuma rumah tangga beragama Hindu. Peluang bisnis sarana upacara ini pun mulai dilirik umat non Hindu. Adakah yang salah dengan tren ini? Lalu bagaimana nasib budaya Bali ke depan bila tren ini terus berkembang? (erv)