Di dalam sebuah gubuk bambu sempit yang becek, kotor, panas, dengan bau bahan kimia yang menyengat, I Nyoman Setiawan tampak sibuk dengan tumpukan puluhan anyaman bambu (sokasi). Satu per satu anyaman bambu yang biasa digunakan untuk upacara keagamaan itu, dimasukkan ke dalam sebuah drum besi berisi air mendidih di atas tungku kayu bakar yang menyala.
Dengan sebuah tongkat kayu, bocah laki-laki 15 tahun itu mengaduk-aduk air di dalam drum. Tangannya yang terbungkus sarung tangan oranye pun seringkali harus masuk ke dalam air mendidih untuk membolak balik anyaman.
“Panas!” ujar Setiawan dengan wajah meringis. Peluhnya tak berhenti menetes. Guna mengurangi rasa panas, sesekali tangannya dimasukkan ke dalam ember kecil berisi air dingin. Setiawan bekerja untuk menghilangkan kandungan malam (lilin cair) yang menempel pada permukaan anyaman bambu tersebut.
Malam digunakan sebagai salah satu sarana dalam proses pewarnaan kimia pada anyaman bambu tersebut. Perebusan merupakan proses akhir dari proses pewarnaan. Perebusan malam juga menghasilkan bau yang cukup menyengat. Namun, itu bukanlah masalah bagi Setiawan yang bahkan bekerja tanpa menggunakan masker pelindung. “Sudah biasa kok,” jawabnya santai.
Sejak setahun lalu, anak ketiga dari tiga bersaudara itu bekerja sebagai buruh serabutan di sebuah industri rumah tangga pembuatan anyaman bambu di desanya, Desa Kayubihi, Bangli. Ia mendapat upah Rp 20.000 per hari. “Lumayan untuk sehari-hari,” ujar Setiawan yang tinggal bersama kakek neneknya. Setiawan menjadi yatim setelah ayahnya meninggal dunia beberapa tahun lalu. Sedangkan ibunya sudah menikah lagi.
Tak seperti anak-anak lain seusianya yang menghabiskan waktu untuk belajar, Setiawan kehilangan kesempatan untuk mencicipi bangku SMP setamat SD tiga tahun lalu. “Nggak ada biaya untuk lanjut ke SMP,” ujarnya.
Setiawan tidak sendirian. Ada banyak anak-anak Bali yang terpaksa harus bekerja untuk menyokong ekonomi keluarga. Beberapa di antaranya bekerja sepulang waktu belajar di sekolah, beberapa lainnya bahkan tidak punya kesempatan bersekolah seperti Setiawan.
Hidup di pulau yang dikenal sebagai destinasi wisata favorit dunia rupanya tidak serta merta membuat seluruh masyarakat Bali hidup enak. Ratusan anak-anak yang hidup di desa-desa sekitar kaldera Gunung Batur misalnya, harus berjalan kaki naik turun bukit hingga 5 kilometer untuk mencapai sekolah mereka. Sepulang sekolah, mereka pun harus bekerja di ladang milik orangtua mereka. Tak sedikit anak-anak yang akhirnya putus sekolah karena lebih memilih bekerja ketimbang bersekolah. Hanya demi satu alasan, ekonomi.
“Saya nggak akan lanjut sekolah SMP, sebab saya nggak punya uang,” ujar Nengah Aris Yulianto, salah satu siswa SD 2 Songan, sebuah sekolah di Dusun Kayuselem Bangli.
Meski data statistik menyatakan perekonomian Bali telah tumbuh hingga 6,49 persen di tahun 2011, atau melampaui target pemerintah yang semula 6,36 persen, namun fakta bahwa masih banyak masyarakat miskin di pulau ini juga tak bisa dipungkiri.
Pada Maret 2012, BPS (Badan Pusat Statistik) mencatat ada 168.780 orang penduduk Bali masih hidup di bawah garis kemiskinan. Tak kalah penting, masih ada 82 desa -- dari total 706 desa yang ada di Bali -- tergolong dalam kategori desa miskin dengan lebih dari 35% penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan.
Tingginya angka pertumbuhan ekonomi Bali, tidak selalu berarti baik bila pertumbuhan tersebut hanya dinikmati segelintir elite masyarakat. Data sensus penduduk BPS Bali tahun 2010 menyebutkan, hanya 20 persen penduduk Bali yang menikmati persentase pembagian kue ekonomi yang makin besar, sedangkan sisanya menerima kue ekonomi yang semakin tahun semakin mengecil. Ironisnya, 20 persen itu adalah masyarakat yang berpendapatan tinggi.
BPS mencatat saat ini ada 20% masyarakat Bali yang berpendapatan tinggi, 40% berpendapatan sedang, dan 40% berpendapatan rendah. Sebanyak 41,73% dari total pendapatan Bali dinikmati oleh masyarakat yang berpendapatan tinggi, sedangkan 37,52% pendapatan terdistribusi ke masyarakat berpendapatan sedang dan hanya 20,75% pendapatan terdistribusi ke masyarakat berpendapatan rendah.
“Data pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu baik. Yang terpenting justru, apakah pertumbuhan ekonomi itu dirasakan oleh sebagian besar masyarakat, atau hanya sebagian kecil saja?” tanya pengamat ekonomi dari Universitas Udayana I Gusti Wayan Murjana Yasa.
Murjana Yasa menjelaskan, Bali masih sangat jauh dari kemerdekaan secara ekonomi. Selain ditunjukkan dari masih banyaknya penduduk miskin, ada juga unsur mental yang membuat masyarakat Bali menjadi terlalu tergantung pada ekonomi luar. “Contoh sederhana, kita masih sangat tergantung pada buah-buahan impor. Pasokan barang-barang kebutuhan kita banyak yang tergantung dari luar Bali,” keluhnya.
Angka pengangguran di Bali juga tak sedikit, mencapai 48.000 orang di tahun ini. Jumlah itu sekitar 2,11 persen dari total jumlah angkatan kerja di Bali. Masih banyak pula masyarakat yang harus hidup di rumah yang tidak layak huni. Di tahun 2010, tercatat ada 13.000 keluarga miskin yang hidup di rumah yang tidak layak huni. Beberapa indikator yang digunakan adalah rumah dengan lantai tanah, dinding bambu, atap seng, tanpa kamar mandi, tanpa listrik, dan lainnya. Namun lewat program bedah rumah dari Pemerintah Provinsi Bali, jumlah keluarga miskin yang hidup di rumah tidak layak huni sudah mampu dikurangi hingga 3.000 keluarga.
“Jelas, secara ekonomi kita memang belum merdeka,” tegas Murjana Yasa. (viani)