Para perajin anyaman bambu di Banjar Pucangan, Desa Kayubihi, Kabupaten Bangli dulunya hobi saling “intip” untuk memenangkan pasar. Kini, mereka bersatu untuk menggarap pasar bersama.
Koperasi Sari Rejeki kini menjadi tempat berkumpulnya sekitar 60 perajin anyaman bambu banjar Pucangan, Desa Kayubihi, Kabupaten Bangli. Tidak cuma berkumpul secara fisik, para perajin juga berkumpul dalam satu usaha bersama yang terbukti mampu menyejahterakan mereka.
Koperasi Sari Rejeki secara resmi baru terbentuk pada Januari 2011. Namun para perajin ini sejatinya sudah membentuk sebuah kelompok usaha bersama sejak 2007 silam.
“Idenya gara-gara perajin cenderung saling intip satu sama lain. Semua bersaing memberi harga paling murah. Akibatnya, yang untung justru para broker,” kata I Nengah Suwirya, Ketua Koperasi Sari Rejeki.
Para perajin yang memproduksi berbagai anyaman bambu seperti keben, besek, dan lainnya semula terlibat dalam persaingan yang tidak sehat. Ketika satu perajin menjual produknya, perajin lain akan mengintip dan berupaya menawarkan harga lebih rendah kepada para pembeli yang umumnya merupakan broker.
“Kalau kita jual ke mana, diintip. Lantas dia menawarkan barang yang sama dengan harga lebih murah ke tempat itu,” kenangnya.
Kondisi tersebut menurutnya terjadi secara terus-menerus selama bertahun-tahun. Akibatnya, harga produk anyaman bambu yang dihasilkan bukannya meningkat dari, namun justru terus melorot. “Karena itu saya berpikir untuk membuat koperasi. Agar kita tidak bersaing dengan teman. Saya pikir, dengan bergabung di koperasi, kita justru bisa bekerjasama untuk memperkuat pasar,” kata Suwirya.
Selain untuk memperkuat diri, ide membangun koperasi juga muncul akibat banyaknya muda-mudi di desanya yang cenderung membuang waktu dengan nongkrong tak berguna. Sebagian diantaranya cenderung hobi mabuk-mabukan, dan menjadi “tukang palak” bagi orang tuanya yang umumnya juga perajin.
“Melalui koperasi, saya ingin menggaet mereka untuk ikut bekerja. Daripada membuang-buang waktu untuk hal yang tidak berguna,” katanya.
Upaya Suwirya dan kawan-kawannya sesama perajin rupanya tidak sia-sia. Kini, sedikitnya 60 perajin sudah tergabung dalam koperasi Sari Rejeki. Mereka berproduksi bersama dan memasarkan hasil-hasil produksinya bersama-sama pula.
Hasilnya? “Lumayan, sehari omzet penjualan kami mencapai rata-rata Rp 10 juta. Angka yang lumayan dibandingkan kita harus bekerja sendiri-sendiri dan bersaing dengan teman sendiri,” ungkap Suwirya.
Guna mengurangi ketergantungan pada broker, koperasi ini juga berusaha menggarap pasar sendiri melalui pemasaran keliling ke pasar-pasar tradisional di seluruh Bali. Dalam sehari, 450 unit keben yang diangkut dengan mobil pick up umumnya habis terjual.
“Pemasaran kita keliling, bergiliran dari satu pasar ke pasar lain setiap harinya. Biasanya, dalam sehari kita hanya menjangkau satu atau maksimal dua pasar. Itu saja sudah langsung ludes barangnya. Nggak pernah sepi pembeli,” ungkapnya bangga.
Menurut Suwirya, pemasaran ke pasar tradisional diakui cenderung menghasilkan profit margin yang agak tipis. Namun dengan volume penjualan yang cukup besar, kata dia, hasilnya jauh lebih menguntungkan. “Sedikit sedikit, lama lama kan jadi bukit,” selorohnya.
Kini, 60 perajin yang tergabung dalam Koperasi Sari Rejeki tidak perlu lagi mengintip temannya hanya untuk mendapat rejeki. Mereka kini melakukan langkah-langkah bergandengan tangan dan menikmati keuntungan bersama-sama. (viani)