Tiga bersaudara -- Putu Arya Sukma Widya Yoga Putra (27), Ni Made Kesuma Astuti Indraningsih Putri (26), dan I Nyoman Dharma Sukma Wijaya Manggala Putra (18) -- tampak kesakitan saat sangging menghaluskan gigi dengan sebuah kikir besi dalam ritual metatah massal di Griya Gede Tegal Jinga, Jalan Kecubung Denpasar, 13 April lalu.
“Sakit,” teriak kecil Manggala.
Manggala dan dua saudaranya sebenarnya menetap di Yogyakarta. Didampingi kedua orang tuanya, ketiganya sengaja datang ke Bali untuk menjalani upacara metatah tersebut.
Untuk mengikuti ritual metatah massal tersebut, Manggala dan saudara-saudaranya hanya wajib membayar Rp 200.000 per orang, jauh lebih murah ketimbang biaya yang harus dikeluarkan bila upacara serupa digelar sendiri.
“Mengikuti upacara massal seperti ini tentu jauh lebih efisien, daripada kalau kita harus menggelar upacara ini sendiri di rumah,” tegas I Nyoman Sukmantalya Kesumajaya, sang ayah.
Untuk sebuah upacara metatah yang digelar secara sendiri-sendiri, biaya yang dihabiskan bisa mencapai Rp 5 juta hingga 10 juta, tergantung pada tingkatan upacara dan jumlah tamu yang diundang keluarga.
“Selain masalah ekonomi, kami juga mempertimbangkan kepraktisannya. Kalau kita menggelar upacara seperti ini sendiri di rumah, kita akan malah merepotkan keluarga besar. Kalau kita ikut seperti ini, semua bisa lebih santai, tidak merepotkan keluarga. Dengan upacara seperti ini, rasa kebersamaannya jauh lebih terasa,” tambah Kusumajaya.
Metatah merupakan ritual yang secara simbolik yang dapat menghilangkan unsur-unsur negatif dalam diri. Berdasarkan ajaran Agama Hindu, ada setidaknya enam musuh dalam diri manusia yang lebih dikenal dengan nama Sadripu, tediri atas kama (hawa nafsu), loba (ketamakan), kroda (kemarahan), moha (kecemasan), mada (kesombongan) dan matsarya (iri hati).
Upacara metatah massal itu sendiri digelar Griya Gede Tegal Jinga sebagai rangkaian upacara metatah bagi enam anggota keluarga brahmana tersebut. Upacara metatah massal diikuti oleh 148 peserta dengan melibatkan 15 orang sangging.
Ida Pedanda Putra Telaga dari Griya Telaga Gulingan Sanur yang memimpin upacara menegaskan, upacara massal memiliki makna yang sama dengan upacara yang digelar secara sendiri-sendiri.
“Maknanya sama saja. Saat upacara digelar secara massal, tidak akan mengurangi makna upacara tersebut,” jelas Ida Pedanda Putra Telaga.
Upacara metatah massal tersebut digelar dalam tingkatan madya (sedang). Metatah dipercaya sebagai hutang orangtua kepada anak-anaknya. “Hutang itu harus dibayar oleh orangtua, baik dengan cara yang mewah maupun sederhana,” tegasnya.
Tokoh dari Griya Gede Tegal Jinga, Ida Pedanda Gede Putra Bajing, menegaskan bahwa keluarganya memutuskan untuk menggelar metatah massal tersebut sebagai upaya untuk membantu masyarakat. “Kami mengundang masyarakat untuk upacara massal ini. Kami berharap hal ini bisa membantu masyarakat,” tegas Ida Pedanda Gede Putra Bajing. (viani)