Sabtu, 28 Juli 2012

PAMERAN PKB KOK ITU-ITU SAJA? (Edisi VII/2012)

Seperti tahun-tahun sebelumnya, tiap bulan Juni di Bali selalu digelar acara rutin Pesta Kesenian Bali (PKB). Tahun 2012 ini kegiatan yang diharapkan mampu menjadi salah satu wahana melestarikan kesenian Bali, ternyata telah memasuki usia yang ke-34. Tentu jika dibandingkan dengan manusia, usia 34 tahun telah menunjukkan kematangan dan kedewasaan.

Bagaimana halnya dengan pelaksanaan Pesta Kesenian Bali kali ini? Sudahkah event yang digelar untuk memberi ruang bagi para seniman dan perajin ini mampu membawa efek positif sesuai dengan cita-cita awalnya? Dengan tema PKB kali ini, “Paras Paros Dinamika dalam Kebersamaan”, mampukah PKB menunjukkan kondisi dinamis?

Banyak seniman yang mengeluhkan belum mampunya PKB memberikan ruang berekspresi yang memadai. Bahkan ada kesan PKB digelar sekadar tradisi rutinitas. Kemasan PKB cenderung monoton tanpa inovasi. Masyarakat pun dirasa semakin jenuh dengan kondisi ini. Hingga tak heran ada yang mengusulkan agar PKB tak perlu digelar setiap tahun, tetapi dengan rentang waktu yang lebih lama misalnya setiap tiga atau empat tahun sekali.

Jika para seniman saja tak merasa cukup puas, lantas bagaimana dengan para perajin yang biasanya juga terlibat di dalamnya. Terlibat dalam pameran PKB tak ubahnya seperti pindah berjualan menuju keramaian. Bahkan saingannya semakin ketat. Di samping harus bersaing dengan sesama perajin yang juga turut dalam pameran, mereka juga harus bersaing dengan pedagang kaki lima yang berjualan di luar areal pameran.
Keluhan akan keberadaan pedagang kaki lima ini memang bukan hal baru. Bukan hanya dirasakan oleh peserta pameran, para pengunjung juga banyak yang mengeluhkan hal ini. Dari areal parkir mereka kerap kali diarahkan untuk melewati deretan pedagang kaki lima ini. Sayangnya hal ini ternyata tak bisa dilakukan terhadap pameran yang terletak di areal PKB.

Jika diamati dari tahun ke tahun, hampir tak ada yang baru dalam pameran PKB. Stand kebanyakan diisi oleh produk-produk tekstil seperti kebaya, endek dan sebagainya. Bahkan mereka yang turut serta dalam pameran juga hanya itu-itu saja. Malah yang lebih ironis lagi mereka yang terlibat justru semakin sedikit. Banyak dari peserta memilih tak ikut serta lagi karena omzet yang didapat ternyata tak sesuai dengan harapan.

Pengunjung yang kebanyakan warga lokal banyak yang hanya sekadar melihat-lihat. Mungkin karena barang yang dijual tak jauh berbeda dengan yang ada di pasaran. Pun demikian dengan harganya tak jauh berbeda bahkan ada yang justru ebih mahal. Akhirnya mereka yang terterik untuk membeli juga harus bersusah payah menawar agar bisa mendapatkan harga yang sesuai.

Pengunjung PKB, bukan datang karena aaa greget yang hadir dan ditampilkan di pesta kesenian rakyat Bali itu. Pertunjukan yang dipentaskan ataupun pameran yang digelar, tak cukup kuat menyedot pengunjung untuk datang berduyun-duyun menyaksikan. Mereka rata-rata datang  hanya untuk mengisi waktu luang, dan sekadar jalan-jalan mengisi liburan.

Peserta pameran pun tak banyak mendapatkan manfaat. Dari sekian banyak peserta yang turut serta, tak satupun ada yang mengaku mendapatkan order dari keikutsertaannya dalam pameran. Mereka hanya berjualan seperti biasa, melayani pembeli secara eceran. Terlebih kebanyakan dari mereka hanya sekadar menjual dan tak begitu banyak dari mereka  yang merupakan perajin.

Tentu menjadi tugas kita bersama untuk memperbaiki kemasan PKB ke depan. Tak hanya pemerintah sebagai penyelenggara. Seniman, juga perajin yang turut serta di dalamnya dituntut untuk lebih kreatif agar mampu memikat pengunjung. Pasti kita semua berharap PKB yang digagas (alm) IB. Mantra memberikan manfaat bukan hanya bagi seniman dan segala bentuk keseniannya, tetapi juga bagi para perajin dan pelaku UMKM di Bali yang ternyata menjadi tumpuan dan penggerak ekonomi sebagian besar masyarakat Bali.(ayu)
Bagikan

SAJIAN TERBARU LAINNYA