Belakangan, franchise yang di Indonesia lebih dikenal sebagai waralaba, memang menjamur di berbagai wilayah Indonesia, tak terkecuali Bali. Bisnis semacam ini banyak diminati karena biasanya menawarkan sebuah konsep bisnis dengan modal awal yang tak terlampau besar. Rata-rata sebuah bisnis ditawarkan dengan kisaran harga di bawah Rp 10 juta. Di sisi lain bisnis ini juga menjanjikan Break Event Point (BEP) dalam jangka waktu pendek. Biasanya tingkat pengembalian dari sebuah waralaba berada di kisaran 15% dari investasi.
Sampai saat ini sebagian besar bisnis yang dtawarkan merupakan bisnis kuliner, berupa makanan dan minuman. Pasar yang selalu tersedia akibat kebutuhan makan dan minum yang memang selalu ada, menjadi pertimbangan. Makanan dan minuman yang dijajakan juga biasanya lebih banyak pada makanan dan minuman ringan yang relatif mudah disajikan.
Di samping makanan dan minuman, ada berbagai jenis usaha yang potensial untuk dijadikan sebagai waralaba mulai dari otomotif, business service, furniture, konstruksi, property, jasa pendidikan dan pelatihan hiburan dan hobi, penginapan dan travel, computer dan internet, laundry dan kebersihan, kesehatan dan kecantikan, anak dan balita serta retail.
Di Indonesia, franchise diartikan sebagai suatu sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir, dimana pemilik merek (franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu.
Di Indonesia, sistem waralaba mulai dikenal pada tahun 1950-an, yaitu dengan munculnya dealer kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi. Perkembangan kedua dimulai pada tahun 1970-an, yaitu dengan dimulainya sistem pembelian lisensi plus, yaitu franchise tidak sekadar menjadi penyalur, namun juga memiliki hak untuk memproduksi produknya.
Hanya saja untuk saat ini di Indonesia banyak terjadi kekeliruan di masyarakat. Business Opportunity (BO) banyak diklaim sebagai franchise, padahal antara keduanya memiliki perbedaan yang mendasar. Kebanyakan BO merupakan sebuah bisnis yang baru dijalankan 2 sampai 3 tahun. Penjualan merek, produk dan sistem biasanya tanpa disertai dengan dukungan jangka panjang.
Memang jika dibandingkan BO, franchise hargaya jauh lebih mahal. Pun demikian dengan jangka waktu pengembalian modalnya. BO dengan investasi di kisaran Rp 10-15 juta menawarkan pengembalian modal dalam jangka waktu 2-3 bulan saja. Hanya saja investasi kecil ini teryata memiliki risiko yang cukup besar.
Tengok saja cukup banyak booth (stan) yang ternyata hanya “nongkrong” di emperan toko tanpa ada aktivitas. Berbagai hal menjadi penyebabnya, mulai dari minimnya SDM, tiadanya dukungan dari franchisor, hingga pertimbangan yang kurang matang dari pembeli franchise khususnya dari sisi pasar dan kelayakan usaha yang dijalankan. (ayu)