Selasa, 27 Maret 2012
I Wayan Geriya ENDEK DAN BAYANGAN DEWI RATIH (Edisi III/2012)
Kegiatan menenun dengan hasilnya berupa produk tekstil, ternyata tak hanya berhenti sebagai sekadar busana yang membalut tubuh bagi orang Bali. Kemampuan menenun sangat erat kaitannya dengan keberadaan Dewa Surya (Matahari) dan Dewi Ratih (Bulan) sebagai referensi peradaban manusia. Dewa Surya dianggap sebagai sumber energi, pencerahan dan sifat maskulin. Sementara Ratih diapresiasi sebagai sumber kesejukan, kecantikan dan keterampilan menenun sebagai simbol feminin.
Budayawan I Wayan Geriya menuturkan, di Bali berkembang kepercayaan bahwa bercak-bercak yang terlihat di bulan merupakan bayangan dari Dewi Ratih yang tengah menenun, sehingga umat manusia tak kekurangan pakaian. Kepercayaan ini membuat pada zaman dahulu sebagian besar gadis di Bali belajar dan bisa menenun. Sayangnya kebiasaan menenun ini lambat laun semakin ditinggalkan, bahkan salah satu hasilnya seperti endek juga kian terpinggirkan.
Padahal menurut Geriya, menenun bukanlah sekadar menghasilkan kain. "Dalam menenun terdapat perpaduan antara logika, teknologi, estetika dan kreativitas. Logika, teknologi dan kreativitas berguna untuk menaikkan kehidupan manusia, sementara itu mitologi seperti Dewi Ratih yang menenun berfungsi untuk membangun manusia ke dalam, sehingga tercipta manusia yang utuh.
Lantas kenapa para penenun Bali meninggalkan profesinya? Dalam pandangan Geriya lebih pada sisi ekonomi. Karena para penenun ini mendapatkan upah yang tidak sesuai dibandingkan dengan pekerjaan lain. Pekerjaan sebagai penenun pasti akan kembali diminati jika memang bisa memberikan penghasilan yang baik. "Mana ada yang mau dibayar dengan upah kecil tetapi pekerjaannya berat. Pekerjaan sebagi tukang tenun tidak bergengsi, karena upahnya kecil. Penenun ini maunya sangat sederhana, mereka mau dibayar dengan baik sehingga hidup mereka terangkat dan berkelanjutan," ujar antropolog Universitas Udayana ini.
Momen revitalisasi endek yang dilakukan Pemerintah Kota Denpasar menurutnya bisa menjadi angin segar bagi pengusaha maupun perajin endek. Hanya saja pemerintah perlu memperhatikan keseimbangan, sehingga kebangkitan endek ini mampu memberikan manfaat positif bagi semua pihak yang ada di dalamnya. Pengusaha, perajin maupun masyarakat sebagai penggunanya.
Geriya menilai semangat pemerintah untuk mendorong produksi endek juga harus diimbangi dengan ketersediaan pasar. Dengan demikian perajin maupun pengusaha tak merasa cemas dalam berproduksi. Saat ini endek harusnya tak lagi hanya menyasar pasar lokal, akan tetapi juga nasional dan bahkan internasional. Pembinaan ke dalam serta promosi keluar akan membuat endek menjadi terangkat, namun tetap mengakar. Dengan demikian endek memiliki nilai tambah baik secara ekonomi, kultural maupun teknologi.
Apresiasi UNESCO terhadap Batik sebagai warisan budaya dunia juga bisa menjadi sebuah loncatan dan mendorong kesadaran bahwa endek juga merupakan produk tekstil asli Bali yang bisa menjadi representasi identitas dan menumbuhkan kebanggaan.
Keterbatasan kemampuan alat tenun diakui Geriya memang menjadi salah satu masalah yang harus dihadapi perajin. Adanya sambungan kerap menuai kritik karena membuat kain menjadi kurang menarik. Karenanya pemerintah saat ini berupaya menciptakan alat tenun yang bisa menghasilkan kain dengan lebar 110 cm yang diciptakan seorang pria bernama I Wayan Sarja. Namun alat yang diciptakan I Wayan Sarja saat ini baru ada 3 dan rencananya terus dikembangkan sehingga bisa membantu para perajin endek. (ayu)