Sejak diperkenalkan pada tahun 2009 silam, sistem pertanian terintegrasi (Simantri) telah diterapkan ratusan kelompok tani di sejumlah wilayah di Bali. Manfaat dari program yang digagas Pemerintah Provinsi Bali itu pun sudah dirasakan sejumlah petani, meski masih menghadapi sejumlah kendala. Seperti apa?
Sebanyak 20 petani dari Desa Blahbatuh, Gianyar, kini tidak hanya mengandalkan hidup dari lahan sawah mereka. Sejak tergabung dalam Kelompok Tani Simantri Blahbatuh 031 pada tahun 2010 lalu, mereka bisa mengubah kotoran dan kencing sapi menjadi uang.
Kok bisa? Wayan Sadia, Ketua Kelompok Tani Simantri Blahbatuh 031, menjelaskan kelompoknya sudah mampu menghasilkan sedikitnya 15 ton pupuk dan 2.000 liter pestisida dari kotoran dan kencing sapi. Sadia dan kawan-kawannya memberi nama “Pukantri” pada pupuk karya mereka yang diolah dari kotoran sapi, yang memiliki arti Pupuk Kandang plus Trikoderma. “Pukantri adalah pupuk sekaligus pestisida yang dapat mencegah virus pada tanaman pisang, mencegah akar busuk pada tanaman padi, dan lainnya,” Sadia berpromosi.
Sementara itu, pestisida yang dihasilkan dari urine atau kencing sapi diberi nama “Bioporin”, yang dapat mencegah jamur batang pada tanaman padi. “Bioporin sifatnya pencegah penyakit yang disebabkan bakteri seperti mencegah penyakit layu pada tanaman cabai dan lainnya,” Sadia menambahkan.
Rupiah yang dihasilkan dari produk tersebut tak tanggung-tanggung, yakni Rp 5.000 per liter untuk Bioporin dan Rp 7.000 per kilogram untuk Pukantri. “Itu harga ambil di tempat. Kalau dikirim, harganya beda lagi,” kata dia.
Hasil produksi Pukantri dan Bioporin dari Simantri Blahbatuh memang tidak hanya dikirim ke wilayah Gianyar saja. “Permintaan datang dari seluruh Bali. Syukurlah. Ini kebanggaan juga buat kami,” kata dia.
Bagaimana bisa menjual kotoran dan kencing sapi? Hal ini bermula ketika para petani di Desa Blahbatuh ini memutuskan mengikuti program Simantri yang ditawarkan Pemerintah Provinsi Bali. Melalui program ini, petani diberikan bantuan 20 ekor sapi, bantuan kandang koloni, satu unit instalasi pengolahan urine, satu unit pengolohan kotoran sapi, dan instalasi biogas.
Konsep dasar dari program ini adalah pemberdayaan masyarakat dan segala sumber daya pertanian terintegrasi yang organik dan zero waste. Prinsipnya, sapi dipelihara dalam satu kandang yang sama, sehingga kotoran dan kencingnya bisa diolah secara bersama-sama, sedangkan gas yang dihasilkan dari kotoran sapi dialirkan ke rumah penduduk sebagai biogas, pengganti elpiji.
“Kita sangat bersyukur bisa mengikuti program ini. Selain bisa secara pelan-pelan beralih ke pertanian organik, di mana kita bisa jual produk dengan harga lebih tinggi, kita juga dapat penghasilan tambahan dari penjualan pupuk dan pestisida,” ujar Sadia.
“Simantri ini tujuan utamanya adalah supaya kita bisa mengambil manfaat sebesar-besarnya dari ternak kita. Dari sapi, kambing maupun ayam, juga babi. Itu kira-kira arahnya. Tetapi Simantri bukan hanya memelihara hewan saja, tetapi memelihara sapi dengan pertanian yang terintegrasi,” Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengingatkan.
Pastika menegaskan program Simantri kini makin dilirik kelompok tani. "Ini adalah zero waste program. Jadi sangat ramah lingkungan, di samping memberi manfaat ekonomis bagi masyarakat petani," jelas Pastika.
Pastika menegaskan pihaknya akan terus mendorong kelompok tani di Bali agar segera menerapkan program Simantri. Pemerintah Bali menyediakan bantuan senilai Rp 200 juta kepada masing-masing kelompok tani yang mau menerapkan Simantri. "Semakin banyak kelompok tani yang menerapkan Simantri, semakin bagus. Karena ini ramah lingkungan," ujarnya.
Program Simantri, kata Pastika, erat kaitannya dengan upaya pemerintah mewujudkan “Bali Organik”. "Sistem pertanian Simantri ini merupakan sistem pertanian organik. Saya harapkan Bali organik itu bisa benar-benar terwujud di Bali. Jadi orangnya sehat, ekonomi cukup, tanahnya Bali juga supaya sehat kembali," kata dia.
Selain ramah lingkungan, sistem pertanian organik menurutnya akan memperingan beban petani yang selama ini sering terpuruk karena harga pupuk kimia yang terlalu mahal. "Dengan begini kita buat sendiri pupuknya. Kita tidak tergantung pada pupuk dari luar," ujar Gubernur asal Buleleng itu.(viani)