Seniman menjadi sebuah profesi yang selalu identik
dengan kreativitas. Hasil karya seorang seniman tak bisa dinilai hanya dalam
bentuk materi. Seniman juga seringkali tak mau jika karyanya dinilai sebatas materi.
Kepuasan yang lebih tinggi justru didapat jika karyanya diapresiasi oleh
khalayak secara luas.
Hanya saja banyak orang ternyata kurang menghargi karya dari seniman
ini. Penjiplakan karya seni menjadi sesuatu yang kerap terjadi. Bahkan tak
jarang mereka yang tak bertanggung jawab mengambil keuntungan secara materi
dari hal ini. Berbagai cara dilakukan para seniman untuk mengamankan karyanya
termasuk mematenkan karya seninya.
Jika yang lain berlomba-lomba
mematenkan karyanya demi meraup materi dan pengakuan, hal ini tidak berlaku
bagi I Wayan Pudja (77), seniman yang bisa dibilang penggagas lahirnya drama gong
di Kabupaten Gianyar. Pudja malah lebih senang jika ada orang lain yang meniru
karyanya.
Kok bisa? Alasannya kedengaran cukup aneh di telinga. Dengan makin banyak
seniman yang meniru karyanya, maka akan lebih banyak orang yang mengenal dan
mengetahui, seperti apa yang terjadi pada drama gong tersebut. Bagi Pudja,
seniman tulen itu menghasilkan ataupun memerankan karyanya karena mereka
menyenangi apa yang dilakukannya. Ini yang menjadi penyebab mengapa sangat
jarang seniman terdahulu tak memikirkan jika karyanya dihargai dengan
pundi-pundi uang dari orang lain atau tidak, lantaran hak paten yang
dimilikinya atas karya yang dihasilkan. Merekapun tak pernah mempermasalahkan
jika ada orang lain yang meniru hasil karyanya. Bahkan mereka justru mersa
bangga jika karyanya banyak digunakan dan semakin dikenal oleh masyarakat
secara luas.
Bagi mereka, seni serta aktivitas berkesenian merupakan panggilan
jiwa. Di samping itu mereka beranggapan karya seni yang mereka hasilkan sebagai
wujud rasa bakti serta kecintaan terhadap sang pencipta. Mereka akan merasa
sangat bangga jika karya yang mereka hasilkan bisa membuat orang lain merasa
terhibur dan menjadi bagian dari kegiatan keagamaan maupun kemasyarakatan.
Hanya segelintir seniman yang mengejar hak paten tersebut. Kalaupun
ini terjadi, merupakan akibat pengaruh globalisasi dan teknologi yang bisa
dilihat melalui TV, internet ataupun media lain.
“Dasar seniman itu, senang.
Makanya mereka menghasilkan karya bukan untuk mengejar nama ataupun
penghargaan,” ujar I Wayan Pudja saat ditemui di rumahnya, Banjar Seseh, Desa
Singapadu, Sukawati, Gianyar.
Lantaran senang itulah, dirinya tidak memiliki sanggar ataupun tempat
khusus ketika melatih teruna-teruni mengenai drama gong. Latihan banyak
dilakukan di banjar-banjar dan juga di rumahnya. Padahal telah lebih dari 40 tahun ia berkecimpung dan
mengembangkan drama gong di Bali dan Indonesia pada umumnya.
Pudja hanya memanfaatkan balai banjar ataupun wantilan, ketika diminta
warga setempat untuk mengajarkan kesenian drama gong. “Saya tidak punya sanggar
untuk teruna-teruni belajar drama gong. Mereka saya ajarkan drama gong di balai
banjar saja,” beber kakek tiga cucu ini.
Meski kini drama gong mengalami kelesuan, seolah mati suri, Pudja
tetap mengikuti perkembangan yang terjadi pada pementasan drama gong yang ada
di Bali ataupun di daerah lain. Demi drama gong tetap lestari, Pudja siap
tampil ataupun mengajarkannya ke masyarakat jika diminta oleh masyarakat. (ayu)
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Nama : I Wayan Pudja
Lahir : Sukawati, 1938
Alamat : Banjar Seseh Desa
Singapadu, Sukawati, Gianyar
Pengalaman : Sutradara Sendratari, Seniman Drama Gong.
Kerap pentas diluar Bali tetapi belum pernah
pentas di luar negeri
Penghargaan : -
Wija Kusuma dari Pemerintah Kabupaten Gianyar
-
Penghargaan seniman dari Pemerintah Provinsi Bali
-
Penghargaan dari yayasan Saraswati Jakarta
Motto : Nikmati hidup dan berusaha
sebaik mungkin dalam segala hal