Selasa, 25 September 2012

I Wayan Pudja TERASA SERU JIKA KARYANYA DITIRU (Edisi IX/2012)



Seniman menjadi sebuah profesi yang selalu identik dengan kreativitas. Hasil karya seorang seniman tak bisa dinilai hanya dalam bentuk materi. Seniman juga seringkali tak mau jika karyanya dinilai sebatas materi. Kepuasan yang lebih tinggi justru didapat jika karyanya diapresiasi oleh khalayak secara luas.
Hanya saja banyak orang ternyata kurang menghargi karya dari seniman ini. Penjiplakan karya seni menjadi sesuatu yang kerap terjadi. Bahkan tak jarang mereka yang tak bertanggung jawab mengambil keuntungan secara materi dari hal ini. Berbagai cara dilakukan para seniman untuk mengamankan karyanya termasuk mematenkan karya seninya.
 Jika yang lain berlomba-lomba mematenkan karyanya demi meraup materi dan pengakuan, hal ini tidak berlaku bagi I Wayan Pudja (77), seniman yang bisa dibilang penggagas lahirnya drama gong di Kabupaten Gianyar. Pudja malah lebih senang jika ada orang lain yang meniru karyanya.
Kok bisa? Alasannya kedengaran cukup aneh di telinga. Dengan makin banyak seniman yang meniru karyanya, maka akan lebih banyak orang yang mengenal dan mengetahui, seperti apa yang terjadi pada drama gong tersebut. Bagi Pudja, seniman tulen itu menghasilkan ataupun memerankan karyanya karena mereka menyenangi apa yang dilakukannya. Ini yang menjadi penyebab mengapa sangat jarang seniman terdahulu tak memikirkan jika karyanya dihargai dengan pundi-pundi uang dari orang lain atau tidak, lantaran hak paten yang dimilikinya atas karya yang dihasilkan. Merekapun tak pernah mempermasalahkan jika ada orang lain yang meniru hasil karyanya. Bahkan mereka justru mersa bangga jika karyanya banyak digunakan dan semakin dikenal oleh masyarakat secara luas.
Bagi mereka, seni serta aktivitas berkesenian merupakan panggilan jiwa. Di samping itu mereka beranggapan karya seni yang mereka hasilkan sebagai wujud rasa bakti serta kecintaan terhadap sang pencipta. Mereka akan merasa sangat bangga jika karya yang mereka hasilkan bisa membuat orang lain merasa terhibur dan menjadi bagian dari kegiatan keagamaan maupun kemasyarakatan.
Hanya segelintir seniman yang mengejar hak paten tersebut. Kalaupun ini terjadi, merupakan akibat pengaruh globalisasi dan teknologi yang bisa dilihat melalui TV, internet ataupun media lain.
 “Dasar seniman itu, senang. Makanya mereka menghasilkan karya bukan untuk mengejar nama ataupun penghargaan,” ujar I Wayan Pudja saat ditemui di rumahnya, Banjar Seseh, Desa Singapadu, Sukawati, Gianyar.
Lantaran senang itulah, dirinya tidak memiliki sanggar ataupun tempat khusus ketika melatih teruna-teruni mengenai drama gong. Latihan banyak dilakukan di banjar-banjar dan juga di rumahnya. Padahal telah  lebih dari 40 tahun ia berkecimpung dan mengembangkan drama gong di Bali dan Indonesia pada umumnya.
Pudja hanya memanfaatkan balai banjar ataupun wantilan, ketika diminta warga setempat untuk mengajarkan kesenian drama gong. “Saya tidak punya sanggar untuk teruna-teruni belajar drama gong. Mereka saya ajarkan drama gong di balai banjar saja,” beber kakek tiga cucu ini.
Meski kini drama gong mengalami kelesuan, seolah mati suri, Pudja tetap mengikuti perkembangan yang terjadi pada pementasan drama gong yang ada di Bali ataupun di daerah lain. Demi drama gong tetap lestari, Pudja siap tampil ataupun mengajarkannya ke masyarakat jika diminta oleh masyarakat. (ayu)

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Nama              : I Wayan Pudja
Lahir                : Sukawati, 1938
Alamat                        : Banjar Seseh Desa Singapadu, Sukawati, Gianyar
Pengalaman    : Sutradara Sendratari, Seniman Drama Gong. Kerap pentas diluar Bali tetapi belum pernah    pentas di luar negeri
Penghargaan   : -      Wija Kusuma dari Pemerintah Kabupaten Gianyar
-          Penghargaan seniman dari Pemerintah Provinsi Bali
-          Penghargaan dari yayasan Saraswati Jakarta
Motto              : Nikmati hidup dan berusaha sebaik mungkin dalam segala  hal
Bagikan

SAJIAN TERBARU LAINNYA